Aku pergi karena sebuah alasan
Dan alasan itu adalah
Agar nantinya aku bisa terus bersamamu
****
Adiemas POV
"Sudah berapa kali aku bilang, aku nggak butuh maaf kamu, buat apa kamu minta maaf kalau akhirnya kamu nyakitin aku lagi, bullshit tahu nggak, jangan pernah urusin hidupku lagi, jangan pernah ganggu aku lagi, bagiku kamu udah nggak ada, bagiku kamu udah mati."
Aku hanya diam mendengarkan luapan emosinya, sebegitukah bencinya dia padaku. Kupikir dia sudah memaafkanku mengingat kejadian kemarin.
"Dan tentang penampilan kita, aku nggak mau satu panggung denganmu, kalaupun kamu tetap mau tampil, aku nggak akan pernah datang baik ke panggung maupun ke sekolah ini."
Aku masih diam tanpa menanggapi ucapannya sampai aku sadar bahwa dia pergi meninggalkanku dengan air mata yang mengalir deras.
"Fanny, Fanny, Fanny." Panggilku frustasi.
Aku ingin sekali mengejarnya. Tapi kakiku sangat sulit untuk melangkah. Kuacak rambutku frustasi, aku tahu ini semua salahku. Fanny andai kamu tahu semua ini kulakukan untukmu apakah kamu masih meninggalkanku seperti ini.
****
6 tahun yang lalu
"Adiemas, ada yang mau ayah bicarakan padamu."
Suara ayah menghentikan aktivitasku membaca buku.
"Ada apa Pa?" Tanyaku bingung saat melihat wajah ayah yang kebingungan.
"Kamu mau tidak ikut tinggal dengan nenek di Bandung?" Tanya ayah.
"Kenapa harus kesana, aku tidak bisa meninggalkan Fanny disini."
Ayah masih diam lalu duduk di tempat tidurku, tangannya menepuk tempat yang kosong di sebelahnya menyuruhku untuk duduk bergabung dengannya.
"Ada hal yang harus kamu lakukan meski kamu tidak tahu alasannya."
"Maksudnya Papa?" Aku mengernyitkan dahiku bingung.
"Kamu ingat kan cerita Papa dan Mama kemarin, meskipun kamu masih kecil, tapi kami yakin dengan kecerdasanmu tentu kamu paham."
Aku masih mengingat jelas akan hal itu dengan perjuangan ayah dan ibu untuk meminta restu ibu ayahku yang tak mudah, dan sekarang adalah saatnya aku menuruti perintah nenekku.
"Tapi, aku nggak bisa meninggalkan Fanny." Aku menunduk sedih.
"Tenang saja, akan tiba saatnya kamu kembali lagi kesini."
"Benarkah?"
"Iya, jika kamu siap untuk diberi tanggung jawab."
"Kenapa bukan Papa saja?" Tanyaku.
"Suatu saat kamu akan tahu."
Ayah menepuk pundakku lalu berlalu pergi. Masih dapat kulihat seringain jahilnya.
Tampaknya kedepannya akan sulit bagiku.
****
Hari ini saat aku bermain dengannya, dia terjatuh lagi hingga membuat dia menangis karena lututnya berdarah. Aku yang melihatnya begidik ngeri, Fanny masih saja kekanakan seperti biasanya. Tapi bukankah kami adalah anak-anak, apa hanya aku anak yang berpikiran tidak biasa.
"Kalau nanti nggak ada aku, kamu jangan nangis lagi."
Tiba-tiba kata-kata itu terceletuk dari bibirku.
"Nggak kamu nggak boleh kemana-mana, kan kamu udah janji sama aku." Rengeknya padaku.
Aku hanya bisa mendengus lemah, melihat tanggapannya seperti itu membuatku tak tega untuk bicara tentang kepergianku.
"Iya, iya, tapi janji ya sama aku jangan cengeng lagi."
Aku tak yakin dengan ucapanku sendiri tapi hanya inilah yang bisa kulakukan untuk menenangkannya.
"Iya, yang penting kamu nggak ninggalin aku." Balasnya padaku.
"Siap tuan putri."
****
Setelah kejadian itu, Fanny selalu mengikutiku kemanapun. Saat kutanya alasannya, dia hanya menjawab kalau aku tidak boleh pergi meninggalkannya. Aku hanya bisa menghela napas, karena lusa aku sudah harus pergi meninggalkannya.
Hingga tiba saat pada hari itu, dengan terpaksa aku tetap meninggalkannya. Bahkan saat aku saat sudah siap untuk berangkat aku belum mengatakan tentang kepergianku.
"Bagas, mau kemana?"
Aku langsung tahu bahwa yang memanggilku adalah dia, karena hanya dia yang memanggilku dengan nama Bagas. Entah setelah ini apakah dia akan memanggilku dengan nama Bagas.
"Ke rumah Nenek."
Yahh setidaknya aku tidak berbohong karena begitulah adanya.
"Nenekmu yang galak itu." Katanya dengan ekspresi yang dibuat-buat.
Aku terkekeh kecil melihat wajahnya yang lucu, sepertinya aku akan merindukan masa-masa ini, kucubit pipinya gemas.
"Aww, sakit tahu."
"Habisnya mukamu lucu, hehe." Dia memberengut kesal.
"Kamu mau kemana, kok ada banyak koper." Tanyanya saat melihat koper di kamarku.
