Keesokan harinya.
Vina sudah kembali ke rumahnya. Setelah bertemu dengan Kesha dan yang lainya. Dia merasa sangat lega. Dan sejak dua hari yang lalu. Vina benar-benar menjauhi Albert. Hingga putus kontak dengannya.
Sekarang dia ingin sekali pergi ke Paris ikut dengan orang tuanya. Yang ternyata sudah berangkat lebih dulu. Dan ayahnya sudah memberi tahu dia untuk pergi sendiri nantinya.
Vina baru saja bersiap untuk pergi ke Paris. Dan semua barang-barangnya juga sudah siap. Tertata rapi di dalam koper warna hitam itu.
Maaf semuanya. Teman-teman aku dan yang lainya. Aku sekarang pergi! Semoga kelak aku bisa bertemu lagi dengan kalian. Kalianlah penyemangatku.
"Non, mobil sudah siap," ucap pembantu Vina. Memecahkan keheningan dalam dirinya. Vina mencoba untuk tetap tersenyum di depan para pelayan yang akan di tinggalkannya itu. Tetapi ayahnya masih memperkerjakan mereka untuk bersih-bersih rumahnya.
"Baik, saya juga sudah selesai bi," kata Vina, beranjak berdiri. Hati Vina yang terlihat rapuh mencoba untuk tetap tegar di depan semuanya. Rasa kasihan atau apapun tak terlihat di matanya. Kali ini dia ingin melupakan masa laku yang menyakitkan. dan menyambut masa depan yang jauh lebih baik lagi.
Vina menarik napasnya dalam-dalam. Ia menatap sekeliling kamarnya. "Aku akan pergi dari sini. Memulai hidup baru, yang entah nanti akan menyenangkan atau tidak" gumam Vina dengan senyum tipisnya.
Vina melangkahkan kakinya penuh ragu, meninggalkan rumah yang sudah sejak kecil ia tempati. Dan karena papanya memutuskan untuk pindah. Dengan terpaksa ia mengikutinya. Mereka memang pindah rumah di sana memulai
kehidupan barunya. Dan membiarkan perusahaan di sini di atur oleh manajer di kantornya.
Vina segera masuk ke dalam mobilnya. Dan mobil mulai jalan, menuju ke bandara. Tiga puluh menit lagi, pesawat akan take off.
Ia segera mungkin sampai di sana tempat waktu. Tidak mau telat lagi nantinya, mau berangkat kemarin malam, ia ketinggalan pesawat dan harus menunda lagi keberangkatannya.
“Pak, ngebut ya!!” ucap Vina, duduk santai di belakang.
“Iya, non.”
Vina Membuka ponselnya, melihat beberapa pesan yang masuk. Sudah dua hari ia tidak membuka ponselnya sama sekali, dan banyak sekali panggilan tak terjawab dan puluhan pesan. Panggilan dan pesan memenuhi ponselnya itu dari, ‘Albert’.
Melihat nama itu, seketika Vina memasukan kembali ponselnya. Mengurungkan niatnya untuk membaca pesan darinya. Entah meski sudah bertemu dengannya. Dia merasa masih ingin sekali untuk marah padanya. Rasa kecewa membuat hatinya tertutup untuknya.
------
Di sisi lain, Albert juga sudah bersiap menuju ke bandara. Dianyang sudha tahu keberadaan Vina. Tak mau kehilangan dia lagi, Albert mencoba untuk membuat Vina berubah pikiran. Albert melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya.
“Albert kamu mau kemana?" tanya kakaknya, yang kebetulan lewat lewat di depannya.
"Aku mau nalik ke Paris, kak. Ada hal penting yang akan aku kejar." ucap Albert, tersenyum tipis.
"Aku tahu, kamu pasti mau mengejar cinta kan. Jika memang cinta yang kamu kejar sekarang pergilah. Kejarlah cintamu, jangan biarkan dia pergi. Jika dia sudah jauh nanti maka semua akn terlambat. Jjangan biarkan dia pergi terlalu jauh.. Dan kakak akan selalu mendukung kamu. Mendukung semua yang kamu putuskan, dan aku harap kamu jangan sampai menyesal nantinya" ucap kakak Albert menepuk-nepuk bahu Albert.
"Baik, kaka. Makasih" ucap Albert. “Doakan saja adik kamu ini bisa mendapatkan kembali hatinya” lanjut Albert.
Kakak Albert hanya mengedipkan matanya. memberi kode padanya untuk segera pergi.
-----
Hari ini memang Albert sudah memutuskan untuk pergi ke Paris. Ia ingin menjemput hatinya yang pergi sampai ke negeri seberang.
"Vina, di manapun kamu berada. Aku akan selalu datang mengejar kamu. Aku akan selalu mencarimu kapanmu. Dan sesuai janji aku, aku tidak akan pernah pergi dari kenyataan. Dan lari dari tanggung jawab." batin Albert, segera masuk ke mobil kakaknya. Meski dalam hati dia belum sama sekali merasakan cinta tumbuh pada dirinya selain dengan Kesha orang yang pernah dia sukai. Dna sekaligus wanita pertama yang telah menolaknya berkali-kali. Tetapi karena dia sebentar lagi akan menikah dengan laki-laki, membuat dia semakin down.
"Pak, ke bandara sekarang" ucap Albert buru-buru.
“Iya, tuan,”
Dua puluh menit perjalanan Albert segera keluar dari mobilnya, berlari masuk ke dalam bandara. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganya, kurang lima menit lagi, Pesawat sudah akan take off.
“Haduh... aku terlambat ini,” ucap Albert, yang harus lari maraton ia langsung naik pesawat dan duduk dikusi yang sudah di tentukan.
Bruuukkk...
Albert seketika menjatuhkan badanya duduk di kursinya. “Maaf.. maaf” ucap Albert, yang tidak sengaja menenggor minuman orang di sampingnya.
“Shiiitttt.. Apa kamu gak punya mata.” bentak wanita itu, yang sudah terlihat sangat geram, gara-gara pria di sampingnya bajunya jadi kotor.
“Maaf aku gak sengaja” ucap Albert lagi, mendongakkan kepalanya kompak dengan wanita di depannya. Seketika ke dua mata mereka saling tertuju terbelalak mentap siapa yang ada di depannya itu.
“Al.. Albert!!” ucap Vina lirih, napasnya seketika sesak, melihat kenyataan di depannya.
Bagaimana bisa aku bertemu dengan Albert di sini. Oh.. Tuhan.. kenapa dia selalu muncul di hadapanku, kenapa dia tidak pergi dari hidupku saja.. terus sekarang apa yang aku lakukan.. dia ada di depanku, bersamaku, menatapku. Pikir Vina dalam hatinya yang mulai gusrah.
Ia terkihat sangta gugup dengan napas yang sudah mulai tersendak-sendak.
“Aku gak menyangka kita bertemu lagi di sini,” ucap Albert, seketika lengausng memgang ke dua pipi Vina, yang menatapnya dengan wajah kosong.
“Alana, aku mencari kamu dari kemarin, dan sekarang kamu ada di sini. Aku akan ikut kamu sekarang, ikut kemanpun kamu pergi. Aku mohon jangan pernah tinggalkan aku lagi,”
Vina yang mendengar ucapan itu masih bengong, tidak menyangka dengan ucapnya. Ia hanya bisa bergumam dalam hatinya.
Kenapa dia bicara seperti itu padaku. Apa dia suka denganku. Tapi, itu tidak mungkin. Dia tidak mungkin suka denganku, tidak akan mungkin.. dia pasti hanya bercanda, aku yakin dia hanya bercanda. Dia tidak mungkin suka denganku, tidak akan mungkin..
Vina mencoba tidak terbuai dengan apa yang di katakan Albert padanya, ia tidak mau terjebak cintanya lagi. Ia mencoba memejamkan matanya beberapa detik, menarik napasnya dalam-dalam. Mencoba mengatur hatinya yang terasa sangat berantakan. Ia mengacak-acak pikirannya menanamkan kata itu agar tidak terbujuk rayu manis Albert lagi.
“Albert lepaskan, tanganmu!!” ucap Vina dengan nada rendahnya, ia menepis tangan Albert yang masih menyentuhnya.
“kenapa? Aku gak akan pernah melepaskanmu lagi.. gak akan pernah,” ucap Albert, yang masih terus memegang ke dua pipi Vina
“kenapa kamu selalu menggangguku, Albert. Kenapa?” ucap Vina meninggikan suaranya, membuat seisi penumpang di sekitarnya mentap bingung ke arah mereka. Vina seketika menundukkan kepalanya malu.
Albert menarik dua sudut bibirnya, seketika mengembang membentuk sebuah senyuman tipis. Ia menatap dalam ke dua mata Vina, penuh arti. “Karena aku gak mau kamu pergi dariku Vina, aku mau kamu tetap di sisiku. Bersamaku,” ucap Albert, mencoba menyakinkan Vina dengan apa yang ia katakan.
Vina mengernyitkan dahinya, ia tidak percaya dengan apa yang di katakan Albert tadi. Suatu hal yang benar-benar di luar nalarnya.
Apa benar yang di katakan Albert, apa dia suka denganku. Tapi apa alasananya, bukanya dia sudah punya tunangan. Tapi apa benar yang di katakan Vino kemarin, apa sekarang mereka benar-benar sudah bersatu dan pada akhirnya Albert, sekarang mengejarku. Ahh.. tapi itu tidak mungkin.
“Vin, apa kamu sekarang mau bersamaku,” ucap Albert tanpa ragu.
Ucapan yang sangat jelast terdengar di telinga Vina, hanya yang terduka lagi ia ucapkan. Seakan jantungnya terasa melemah. Hanya beberapa
kata darinya, sebuah oenagkuan yang embuatnya seketika tidak bisa napas.
“Apa yang kamu katakan?” tanya Vina, menyakinkan apa yang ia dengar tadi.
“Aku ingin kita selamanya bursama,” ucap Albert, jelas.
apa aku salah dengar, apa telingaku masih normal. Apa dia tadi mengatakan jika suka denganku, atau hanya ingin membuat aku mau ikut dengannya. Oh.. Tuhan.. Tolong aku, aku gak tahu perasaan apa ini, kenapa begitu menyakitkan. Tidak ada yang di jelaskan, semuanya samar, tak ada penjelasan.
Albert mengerutkan keningnya, menatap wanita di depannya hanya diam mematung dengan pandangan kosong menunduk ke bawah. Jamari tangan Albert mengusap lembut pipi kanan Vina, “Jangan pernah ragu lagi, dengan apa yang aku bilang. Aku tulus dengan kamu,” lanjut Albert semakin jelas.
Vina membungkam mulutnya rapat, entah apa yang ingin ia jawab. Mendengar kata itu seakan mulutnya terkunci rapat, ia hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Mencoba menolak apa yang ada di pikirannya saat
ini.
Jantungnya benar-benar sudah tidak karuan. Vina melepaskan ke dua tangan Albert yang sangat lembut mengusap pipinya, ia beranjak berdiri, “Maaf, aku harus ke toilet,” ucap Vina, terburu-buru. Ia berlari begitu saja pergi ke toilet.
Napasnya sudah tidak bisa di kondisikan lagi.
Bruukkk...
“Maaf,” ucap Vina , yanpa menatap seseorang yang berani menabraknya. Pandangan laki-laki itu tertuju pada vina, ia menatap dari atas sampai bawah kakinya, dengan tatapan nakalnya, seakan menelanjangi matanya.
Vian mendongak, mentap laki-laki di depannya, wajahnya sangat mengerikan. Membuat Vina bergidik geli. Laki-laki yang begitu membuat ia merasa sangat kesal hari ini, sudah menabraknya, tatapanya seakan ingin memangsanya.
Apa yang akan dia lakukan, matanya menjijikkan, sepertinya aku harus cepat-cepat masuk ke dalam.
Melihat laki-laki itu semakin mendekat ke arahnya dengan tatapan nakal. Dengan segera Vina masuk ke dalam toilet. Ia mencoba menutup pintunya. Tangan kekar laki-laki itu mencegahnya.
“Mau kemana kamu?” tanya laki-laki itu dengan sigap masuk ke dalam toilet.
“Apa yang akan kamulakukan.” Ucap Vina, was-was. Ia berjalan mundur dengan wajah yang sudah menciut ketakutan.
Tatapan leka-laki itu sangat menjijikan, berjalan terus mendekatinya.
“Pergi dari sini?” teriak Vina, mecoba memukul laki-laki asing di depannya dengan sekuat tenaganya.
laki-laki itu mencengkram erat tangan Vina, mendorongnya ke belakang hingga dia terpojok di pintu yang sudah di tutup rapat.
“Tolong... tolong, siapa saja tolong aku..” teriak Vina, air mata seakan sudah mulai menetes. Saat jemari tangan laki-laki itu berani menyentuhnya, dia semakinmendekatkan wajahnya dan berbisik lembut. “Jangan menolak, hanya beberapa menit saja. Dan tidak ada yang akan mendnegarkan kamu
di sini,”
Tolong.. tolong..
Ia terus berteriak sekuat tenaga, mengeluarkan semua suara. Wanita itu, terus meronta, namun tubuh laki-laki itu semakin mendesaknya hingga tak
bisa bergerak sama sekali. Ke dua tanganya di kunci rapat di atas kepalanya.
“Dasar menjijikkan,” ucap Vina, yang masih terus menangis sesegukan.
Laki-laki itu mulai berdengus leher Vina, dan.
Brakkkk...
Albert mengerang marah melihat wanitanya di sentuh laki-laki lain, ia menendang keras laki-laki di depannya itu. Hingga terpental jatuh. Belum
puas dengan itu, ia memukul bertubu-tubi.
Bukk.. bukk...
“Apa yang kamu lakukan,” ucap Albert, yang langsung melayangkan pukulan ke wajah laki-laki di dapanya.
Danberanjak berdiri, menghampiri Vna yang hanya diam seakan trauma dengan pa ayng terjadi. Albert memeluk erat tubuhnya Vina, mencoba membuat ia tenang tangan kiri mengusap lembut rambutnya, dan tangan kenan memegang pipi Vina, membuat gadis itu tergelam dalam d**a bidang Albert.
“Kamu gak apa-apa kan, apa di menyantuhmu labih. jika dia berani macam-macam, atau berani menyentuhmu walau hanya sedikit. aku tidak akan
segan-segan memukulnya lagi sampai dia tak berdaya sekalipun,”
“HIKK.. sudah aku gak apa-apa, lebih baik kita sekarang pergi,” ucap Vina, yang sudah mulai nyaman dengan dekapan tubuh Albert.
Albert menuntunya, berjalan keluar dari toilet, menembus beberapa orang yang melihat kejadian itu, dengan wajah heran.
“Jangan sedih, aku denganmu sekarang.” ucap Albert, semakin mendekap erat tubuh Vina. Beberapa kata itu, membuat hati Vina seakan
berbunga-bunga. Ia ingin emnolak pikiran senang dalam otaknya, mengganti dengan pikiran curiga, namun hatinya menolak. Hatinya sudah terlanjur nyaman dengannya.
Albert apa kamu merasakan hal yang sama denganku. Jantungnya, degup jantungnya. Aku merasakanbjelas, aku mendengar jelas degup jantungnya semakin cepat..
Albert, menuntun duduk kembali di tempatnya, ia memegang ke dua lengan Vina, mengangkat dagunya, mendongak menatapnya. “Vin, ijinkan aku selalu menjaga kamu. Aku ingin selalu berada di sisimu, menjagamu” ucap Albert, semakin membuat hati Vina taknkaruan. Wajah yang semula muram, penuh dengan air mata ketakutan. Ia mulai menarik ujung bibirnya, tersenyum tipis. Menatap Albert.
“Kenapa kamu mau menjagaku?” tanya Vina, mencoba memastikan.
“Karena sekarang aku sadar, jika aku gak bisa jauh darimu.” Jawab Albert penuh keyakinan.
Sebenarnya aku juga sama, tapi sepertinya. Aku belum yakin dengan hatimu. Jika kamu memang sudah benar-benar, memberikan hatimu seutuhnya untukku. Aku gak mau sakit hati lagi, aku gak mau
salah memilih cinta.
“Vin, kenapa kamu diam?” tanya Albert, merasa tida ada jawaban dari Vina.
Vina langsung menyadarkan dirinya dari lamunannya. “Ehh.. Iya, tapi aku butuh waktu, untuk menerima kenyataan ini. Sulita bagi seorang wanita yang sudah pernah tersakiti, untuk menerima cinta orang yang pernah menyakitinya.”
Wajah Albert, muram seketika. Ia menarik napasnya, mencaoba menerima jawaban yang di berikan Vina padanya. Tapi setidaknya ia sudah dengar jawaban dari Vina, hatinya sudah tenang.
“Meski aku tidak bisa memilikimu sekarang. Tapi aku ingin memilikimu nanti, sampai tidak ada yang memisahkan kita.”
Deg...
Mendengar kata itu sotak jantunya berhenti beberapa detik, sebuah kata lagi yang mampu melumpuhkan jantungnya seketika. Membuat hatinya tidak karuan.
“Kita lihat saja nanti. Tapi setidaknya kita bisa jadi teman lagi.” Ucap Vina, menarik ke dua sudut bibirnya, seketika mengembang membentuk sebuah senyuman, termanis yang ia miliki.
“Bagaimana?” Vina mengulurkan tanganya ke arah Albert. Dengan sebuah senyuman yang masih terukir di bibirnya.
“Baiklah, tapi kamu jangan main kabur lagi ya,” ucap Albert, mecubit ke dua pipi Vina. Dengan tangan kanan menerima uluran tangan Vina.
Vina mengarutkan bibirnya, mengusap pipinya yang masih terasa sakit. “Lagian, kamu juga nyebelin.” Gumam Vina.
“Nyebelin bagaimana? Sudah sekarang jangan cemberut begitu.” Gumam Albert, menarik kepala Vina, menyandarkan ke bahunya.
Membuat Vina benar-benar merasa nyaman kali ini. Ia ingin melihat seberapa besar pengorbananya saat ini untuknya. Ia ingin melihat cinta tulus darinya, bukan hanya sekedar kata-kata yang haya membuat ia senang dalam
satu hari.