04 - Terikat oleh Takdir

1310 Words
Setelah menjalani hari yang cukup berat, hingga membuatku harus lembur, akhirnya kini aku telah sampai di rumah. Aku melempar jasku sembarangan. Hingga aku dapat mendengar pekikan seorang gadis yang langsung saja membuatku terlonjak. "Ah!! Arthur kenapa sih dilempar ke aku jasnya?" protes Lucy yang ternyata tadi baru saja menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamuku. "Ya maaf." Aku meraih jasku. Lalu segera membawanya ke lantai dua. Aku malas menyahuti Lucy yang terus-terusan menyerukan namaku. Jika aku menanggapinya, yang ada asisten rumah tanggaku akan menganggap aku sudah gila karena bicara sendirian. "Arthur, aku-" "Ah!" Gadis itu- ralat. Setan itu kembali meringis saat tubuhnya membentur punggungku. Aku menoleh malas ke arahnya. Tampak ia sedang memegangi keningnya yang baru saja berbenturan dengan punggung kerasku. "Setàn bisa ngerasain sakit juga?" tanyaku sembari tersenyum miring. "Tapi aku tidak bisa menyentuh apapun tanpa aku kehendaki. Harusnya sih, aku akan langsung menerobos tubuhmu tadi, bukannya malah- tunggu! Iya! Kamu satu-satunya orang yang bisa aku sentuh! Meski aku sedang tidak ingin menyentuhmu, tapi aku rasa kita terikat," ujar gadis setàn itu. Apakah aku terlalu kasar, selalu menyebutkan dengan sebutan setàn? Tapi, bukankah ia memang setàn? "Terikat apa lagi menurutmu?" bingungku. "Ya seperti sepasang kekasih, suami istri, atau-" "Sudah aku katakan jika sebelumnya kita tidak pernah saling mengenal, Lucy," potongku. "Ya, Tuan?" Terdengar suara asisten rumah tanggaku dari arah tangga. Sejak tadi aku berani menyahuti ucapan Lucy karena kami memang sudah berada di lantai dua. Dan aku pikir, suaraku tidak akan didengar oleh siapapun. Tampak asisten rumah tanggaku yang bernama Bu Ningrum datang menghampiriku. "Apa Tuan tadi bicara sesuatu? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Bu Ningrum. Aku melirik malas ke arah Lucy yang kini malah nyengir kuda. Kalau tidak karena dia yang bicara melantur, tidak mungkin aku meninggikan volume suaraku. "Tuan," Aku terpenjat mendengar suara Bu Ningrum yang kembali menginterupsiku. "Ah itu-" "Tadi saya dengar Anda menyebut nama 'Lucy'. Apa Nyonya ada di sini?" tanya Bu Ningrum dengan begitu lugu. "Tidak. Aku hanya rindu pada Lucy. Bu, bisa bantu bawakan Lawu ke kamarku?" pintaku. Aku tidak punya pilihan lain. Hanya Lawu yang saat ini bisa aku gunakan sebagai pengalihan. Daripada Bu Ningrum xuriga kalau aku bicara sendiri tadi. "Baik, Tuan. Segera saya bawakan Lawu nya," jawab Bu Ningrum. Setelah itu, wanita paruh baya yang sudah mengabdi lebih dari dua puluh tahun bersama keluargaku itu pun segera pergi. "Yeyyy!!! Aku bisa main sama Lawu!" seru Lucy kesenangan. Aku menyerit bingung. "Memangnya siapa yang mengizinkanmu masuk ke kamarku?" Lucy menurunkan kedua tangannya yang tadi sudah ia angkat tinggi-tinggi. Ia mengerutkan bibirnya seperti bayi. Ia pikir ia lucu? "Pokoknya aku juga mau masuk ke kamar kamu. Kalau Lawu saja boleh, masa aku tidak?" protes Lucy. "Kalian beda kasta. Dia-" "Bodo amat!" potong Lucy sembari berjalan ke arah kamarku. Untung saja pintunya masih tertutup. Sehingga aku bisa mengejarnya dan menahan lengannya. "Kamu mau apa?" tanyaku. "Masuk," jawabnya santai. "Sudah aku katakan kamu tidak diizinkan masuk! Aku tidak suka ada orang asing masuk ke kamarku," terangku. "Tapi aku kan bukan orang. Aku arwah," balasnya. Aku melongo mendengarnya. Seingatku, tadi pagi ada setàn kecil yang merengek bahkan menangis karena tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia sudah berubah menjadi hantu. Tapi, kenapa setàn itu berubah pikiran dan kelihatan baik-baik saja? Terlalu sibuk dengan lamunanku, membuatku lengah sehingga Lucy bisa melepaskan diri dariku. Ia berjalan santai menerobos pintu kamarku. Sialan! Aku lupa kalau dia bisa menembus pintu! Aku baru saja hendak melabraknya saat mendengar suara Bu Ningrum dari arah belakang. Aku menoleh. Kulihat Bu Ningrum datang membawa seekor kucing abu-abu berbulu panjang di gendongannya. Ah ya. Aku tadi meminta bantuannya untuk membawa Lawu ke sini. "Ini, Tuan Lawu nya," ucap Bu Ningrum sembari memberikan Lawu padaku. "Meow!" Lawu langsung mengeong sesaat setelah ia berpindah tangan padaku. "Makasih, Bu," ujarku. Setelah itu, aku membawa Lawu masuk ke kamarku. "Aaaaaa!!! Lawu ku!" seru Lucy dengan suara begitu bersemangat. Lucy langsung mengambil alih Lawu dariku. Wow. Ternyata ia bisa menyentuh Lawu juga? "Kamu mau ke mana?" tanya Lucy saat