Setelah makan malam, aku memilih pergi ke ruang kerjaku. Biasanya aku akan mengerjakan pekerjaanku di kamar. Tapi, mengingat di sana ada Lucy, aku pun mengubah kebiasaanku yang satu itu.
Aku baru saja meletakkan ganggang telepon setelah menghubungi salah satu orang kepercayaanku untuk mengajaknya bertemu besok. Aku berencana akan meminta bantuannya untuk menyelidiki asal-usul Lucy.
Tapi sekarang aku bingung. Bagaimana cara dia akan mencari tahu soal Lucy jika nama asli gadis itu saja aku tidak tahu?
Tatapanku beralih pada selembar kertas HVS di hadapanku. Aku jadi punya ide. Aku meraih sebuah pensil lalu menggoreskannya di atas kertas itu. Aku mulai membuat sketsa wajah Lucy di sana.
Setelah aku perhatikan, ternyata Lucy benar-benar memiliki kontur wajah yang cukup unik. Wajahnya lonjong dengan mata cukup besar. Wajahnya sedikit ada unsur kebule-bulean. Rambutnya panjang lurus dan sangat lembut.
Sepertinya sketsa yang aku buat sudah cukup jelas untuk menggambarkan sosok Lucy. Aku melihatnya dengan saksama. Mencari adakah celah yang bisa aku perbaiki agar sketsa ini tampak semakin jelas menggambarkan Lucy.
"Kau sedang apa?" Aku terkejut saat mendengar suara seorang gadis di ruang kerjaku. Tak ada yang berani sembarangan masuk ke ruang pribadiku tanpa izin dariku. Kecuali gadis satu itu. Siapa lagi kalau bukan Lucy?
"Wah ... bukankah ini aku? Ternyata aku cantik juga, ya? Semakin dilihat aku memang semakin cantik," ujar Lucy setelah memungut kertas yang tak sengaja aku lempar dari tanganku.
Aku menghela napas jengah mendengarnya. Kuakui, ia memang cantik. Tapi bisakah ia menekan sedikit saja rasa percaya dirinya yang berlebihan itu? Memang dia tidak malu bicara begitu di depan seorang pria?
Lucy duduk di kursi yang ada di hadapanku. Ia menyodorkan kertas sketsaku. Aku hendak merebutnya, tapi ia segera menjauhkannya dariku.
"Berikan padaku!" ujarku tegas.
Ia menyerit dan enggan menyerahkan kertas itu padaku.
"Kamu bilang, ada pekerjaan yang harus segera kamu selesaikan. Tapi kok malah menggambar wajahku secara diam-diam?" tanyanya.
Nah. Sekarang aku harus menjawab apa? Kalau aku sampai salah menjawab, dia pasti akan semakin besar kepala!
"Aku iseng," jawabku ala kadarnya.
"Memang mataku sebesar ini? Aku rasa tidak," ucap Lucy.
Ia merebut pensilku lalu membenahi gambaranki pada matanya.
"Dan hidungku agak lebih mancung seperti-"
"Bukan seperti itu. Sudah sini kembalikan!" Aku merebutnya paksa.
Aku tidak mau sketsa buatanku rusak karenanya.
"Aku yang punya wajah ini. Jadi pasti aku yang lebih tahu. Sini biar aku bantu memperbaikinya!" pinta Lucy.
Aku menggeleng. "Kamu kembali saja ke kamar! Aku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan lagi."
"Anu ... aku ke sini buat kasih tahu kamu sesuatu."
Perasaanku mulai tidak enak. Aku pun kembali mengangkat kepalaku untuk menatap setan kecil di hadapanku itu. Dan dari raut wajahnya saja, aku tahu jika ada yang tidak beres.
"Apa? Katakan!"
"Lawu pipis di kasurmu," ujar Lucy.
Sebentar! Otakku seketika menjadi ngadat. Aku butuh waktu untuk mencerna ucapannya.
Apa katanya tadi?
"Apa katamu?"
"Lawu pipis, di kasurmu. Aku-"
"Kok bisa?" Yang benar saja! Masa iya kasurku kena urin kucing. Gila!
Tapi, seingatku Lawu cukup terlatih. Tidak mungkin dia benar-benar kencing di kamarku. Apalagi di kasurku.
"Dia tadi terus-terusan mengeong di kamar. Dia mau keluar. Tapi mana aku tahu kalau dia mau pipis. Aku kira dia sakit, jadi aku taruh kasur dan aku tahan biar nggak pergi. Eh, tiba-tiba kasurnya basah," terang Lucy.
Sudah aku duga! Pasti kejadian ini bukan murni salah Lawu. Aku sudah tinggal lebih dari satu tahun dengan kucing itu. Dan Lawu memang sudah cukup pintar untuk buang air di litter box-nya.
Aku mencengkram erat pensil di tanganku untuk menahan emosi. Jangan sampai aku meledak di sini. Bisa-bisa Bi Ningsih akan cemas dan menganggap aku sudah kerasukan.
"Lalu, kita harus apa? Nanti malam kita tidur di mana?" tanya Lucy setengah merengek.