"Kan aku udah bilang mau ke rumah nenek."
"Aku ikut."
"Nggak boleh, kamu tetap disini."
"Aku nggak mau sendirian, kalau nggak ada kamu nggak ada yang bisa kuajak main."
"Huhhh." Aku menghela napas kecil, jadi dia hanya menganggapku sebagai teman bermain, astaga. Aku menepuk jidatku pelan saat menyadari Fanny berpikiran seperti anak-anak pada umumnya.
"Aku janji akan pulang."
Tapi tidak tahu kapan, lanjutku dalam hati.
"Janji." Ucap dia bersemangat.
"Janji." Balasku ragu.
"Adiemas, ayo berangkat." Teriak ibu memanggilku.
"Mama sudah memanggil, ayo antar aku ke depan."
Kami lalu berjalan keluar, dengan tangannya yang berada di gengamanku. Sebenarnya berat rasanya meninggalkan Fanny, mengingat dia adalah,. . .Ahh sudahlah, jika aku tidak pergi maka orang tuaku yang akan kena imbasnya dan bisa dipastikan aku tidak akan bisa bertemu dengan Fanny lagi.
"Tante, Fanny mau ikut." Rengek Fanny pada ibuku.
"Nanti aja ya Fanny, kalau Fanny udah besar baru boleh ikut."
"Tapi kan Bagas juga masih kecil, kenapa dia bisa ikut?"
Mama terkekeh kecil mendengar ucapannya lalu menoleh kepadaku.
"Kamu sudah siap nak?" Tanya Mama kepadaku.
"Sudah Ma."
"Baiklah, sebentar lagi kita berangkat jangan lupa pamit sama Tante Rara dan Om Ridwan ya.
Aku menganggukkan kepalaku, lalu berpamitan dengan orang tua Fanny. Setelah itu kulihat ayah dan ibuku bercengkerama dengan mereka.
"Hiks. .hiks. hiks."
Fanyy mulai menangis, tangannya menggenggam erat tanganku sepertinya dia punya firasat kalau aku akan pergi jauh dan lama kembalinya.
"Sudah jangan menangis, dasar cengeng." Ucapku padanya, tapi sepertinya ucapanku salah karena kulihat dia malah semakin menangis.
"Aww. .Aduh. .aduh." Aku mengaduh kesakitan, karena telingaku dijewer oleh ibuku.
"Sakit Ma." Keluhku padanya.
"Salah siapa malah bikin anak orang nangis, dasar anak dan ayah sama saja."
Kulihat ayahku mendengus kecil, kan aku memang anaknya ayah jadi wajar dong kalau sifatnya sama.
"Sudah, ayo berangkat, nanti bisa ketinggalan pesawat." Sahut ayahku mengajak kami untuk segera bergegas.
Aku berjalan masuk ke mobil, tapi genggaman tangan Fanny belum juga terlepas.
"Dek, lepasin tangan Adiemas, dia mau berangkat."
"Nggak mau, adek mau sama Bagas,hiks. .hiks. .hiks."
"Jangan begitu dek, ayah janji nanti kita ketemu kakak ya kalau adek lepasin tangan Adiemas."
"Nggak mau, Ayah bohong kemarin kak Fero bilang sama aku kalau pulangnya lama." Kekeh dia di sela isak tangisnya.
Kulihat ayahnya menggaruk tengkuknya, tanda dia bingung.
"Fanny, dengarkan aku, aku janji akan kembali untukmu."
"Janji?" Tangisannya mulai reda.
"Iya."
Tapi tidak tahu kapan, aku tersenyum miris tidak sanggup melihat wajah kecewanya ketika tahu aku akan pergi lama.
Akhirnya dia mau melepaskan tanganku. Ayah mulai menghidupkan mesin mobil, kaca jendela kubiarkan terbuka agar aku bisa dengan jelas melihat wajahnya.
Wajahnya yang sendu, membuatku tak tega untuk meninggalkannya. Hingga mobil ini mulai berjalan, wajahku tak lepas melihat wajahnya. Aku berjanji bahwa aku akan kembali.
****
Aku tersadar dari lamunanku saat mendengar bel pulang sekolah telah berbunyi. Sial aku harus mengejar Fanny, untuk menjelaskan semuanya. Kuputuskan menuju kelasnya, dan ternyata dia sudah tidak ada disana, tapi tasnya masih ada di kelas. Sebenarnya dia ada dimana. Aku terus mencarinya, tapi nihil dia tidak berada di tempat yang aku datangi.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, itu berarti sudah tiga jam aku mencarinya, aku menghela napas lelah karena belum menemukannya. Kemana sebenarnya dia pergi.
Aku mulai menyerah, menyandarkan tubuhku di dinding kelasnya. Sampai mataku melihat Fanny yang keluar dari belakang sekolah berlalu dengan Berlin. Aku ingin mengejarnya, tapi dia sudah terlalu jauh untuk aku kejar. Astaga aku merutuk dalam hati, kenapa tidak kepikiran kalau dia ada di belakang gedung sekolah.
Setelah pulang aku harus ke rumahnya untuk menjelaskan semuanya, janjiku dalam hati. Akan tetapi nyatanya itu tidak terlaksana, karena sepulang sekolah aku harus menemui temanku yang baru saja datang ke kota ini.
****