aku berjalan melewatinya. "Mandi," jawabku seadanya. Aku segera menuju ke lemari. Mengambil sepasang pakaian santai. Lalu, aku beralih pada sebuah laci berisi dalaman-dalamanku. Tapi, saat aku hendak mengambil barangku dari sana, aku merasakan ada udara dingin menerpa dari arah belakangku. Aku menoleh ke belakang. Dan benar saja. Lucy yang tengah menggendong Lawu berdiri tepat di belakangku. Menatap di mana tanganku berada saat ini. "Apa lagi?" tanyaku malas. "Nggak apa-apa. Cuma mau ngelihatin kamu aja," jawabnya santai. "Aku mau mengambil barang-barang pribadi yang seharusnya tidak dilihat orang lain. Jadi-" "Tapi bukannya yang mencucikan pakaianmu selama ini Bu Ningrum yang tadi itu, ya? Kok dia boleh sementara aku enggak?" protes Lucy. Memang dia pikir dia siapa? "Kembalikan Lawu!" Aku hendak mengambil alih Lawu darinya. Tapi, dengan secepat kilat ia segera menjauhkan kucing abu-abu itu dariku. "Tidak mau. Aku kan belum jadi main sama Lawu," tolaknya. "Bukankah kamu lebih suka menggangguku daripada bermain dengan Lawu?" tanyaku. Aku harap ia segera mengerti apa maksud ucapanku barusan. "Benar juga. Aku lebih suka melihatmu mandi sih, daripada bermain dengan Lawu," balasnya dengan seringaian lebar yang membuatku melotot tak percaya. Baru pertama kali ini aku bertemu dengan gadis sefrontal dan semesùm ini. Aku sudah bertemu ratusan ribu wanita di muka bumi ini. Memang banyak yang menggodaku, suka rela menawarkan tubùhnya padaku. Tapi, tidak pernah ada yang sefrontal Lucy padaku. Hanya dia. Dia yang tidak tahu siapa aku dan betapa besar pengaruhku yang bisa memperlakukanku seenaknya seperti ini. Ya, dia, gadis itu adalah Lucy. "Ini Lawu nya. Sekarang ayo kita mandi!" seru Lucy penuh semangat. Aku tak tahan lagi. Aku mengacak-acak rambutku frustrasi. Benarkah ini bukan mimpi? Kenapa harus aku? Kenapa Tuhan menitipkan arwah gadis barbar ini padaku? "Kamu kenapa, Arthur?" tanya Lucy. "Bisa nggak sih kamu bersikap normal sedikit, saja?" "Normal? Memang aku tidak normal ya di mata kamu?" tanyanya dengan nada sendu. Ah ternyata benar yang dikatakan orang-orang selama ini. Wanita adalah makhluk yang paling pandai berakting. Ia yang salah, lalu ia sendiri yang akan merasa tersakiti. "Maksudku, sedikit kalem. Kamu lihat Lawu? Coba jadi kayak dia. Kalem, suka duduk, rebahan, malas-malasan, diam," ucapku lebih hati-hati. Meski dia arwah, bukankah ia masih termasuk ke dalam golongan perempuan? Jadi aku tidak boleh membuatnya menangis, bukan? "Meowww!" "Ah!" Lucy berteriak saat tiba-tiba Lawu terlepas dari gendongannya. Oh ayolah, Lawu! Ini bukan waktu yang tepat untuk kamu menunjukkan sifatmu yang sebenarnya setelah apa yang aku katakan pada Lucy. Aku menatap Lawu dengan harap-harap cemas. Berharap kucing abu-abu itu tidak mempermalukanku kali ini. "Meow!" Lawu kembali mengeong. Ia menarik dan menaikan selimutku hingga tampak berantakan. Tak sampai di situ saja, Lawu segera berlari ke arah nakas, menabraknya, hingga beberapa barang yang ada di atasnya terjatuh. 'Braaakkkk' Aku mengembuskan napasku yang sejak tadi berusaha kutahan. Sesaat kemudian, aku dapat merasakan sepasang mata tengah mengamatiku. Refleks aku pun menoleh ke arahnya. Ke arah gadis yang menatapku dengan begitu polosnya. "Jadi, kamu menyuruhku untuk bersikap seperti Lawu?" tanya Lucy dengan nada begitu polos. Meski ucapannya terdengar biasa saja, namun aku kesal mendengarnya. Aku merasa seperti sedang diejek oleh setàn kecil itu. Tak mau membuang-buang waktu lebih lama lagi, aku segera mengambil beberapa jenis potong pakaian yang tadi belum sempat kuambil, lalu membawanya ke kamar mandi. Untuk apa juga aku meladeni gadis itu hingga pusing begini? Toh kalau aku acuhkan, ia juga akan bosan sendiri lalu pergi. Benar. Sebaiknya mulai sekarang aku berusaha mengabaikannya. Menunjukkan betapa tak inginnya aku untuk mempertahankannya di sisiku. Maaf, Lucy. Tapi aku benar-benar tidak bisa menerimamu di sisiku. Jangankan kamu. Bahkan dengan manusia-manusia normal saja aku berusaha menjaga jarak sebisaku. Setelah melepas semua kain yang melekat di tubùhku, aku pun segera menyalakan shower. Aku mengguyur seluruh tubùhku. Membuatnya sedikit lebih dingin dan relaks. Ingatlah, Arthur, ketika kamu keluar nanti, kamu akan langsung berhadapan dengan sesosok hantu yang pasti akan langsung merusak mood-mu. Jadi lebih baik sekarang kau nikmati waktu mandimu semaksimal mungkin sebelum kamu diharuskan untuk merasa pusing lagi nantinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD