Kenapa kamu harus kembali
Kalau hanya menorehkan luka di hati
Lebih baik kamu nggak usah kembali Kalau hanya harapan semu yang kudapat
-Fanny Andreas-
****
Mengingat kejadian tempo hari membuatku kesal sendiri, untungnya Bella si anak manja minta maaf kalau enggak awas aja, aku bakal buat perhitungan sama dia. Meskipun Dies Natalis ini tanpa Guest Star, aku berharap acara kali ini bisa berjalan dengan lancar. Tapi kalian jangan tanyakan tentang penampilanku nanti, karena aku menolak keras usul itu, biar saja si Adiemas itu tampil sendiri. Enak aja main tunjuk-tunjuk, lagian kenapa sih aku harus nangis karena dia. Kalau dipikir-pikir kok aku bodoh banget.
Dies Natalis rencananya akan diadakan lebih awal tepat pada tanggalnya, mengingat acara kali ini tidak membutuhkan persiapan banyak. Sebenarnya ada untungnya tidak ada Guest Star karena tugasku semakin ringan.
1 November adalah hari berdirinya sekolah ini dan sudah menjadi tradisi turun-temurun, kami warga sekolah akan merayakannya dengan menggelar pensi dan stand-stand yang menjual makanan, minuman maupun aksesoris. Kelasku memutuskan untuk menjual makanan pecel gendhar dan plecing kangkug, sementara untuk minumannya kami akan menjual es asem dan es sirup.
"Fanny, kamu hari ini nggak ada rapat Osis kan?"
"Nggak ada Bamban, semua sudah dihandle kemarin."
"Nah, bagaimana kalau kita buat makanan dan minuman yang akan dijual besok di rumahmu, kan urmahmu lumayan luas dan nggak terlalu jauh dengan sekolah, tahun-tahun lalu kan juga seperti itu."
Aku baru ingat, rumahku memang sering digunakan untuk belajar kelompok apalagi kalau ada kegiatan kelas seperti ini, rumahku yang akan digunakan sebagai posnya. Tapi kali ini berbeda, secara Adiemas adalah tetanggaku dan rumahnya ada di depan rumahku. Mengingatnya hanya membuatku makin kesal saja.
"Emm, bagaimana ya, kenapa nggak rumahnya Rahmanto aja, kan juga sama-sama dekat." Pintaku, mencoba memberi alasan.
"Eh jangan Fan, keluarga besarku ada di rumah semua, mau ada hajatan nikahannya abangku." Sahut Rahman.
"Ayolah Fanny, kan biasanya di rumahmu, lagian semua bahan-bahannya kan udah ada di rumahmu."
"Baiklah, nanti sepulang sekolah langsung ke rumahku saja."
Jadilah sekarang, rumahku penuh dengan 20 anak berseragam SMA, 5 orang lainnya sibuk mencari perlengkapan untuk stand sementara aku sibuk berkutat di dapur, menyiapkan makanan ringan dan minuman untuk mereka.
"Guys, yang bikin hiasan dan properti Alfy, Desi, Fitri, Fajar sama Wildan ya, yang lain bantuin aku di di belakang bikin makanan dan minuman buat besok". Suara Bamban menginterupsi kami
"Oke," sahut kami bersamaan.
"Bamban, bagaimana kalau minumannya ditambah es cincau hijau, kayaknya di depan rumahnya Fanny aku lihat ada tanaman cincau hijau deh, kan jarang-jarang jaman sekarang ada yang jualan es cincau hijau, pasti besok bisa laku keras." Usul Desi saat melihat tanman itu tumbuh subur di pagar rumah Adiemas.
Ahhh, semoga saja Bamban tidak menyetujui usulannya, bisa ahbis aku kalua ertemu dengannya.
"Emm, iya Bamban, aku setuju." Tambah Rahman.
“Kenapa semua orang malah setuju?” Keluhku dalam hati
"Oke-oke, aku sih setuju-setuju saja, nah Fanny kamu kan yang tinggal disini, jadi kamu ya yang minta izin sama tetanggamu buat minta daun cincau hijau."
Nahkan, benar tebakanku bahwa harus aku yang meminta Izin. Aku jadi kesal dengan Desi karena membuatku berada di posisi ini.
"Yah, Bamban emang kamu tahu cara bikinnya?"
Tanyaku, dengan tujuan dia membatalkan niatnya.
"Aku tahu kok." Sahut Ela.
Yahh,”Desahku
Kenapa semua orang seolah memojokkanku untuk bertatap muka dengan laki-laki itu. Semesta tidakkah ada yang berpihak kepadaku.
"Nah, cepat sana ambil daunnya, kalau yang lain serahin sama kita, kan pembagiannya sudah jelas."
"Ya." Jawabku ketus.
Ahhhh itu Desi kenapa juga mengusulkan buat es cincau hijau segala, bukan maksudku tak mau, tapi di desa ini yang punya tanaman cincau siapa lagi kalau bukan Adiemas, aku jadi menyesal kenapa dulu aku tidak menanam sendiri tanaman itu kan nggak usah repot-repot minta sama dia. Semoga saja dia tidak ada di rumah, malas aja melihat wajahnya.
Kulangkahkan kaki menuju rumah Adiemas, suasana rumah tampak sepi. Kalau tidak ada penghuninya, mana bisa aku mengambil daun cincaunya, masa aku membawanya tanpa izin. Daripada aku menduga-duga, lebih baik aku langsung ketuk saja pintunya.
Tok tok tok
Masih belum ada jawaban, kucoba memanggil siapa tahu ada yang mau membukakan pintu
"Tante Anggun, permisi?"
"Kemana ya, kok nggak ada orangya?”Gerutuku.
Akhirnya kuputuskan untuk kembali, masa aku mau jadi maling, nanti tinggal bilang sama Bamban kalau Adiemas dan keluarganya nggak ada di rumah. Dalam hati aku bersorak, berarti aku tidak akan bertemu dengan Adiemas. Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri. Saat aku akan berbalik, sebuah suara menginterupsi langkahku.
"Loh Fanny kenapa kamu ada disini?"
Di depannku berdiri Adiemas dengan kaos putih yang mencetak otot tubuhnya ditambah celana jeans sebatas lutut yang memberikan kesan manly, Aroma mints langsung menguar dari tubuhnya, rambutnya yang terlihat masih basah dengan beberapa tetes air mengalir di pelipisnya. Tatatapannya tajam mengarah kepadaku.
"Ada apa Fan?" tanya dia, tangannya disilangkan ke d**a dan itu semakin membuatku tak fokus.
"Ada apa?"
Suaranya mengagetkanku, sial bisa-bisanya aku terpesona kepadanya, aduh semoga dia tidak menyadarinya.
"Emmm, itu Anuuu, Aduh apa ya?"
Gawat aku semakin terlihat gugup di depannya.
"Anu?" dia menaikkan satu alisnya kemudian tertawa dan diakhiri dengan senyum kecil yang menawan.
"Jangan bilang kau terpesona padaku?"
Kata-katanya langsung menohok hatiku, bagus sekali sangat tepat, tapi aku tidak akan mengakuinya meski dapat kurasakan kedua pipiku memanas, mungkin sekarang pipiku sudah semerah tomat.
"Emm. . . . .enggaklah siapa yang terpesona sama siapa, kamu aja kali yang terpesona sama aku?" Balasku tak mau kalah.
Dia kembali menaikkan alisnya. Melihat dia bertingkah seperti itu membuat jantungku berdetak lebih cepat, jangan-jangan aku mulai terkena penyakit jantung. Mungkin setelah ini, aku harus segera memeriksakan diriku ke dokter.
"Iya itu, aku disuruh temanku buat minta daun cincau kepadamu, boleh kan?"
"Emang buat apa?"
"Ya buat bikin cincaulah emang buat apalagi, kamu tahu kan sekolah kita bakal Dies Natalis lagian kamu itu kan pembinanya masa nggak tahu sih."
"Lalu hubungannya apa?" Tanyanya lagi yang langsung membuatku naik pitam.
"Ya kan kelasku mau bikin stand yang jual makanan, terus kita rencana mau bikin menu es cincau karena cincau hitam sudah biasa dan cincau hijau banyak yang suka tapi jarang ya jual ya jadi kita mau buat itu aja siapa tahu laku keras."
Kenapa aku malah menceritakan semua itu kepada dia, memang apa manfaatnya untuk dia.
"Sudah?" tanya dia yang semakin. membuatku jengkel
"Iya, jadi boleh nggak?"
"Boleh, langsung ambil aja, lagian kamu kaya sama siapa aja ambil daun aja harus minta izin."
"Aku nggak mau dianggap maling, bisa-bisa aku dikeroyok massa cuma gara-gara daun cincau".
"Hahahahaha, ada-ada aja," tawanya sambil mengacak-acak rambutku sambil berjalan melewatiku.
"Apaan sih," teriakku untuk menutupi kegugupanku.
"Ayo, kamu ngapain masih disini katanya mau ambil daunnya."
"Oke, kukira kamu nggak mau bantuin aku."
"Kasihan aja, kamu kan pendek mana bisa petik daun itu."
Aku menepuk jidatku, lupa kalau letak daun itu tinggi menjulang, untung saja Adiemas mau membantuku. Baiklah untuk kali ini aku harus berterima kasih kepadanya.
Dia mulai memetik daunnya dan menaruhnya di kantung plastik, tunggu sejak kapan dia bawa kantung plastik. Aku bahkan tidak menyadarinya sama sekali.
"Segini sudah cukup kan? Kalau kurang bisa tambah lagi."
Astaga, jarak wajahnya ke wajahku begitu dekat, bahkan aku bisa merasakan deru nafasnya.
"Fanny!" Panggil seseorang dan kuyakin dia adalah Ayu, siapa lagi yang punya suara cempreng selain dia.
Aku langsung menjauhkan wajahku dari wajahnya, kulihat dia menggaruk tengkuknya sambil terkekeh kecil, apa yang lucu coba.
"Eh ternyata Pak Adiemas ada disini, selamat siang pak." Ucapnya saat melihatku bersama Adiemas, dasar Ayu sama Adiemas aja ngomongnya dilembut-lembutin.
"Selamat siang juga Ayu."
"Pak Adiemas tinggal disini?"
"Iya, dan tanaman cincau ini yang punya saya."
"Wah kebetulan sekali ya pak, emm gimana kalau Bapak ikut kita aja." Ajaknya.
Jangan bilang kalau dia mau mengajak Adiemas bergabung.
"Ikut?" Tanya Adiemas dengan mengernyitkan dahi, tapi setelah itu akau dapat melihat seringaian kecilnya ke arahku.
"Iya ke rumah Fanny, kita lagi bikin persiapan buat stand besok, hehehe."
"Baiklah, lagipula saya juga sedang senggang."
Jelas saja dia mau, kenapa juga Ayu harus mengajak dia. Ingatkan aku untuk menggetok kepala Ayu.
"Ayo Fann, malah bengong, udah ditungguin nih."
"Oh, oke oke."
Akhirnya aku kembali ke rumahku dengan Adiemas yang mengekori kami dari belakang. Sampai disana, kalian bisa menebak ekspresi teman-temanku antara kaget dan percaya, karena kedatangan Adiemas. Tapi sepertinya, mereka menerimanya dengan tangan terbuka, bahkan Bamban sesekali bercengkerama dengan dia.
"Ela, kamu tahu kan caranya bikin cincau?" Tanyaku.
Kulihat dia hanya nyengir kuda. Jangan-jangan dia tidak bisa.
"Hehe, bisa sih, tapi aku nggak yakin bisa berhasil." Jawab dia ragu.
Astaga kalau gini ngapain aku capek-capek nyari daun cincau kalau ujung-ujungnya dia nggak bisa.
"Ckckck." Aku berdecak kecil.
"Perlu bantuan? Saya bisa kok bikin cincau."
Aku mau menjawab tidak, tapi Ela keburu menjawab.
"Boleh banget tu pak, tapi ini nggak merepotkan kan?" Sahut Ela dengan mata berbinar. Melihatnya aku hanya bisa mendengus kecil.
"Santai aja, ya udah ayo kita mulai buat."
"Ini daunnya di cuci dulu, terus siapkan baskom sama saringan dan oh ya loyang kecil sama air matang."
"Fanny, buruan lakuin yang dibilang Pak Adiemas."
Aku mengggerutu kecil, ini yang tuan rumah siapa, kok aku yang repot.
"Iya-iya." Jawabku malas.
Aku lalu melakukan apa yang Adiemas katakan.
"Sudah, terus ini diapain? Tanyaku menyerahkan semua alat dan bahan ke Adiemas.
"Bagus, sekarang cincaunya tinggal dikasih air matanf terus diremat-remat sampai air patinya keluar, ulangi berulang-ulang sampai warna airnya jadi hijau pekat tapi pelan-pelan, jangan sampai buih yang keluar terlalu banyak, karena kalau buih yang keluar terlalu banyak, tekstur cincaunya jadi tidak bagus." Katanya sambil membuat cincau itu.
"Nggak perlu dimasak ya pak Adiemas?" Tanya Ela.
"Nggak perlu."
Ela menggangguk paham. Aku juga baru tahu ternyata buat cincau tidak perlu dimasak, aku jadi terkekeh kecil saat mengingat dulu aku dan ibuku coba membuat cincau hijau dengan cara memaksanya. Kalian bisa tebak, bahwa cincau kami tidak jadi.
"Kenapa Fanny, senyam-senyum?" Tanya Adiemas padaku. Ya Tuhan kenapa dia memperhatikanku.
"Nggak papa pak, ternyata buatnya mudah." Kilahku sambil tersenyum kikuk.
Dia hanya tersenyum tanpa membalas ucapanku.
"Nah sekarang tinggal disaring, setelah itu disimpan di dalam kulkas agar cincaunya cepat terbentuk."
Dia melakukan semuanya sendirian, sementara kami hanya mangut-mangut tanpa membantu.
"Kalau buat santan dan air gulanya gimana pak?" Tanya Ela.
"Tenang aja, yang penting bahannya udah ada, tinggal bikin, ayo sekarang kita butuh kompor." Ajak dia.
Akhirnya persiapan untuk stand selesei. Yah harus kuakui keberadaan Adiemas disini sangat membantu kami, pekerjaan kami jadi cepat selesei dan karena ada dia, suasananya menjadi lebih bersahabat penuh dengan canda dan tawa. Semua teman-temanku sudah pulang, dan disini hanya tinggal aku dan Adiemas yang merapikan rumah karena kekacauan mereka. Dasar teman-teman mau enaknya doang.
"Fan." Panggil Adiemas.
"Apa?" Tanyaku sambil sibuk mengangkat wadah kotor.
"Kita perlu bicara."
"Nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi."
"Tapi Fann." Balasnya.
"Kupikir kamu sudah memaafkan aku."
Aku tertawa miris mendengar ucapannya lalu berkata.
"Sekarang aku tanya Adiemas, pernah nggak kamu merasakan kehilangan? Tanyaku dengan nafas memburu. Sial aku berusaha mati-matian menahan air mataku.
"Ketika kamu mengingatnya kamu merasakan sesak yang begitu dalam? Pernah nggak?"
Dia masih diam tanpa menjawab.
"Jawab aku Adiemas, aku pernah merasakannya saat kamu pergi dari hidupku dan sekarang saat kamu kembali, kamu mau pergi meninggalkan aku lagi?"
Aku lalu pergi meninggalkannya, berlari menuju kamar. Persetan dengan ruangan yang belum rapi
Biar saja nanti dimarahi Ibu, aku tidak tahan lama-lama berada di dekat Adiemas. Kenapa sih dia harus kembali lagi kalau hanya menorehkan luka di hatiku. Lebih baik dia nggak usah kembali, kalau hanya harapan semu yang kudapat.
****