Kenapa dia yang harus bingung? Bukankah seharusnya itu aku? Aku yang harusnya bingung dan mengomelinya.
Rasanya aku masih sulit percaya. Kurang dari satu jam aku meninggalkan Lucy di ruangan yang berbeda denganku. Dan sekarang bencana besar seperti ini bisa terjadi.
"Kamu serius?" tanyaku.
Gadis itu mengangguk.
Astaga!!! Bahkan pekerjaanku masih sangat banyak. Dan kini Lucy semakin menambah beban pikiranku saja.
Aku segera bangkit, lalu melesat menuju kamar untuk memastikan kebenaran dari ucapan Lucy.
Tepat saat aku membuka pintu, Lawu lari terbirit-b***t keluar dari kamar. Aku menoleh, melihat ke arah mana ia akan pergi. Dan seperti yang kuduga, ia berlari menuruni tangga.
"Lawu Lawu!" seru Lucy sambil berlari menyusul Lawu.
Sialan! Mereka malah kabur begitu saja setelah menciptakan masalah di kamarku!
Aku bergegas masuk dan mengecek kasurku. Tanpa aku mendekat pun, sudah tampak bercak basah di sana. Aku mengerang marah. Sialan! Bisa-bisanya kasurku dikencingi oleh Lawu!
Aku bergegas turun ke bawah. Tampak Bi Ningsih sedang memberi makan Lawu, dengan Lucy yang berjongkok di hadapan kucing itu.
Gadis setàn itu tersenyum ke arahku. Namun aku acuhkan saja karena aku masih kesal padanya.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Bi Ningsih.
"Lawu kencing di kasur saya," ujarku dengan nada datar, menahan rasa kesal.
Bi Ningsih tampak terkejut dan langsung menatap Lawu.
"Biar saya bersihkan, Tuan. Atau-"
"Bibi bereskan saja kamar kosong yang ada di sebelah ruang kerja saya! Saya mau tidur di sana sampai besok ada kasur baru yang layak saya tempati," potongku.
"Ba- baik, Tuan. Kalau begitu biar saya rapikan dulu kamarnya," balas Bi Ningsih, kemudian berjalan cepat menuju lantai dua.
Setelah kepergian Bi Ningsih, Lucy berdiri dan menghampiriku.
"Maafkan aku. Aku tadi benar-benar nggak tahu kalau Lawu mau pipis. Aku khawatir dia sakit," ujar Lucy.
Aku menghela napas panjang. Memangnya aku bisa apa? Toh semua sudah kejadian.
Aku memilih mengabaikannya. Berjalan ke arah tangga dan naik dengan langkah santai.
Hingga sosok Lucy tiba-tiba muncul di hadapanku. Membuatku nyaris saja terjengkang.
"Kamu gila! Kalau aku jatuh, aku bisa mati!" sentakku.
"Maaf, aku tidak bermaksud," ungkapnya.
"Kamu-"
"Ya, Tuan, ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya Bi Ningsih di atas tangga.
Aku keceplosan. Aku lupa kalau seharusnya aku tidak boleh mengajak Lucy bicara sembarangan. Apalagi dengan nada keras seperti tadi.
"Saya cuma lagi kesal aja. Saya barusan mengomeli Lawu," ucapku asal.
Untung saja, Bi Ningsih percaya. Ia kembali pergi untuk melanjutkan kegiatannya.
Aku kembali menatap Lucy kesal. Sementara gadis itu mengedipkan matanya beberapa kali. Apa dia sedang berusaha menggodaku?
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku memilih pergi melewatinya dibanding harus meladeni setàn itu.
"Ayolah, Arthur, maafkan aku!" pintanya.
Ternyata ia masih berusaha menyusulku. Ia terus merengek seperti bayi. Menggelikan.
"Arthur, aku-"
"Kamu bahkan masih terlihat seperti bocah SMP. Dan kau memanggilku hanya dengan nama? Sopan sekali," sindirku.
Dia terdiam beberapa saat. Namun, sekitar tiga detik kemudian ia sudah berhasil menyusulku kembali. Kami sudah tiba di lantai dua sekarang.
"Jadi aku harus memanggilmu apa?" tanyanya.
Aku masih enggan menanggapinya. Lagi pula, untuk apa juga aku menanggapinya? Apa pentingnya juga untukku?
Aku kembali ke ruang kerjaku, dan dengan cepat menutup pintunya.
Namun, aku melupakan satu hal. Lucy kan bisa menembis tembok. Baru saja aku menutup pintu, kini ia sudah ada di hadapanku.
"Jawab aku! Jadi kamu ingin aku memanggilmu seperti apa? Sayang? Cinta? Atau mungkin-"
"Kita tidak pernah memiliki hubungan yang seperti itu sebelumnya," potongku.
"Bagaimana kalau sekarang? Aku tidak keberatan menjadi pacarmu. Kamu tampan, dan aku cantik. Kita sangat serasi, bukan?" ocehnya.
Aku menghela napas panjang lalu kembali mengabaikannya. Aku kembali ke kursi kerjaku. Melanjutkan pekerjaanku yang sedari tertunda akibat setàn kecil yang terus membuat masalah denganku itu.
"Kenapa? Kita kan memang serasi. Sepertinya aku juga mulai menyukaimu," imbuhnya.
Aku menyerit, lalu meliriknya sekilas. Apa dia bilang? Suka? Secepat ini?
"Suka? Bagaimana bisa kau menyukai orang asing sembarangan? Bagaimana kalau-"
"Kamu bukan orang asing. Dan aku merasa kita cocok. Jadi aku suka sama kamu," potongnya.
Aku menatapnya malas. Oke, Arthur, mari kembali fokus pada pekerjaanmu saja! Jangan hiraukan dia!
"Bagaimana? Apa boleh aku memanggilmu 'sayang' atau 'honey'?" ulangnya.
"Tidak."
"Oh ayolah, jadi aku harus memanggilmu apa?" tanyanya frustrasi.
"Tidak bisakah kamu diam? Aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku ini!" kesalku.
Dia merengut dan seketika tampak murung. Ternyata benar yang dikatakan orang-orang. Perempuan memang aneh. Dia sendiri yang suka menggangguku. Seolah memancing amarahku. Tapi ditegur sedikit langsung berakting seperti orang paling terdzolimi.
"Hhh ... diam lah! Aku hanya ingin menyelesaikan ini dulu. Tolong jangan membuat fokusku terganggu!" pintaku dengan nada yang lebih lembut.
Lucy terus menatapku. Aku pun merasa risih jika terus-terusan diperhatikan seperti ini.
"Apa lagi maumu?" tanyaku.
"Bagaimana aku boleh memanggilmu?" tanyanya cepat.
Aku kembali menghela napas panjang. Inilah alasan aku selalu menolak keberadaan kaum hawa di sekitarku. Aku tak sanggup menghadapi makhluk yang satu ini.
"Terserah," jawabku.
"Sayang?" tanyanya lagi. Aku menatapnya tajam.
"Hehe ... baik baik. Aku mengerti."
"Hmm ... bagaimana kalau 'Paman'?"
Astaga, apa lagi ini?
"Kamu kelihatannya sudah tua. Jadi apa boleh aku memanggilmu-"
"Terserah kau saja!" potongku dengan nada kesal.
Lucy langsung berseru kegirangan. Membuat kepalaku serasa mau pecah.
"Sekarang bisakah kamu diam dan membiarkanku fokus bekerja?" pintaku dengan nada memelas.
Lucy segera menutup mulutnya denyan kedua tangannya. Ia mengangguk penuh semangat. Setelah itu, aku kembali fokus pada berkas-berkas di hadapanku. Mengabaikan tatapan penuh binar dari setàn kecil itu.
Dasar setàn kecil. Semakin memikirkannya, aku semakin penasaran dengan apa yang terjadi padanya selama hidupnya.
Bagaimana sosok Lucy yang asli? Apakah ia benar-benar masih anak sekolah? Apa dulunya dia bahagia dengan hidupnya? Dan di mana ia dulu tinggal?
"Kamu melamun. Kamu pasti sedang mengagumi kecantikanku ya, Paman?" goda Lucy.
Aku kembali menunduk menatap berkas-berkas di hadapanku. Sudah cukup, Arthur! Jangan berpikir gila lagi! Kamu tidak memiliki waktu seluang itu sampai harus memikirkan hal-hal tidak penting di luaran sana.
*
Selesai dengan pekerjaanku, aku melirik Lucy yang sudah setengah sadar di hadapanku. Aku menyenggol kakinya hingga ia kembali terbangun.
"Kamu mau tidur di sini atau-"
"Aku mau tidur bersama Paman!" serunya.
Dasar setàn gila.
Aku membiarkan dia membuntutiku. Tidak tega juga rasanya membiarkan dia tidur dalam posisi kurang nyaman di ruang kerjaku.
Saat aku membuka pintu kamarku, Lucy berjalan mendauluiku dengan penuh semangat.
Aku pun memilih tak terlalu mengindahkannya. Aku segera menutup pintu dan menguncinya seperti biasa.
"Siapa kamu?"
Aku mengenali suara itu. Lucy. Tapi, dia sedang berbicara dengan siapa?
Aku menoleh ke arah Lucy, lalu mengarahkan pandanganku searah dengan tatapannya.
Kosong. Tak ada apapun di sana. Aku menyisiri ruangan ini dengan tatapanku. Dan sama saja, aku tak melihat siapapun di sini selain diriku sendiri dan Lucy.
Kamar ini terletak di dekat ruang kerjaku. Sebenarnya ada tiga buah kamar yang ada di lantai dua. Tapi aku memilih menempati kamar ini sementara selama kamarku harus dibersihkan, dibanding satu kamar lagi yang berada di dekat tangga.
"Aku tanya, siapa kamu? Dan kenapa kamu ada di sini?" tanya Lucy lagi. Kali ini dengan lebih keras dan nada yang tegas. Ia menatap tajam ke arah tempat tidurku yang kosong.
Jadi, dengan siapa Lucy bicara sekarang?
Oke. Apakah wajar jika aku sekarang mulai merinding?