Harusnya aku menolakmu
Akan tetapi aku terlalu lemah akan pesonamu.
-Fanny Andreas-
****
Lapangan sekolah sudah dipenuhi stand yang didirikan oleh siswa. Semua siswa tampak sibuk berjalan ke sana kemari. Dan aku disini sedang membantu Desy memasang karton yang sudah dihias di Stand. Tidak sia-sia perjuangan kami kemarin.
"Kamu nggak ke backstage Fann?" Tanya Desi sambil memasang karton.
Tak heran memnag dia bertanya seperti itu, karena untuk semua siswa yang tampil berada di backstage untuk bersiap-siap.
"Nggak ah, lagian juga masih lama mulainya."
"Masih lama gundulmu, acaranya mulai jam 8 tahu dan sekarang udah jam setengah delapan, itu artinya tinggal 30 menit lagi, udah sana." Sahut Bamban.
"Kalian ngusir aku?" Tanyaku dengan nada marah yang kubuat-buat.
Teman-temanku hanya terkekeh geli melihat aksiku.
"Huhhh, dasar, nanti kalau repot jangan panggil aku ya!" Ancamku kepada mereka.
"Udah pergi sana." Balas Bamban sambil tersenyum geli.
Aku mendengus kecil, lalu berlalu menuju backstage. Sebenarnya aku malas pergi ke sana, apalagi disana pasti sudah ada Adiemas.
"Kok baru datang Fann?" Tanya Berlin
"Udah dari tadi kok, tapi aku ke kelas dulu."
"Dasar, seenaknya nggak ikut Briefing Pagi, hemm." Keluh dia.
"Sori, habisnya aku lagi males ini." Ucapku sambil terkekeh kecil.
"Alasan aja, jangan-jangan kamu lupa lagi kalau kamu Jadi MC."
Sebentar apa aku tidak salah dengar kan, dia bilang aku jadi MC, bukankah MC-nya itu alumni sekolah ini.
"Kamu bercanda kan Berlin, bercandaanmu sama sekali nggak lucu."
"Emang aku ada tampang bercandanya." Tanya dia kemudian.
Aku tersenyum masam saat melihat wajahnya yang serius.
"Kok aku nggak tahu?" Tanyaku bingung.
"Astaga Fanny, kamu nggak lihat chat di grup, kan udah ada keputusan baru."
Sial, kemarin setelah aku berdebat dengan Adiemas, aku langsung tertidur, dan sayangnya aku tidak memegang ponselku sama sekali.
"Nggak pokoknya aku nggak mau, la Kak Tania dan Kak Aldo kemana sih?"
Kak Tania dan Kak Aldo adalah orang yang seharusnya menjadi MC acara kali ini.
"Di kampus mereka sedang ada UAS, jadilah nggak bisa hadir."
"Oww, tapi aku nggak mau jadi MC, aku belum latihan." Kekehku padanya.
"Hemm, yang selalu jadi MC kalau ada acara sekolah siapa dan yang katanya selalu jadi MC di acara di desanya siapa?"
"A...k. . u." Cicitku lemah.
"Nah itu tahu, pokoknya sekarang kamu siap-siap, pakai jas Osis jangan lupa oh ya pasangan MCmu nanti Pak Adiemas, aku pergi dulu ya."
What, boleh mengumpat nggak sih, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kenapa aku harus dipasangkan sama dia, kan ada Arwien yang biasa MC. Pasti ini ada campur tangannya si Adiemas.
Kalau gini caranya seperti makan buah Simalakama, kalau nggak mau bisa gagal ini acara kalau aku mau maka aku akan.
"Fanny." Sebuah panggilan membuyarkan lamunanku.
Segera aku mendekati orang yang memanggilku.
"Ada apa?"
"Ini susunan acaranya, cepat sana siap-siap udah ditunggu Pak Adiemas."
Kok kata-katanya Ambigu sekali, ditunggu ditunggu buat apa. Oh iya ditunggu untuk siap-siap MC. Kenapa pikiranku jadi ngelantur gini sih.
"Hemm." Aku berdehem kecil.
"Akhirnya kamu datang juga Fanny."
Adiemas langsung bersuara saat mendapatiku ada di dekatnya.
"Kamu sudah baca kan, susunan acaranya?" Tanya dia lembut.
"Sudah dong."
Bisa gengsi, kalau aku bilang aku belum membacanya sama sekali.
"Sip, 15 menit lagi kita mulai acaranya, dan apapun yang terjadi di panggung nanti kamu harus bisa profesional."
"Aku kesana dulu."
Aku hanya diam menatap kepergiannya. Penampilan Adiemas kali ini benar-benar membuatnya seperti seorang model. Atasan hijau toska yang dipadukan dengan jeans biru tua melekat sempurna di tubuhnya.
"Oy Fan, cepetan siap-siap, malah bengong."
"Santai aja kali tinggal pakai jas aja, huuhh dasar." Ucapku pada Galih.
"Lagian, dipanggil dari tadi malah bengong, mikirin apa sih."
"Anak kecil nggak boleh tahu, sudah pergi sana."
"Baru kali ini ada bawahan yang berani sama bosnya."
"Jabatan udah mau purna aja bangga."
Galih hanya terkekeh kecil menanggapi sindiranku.
"Sukses ya sama Pak Adiemas."
Dia lalu berlalu lalu berbincang dengan Adiemas. Tunggu sejak kapan Galih dan Adiemas akur, bahkan aku masih ingat jelas waktu itu Adiemas memukul Galih dengan sangat keras. Sepertinya ada yang mereka sembunyikan dariku. Masa bodohlah yang penting sekarang aku fokus dulu sama susunan acara nanti.
"Yah, ini mah rundownnya sama dengan yang kemarin." Gumamku saat melihat rundown acara yang ternyata sama persis dengan yang dibuat Arwien tempo hari.
Aku tersenyum lega, tampaknya tugas ini akan mudah. Soal Adiemas itu urusan gampang, aku yakin nanti di panggung bisa profesional.
Setelah melakukan briefing untuk terakhir kalinya. Akhirnya Pentas Dies Natalis dilakukan. Aku bersyukur karena bisa bekerja sama dengan Adiemas dalam membawakan acara ini. Kepala sekolah pun tampaknya puas dengan jalannya acara ini.
Penampilan dari siswa sekolah juga sangat menarik. Ada yang menampilkan drama, dance, akustik, dan bahkan dari klub Taekwondo juga menampilkan atraksi beladiri. Jujur aku sangat senang karena melihat acara yang lebih sukses dari yang kuperkirakan. Kulihat tamu yang berasal dari sekolah lain sangat antusias melihat acara ini.
"Sudah aku bilang kan, kalau acara kali ini bakal sukses." Ucap Adiemas tiba-tiba.
"Iya, iya percaya deh." Balasku canggung.
"Habis ini pernampilan kamu kan?" Tanyaku
"Iya, kalau kamu siap."
"Maksudnya?" Tanyaku bingung.
Yang tampil kan dia, jadi aku nggak perlu siap- siap.
"Nanti juga tahu sendiri, penampilan dance udah selesei tuh, sekarang giliran penampilan selanjutnya sekaligus penampilan terkhir."
"Oke."
Tepat saat penampilan dance berakhir, aku kembali bersuara dengan microphone yang kubawa.
"Gimana nih penampilannya, keren kan?" Tanyaku pada penonton.
"Keren."Jawab mereka kompak.
"Nah, sekarang ada apa lagi nih pak, panampilan setelah ini?" Tanyaku pada Adiemas.
Komunikasi antar MC memang sangat penting untuk dilakukan di panggung, agar kami bisa saling bekerja sama dalam membawakan acara ini.
"Emm, penampilan selanjutnya adalah penampilan terakhir di acara Dies Natalis kali ini, pada penasaran nggak?" Tanya Adiemas kepada penonton.
"Iya." Jawab mereka antusias.
Siswi di sekolah ini semakin banyak yang mendekat ke arah panggung. Dasar, kalau yang bicara pak Adiemas aja mereka antusias, sementara kalau aku biasa aja.
"Oke, lanjut penampilan selanjutnya adalah penampilan saya sendiri."
"Aaaaa." Teriak mereka.
Lama-lama telingaku bisa budeg kalau dengar suara mereka.
"Dan Fanny." lanjutnya.
Tunggu-tunggu, kok namaku di sangkut pautkan. Lewat ekor matanya Adiemas menyuruhku untuk mengikutinya ke belakang panggung.
"Adiemas kan aku udah bilang aku nggak mau." Keluhku padanya.
"Terserah kalau kamu nggak mau, kamu sendiri yang malu."
Kalau nggak ingat banyak orang disini, Adiemas udah aku lempar sama sepatu. Dan yang bikin aku tambah kesel, teman-teman Osis malah ketawa nggak jelas. Fix, aku dikerjai sama mereka.
"Ayo, tunggu apa lagi, oh ya lagunya nanti Photograph ya."
"Seriusan Photograph?" Tanyaku antusias. Kalau lagunya ini, aku siap.
"Iya, ayo." Ucap dia sambil membawa gitar.
Kapan ya Adiemas nggak terlihat ngganteng, eh apa yang kupikirkan. Pokoknya setelah ini aku akan buat perhitungan sama dia.
Kami lalu naik ke atas panggung lagi. Dia duduk di kursi di sebelah kananku. Aku juga ikut duduk di kursi yang ada di sampingnya.
"Tes." Ucap dia mengechek microphone.
"Masih semangat kan?" Tanya Adiemas.
"Masih." Jawab mereka.
"Okey, lagu kali ini akan saya persembahkan untuk seseorang yang sangat berharga bagi saya, teman masa kecil saya, saya berharap dia mau memaafkan saya dengan mengenang masa-masa indah melalui kenangan indah."
Adiemas berkata sambil memandang ke arahku, pipiku terasa panas saat menyadari bahwa lagu itu ditujukan untukku.
"Langsung saja Photograph."
Dia mulai memetik gitarnya, aku baru tahu kalau dia sangat pandai bermain gitar bahkan suaranya terdengar sangat merdu.
Lewat kode mata dia akan menyuruhku menyanyi bergantian. Kebetulan lagu ini adalah lagu favoritku, jadi aku bisa menyanyikannya dengan lancar meskipun belum latihan sama sekali.
Loving can hurt, loving can hurt sometimes
But it's the only thing that I know
When it gets hard, you know it can get hard sometimes
It's the only thing that makes us feel alive
We keep this love in a photograph
We made these memories for ourselves
Where our eyes are never closing
Our hearts were never broken
And time's forever frozen, still
So you can keep me
Inside the pocket of your ripped jeans
Holding me close until our eyes meet
You won't ever be alone, wait for me to come home
Loving can heal, loving can mend your soul
And it's the only thing that I know
I swear it will get easier, remember that we're never repeating ya
And it's the only thing to take with us when we die
We keep this love in a photograph
We made these memories for ourselves
Where our eyes are never closing
Our hearts were never broken
And time's forever frozen, still
So you can keep me
Inside the pocket of your ripped jeans
Holding me close until our eyes meet
You won't ever be alone
And if you hurt me
That's okay baby, there'll be worse things
Inside these pages you just hold me
And I won’t ever let you go
Wait for me to come home
Wait for me to come home
Wait for me to come home
Wait for me to come home
You can keep me
Inside the necklace you bought when you were sixteen
Next to your heartbeat where I should be
Keep it deep within your soul
And if you hurt me
That's okay baby, there'll be worse things
Inside these pages you just hold me
And I won’t ever let you go
When I'm going, I will remember how you kissed me
Under the lamppost back on Sixth street
Hearing you whisper through the phone
Wait for me to come home
Di tengah bernyanyi, mata kami beberapa kai saling memandang. ENtahlah seolah di dunia ini hanya ada aku dan Adiemas, sementa semua sorak-sorak penonton bagikan backsound yang tidak terlalu terdengar. Laki-laki di hadapanku terlihat enawan dengan petikan gitarnya, suaranya juga tak kalah merdu hingga membuat teriakan histeris beberapa siswi saat dia menyanyi.
"Wait for me to come home."
Lirik terakhir tanda berakhirnya penampilan kami. Terdengar sorak-sorai dari siswa maupun guru. Tampaknya mereka sangat puas dengan penampilan kami. Aku bisa tersenyum lega, tidak sia-sia kerja keras kami.
"Fan, pulang bareng aku aja ya?" Ajak Adiemas setelah aku keluar dari ruang Osis. Ya kami baru saja melakukan evaluasi untuk acara Dies Natalis hari ini. Bisa ditebak terdapat banyak wajah yang puas akan acara tahunan ini.
Evaluasi ini memang sering kami lakukan setelah melakukan sebuah acara untuk emngetahui kendala-kendala apa yang kami temukan dan bagaimana saat kami di lapangan menyelesaikannya. Denga nadanya evaluasi ni kami bisa meminimalisir kemungkinan kendala di kegiatan selanjunya.
Dan hasilnya kedepannya mungkin kami tidak mengundang Guest Star lagi, lebih memilih mengundang kakak tingkat yang sudah sukses untuk memberikan motivasi bagi siswa di sekolah ini agar bisa terus mencetak prestasi. Lagipula dengan hal itu, kami bisa menekan budgjet sehingga tida perlu menarik iuran dari siswa cukup dari proposal sponsor yang kami ajukan.
Begitulah hasil dari evaluasi tadi, dan coba tebak semua keputusan itu bisa terlaksana karena usul dari orang yang mengajakku pulang bareng ini. Baru kusadari orag di hadapanku ini multitalent juga.
"Keburu malam lho, lagian ini sudah mulai gerimis."
Daripada nanti aku pulang kehujanan, aku terima saja ajakan dia.
"Oke." Jawabku kemudian.
Jadilah aku pulang dengan membonceng Adiemas. Dapat kulihat dari kaca spion motornya dia tersenyum kecil, aku pun tidak bisa menunjukkan senyumanku. Akan tetapi aku terlalu gengsi untuk dilihat olehnya. Hingga sepanjang perjalanan, aku terus menyembunyikan wajahku di balik punggungnya.
****