Bersandar di kursi besar meja kerjanya, pak Bambang mulai menekuni satu persatu pekerjaannya. Tapi sulit baginya untuk bisa fokus. Fikirannya masih melompat-lompat diantara kejadian demi kejadian.
Kenanga sebenarnya gadis yang baik, dia pasti punya alasan untuk menjadi penari di diskotik itu.
Pak Bambang sangat yakin, dari cara Kenanga berbicara saat mereka bersama, pak Bambang sangat yakin Kenanga pasti terpaksa berada di sana.
Gaya bicara lembutnya, cara menterjemahkan kalimat, Kenanga sangat pandai.
Cara Kenanga melayani dirinya pun hari itu dirasakan pak Bambang demikian punya cara yang berbeda. Kenanga tidak murahan seperti p*****r kebanyakan.
Pak Bambang mengingat setiap detail perlakuan Kenanga padanya.
'Harusnya hari itu aku banyak bertanya, tapi saat itu ia begitu fokus pada petuah ayahandanya untuk membunuh buaya putih.
Buaya putih yang dulu membunuh adik-adiknya.'
Pak Bambang begitu fokus pada urusan itu saja hingga lupa bertanya.
Dari mana asal Kenanga, mengapa ia sampai tiba di diskotik itu dan menjadi penari.
Pak Bambang menyesali semuanya. Andai ia bisa lebih sigap. Pasti hari ini ia tidak akan disiksa oleh rasa penasaran.
Dulu..
Dulu sekali, dua adik kembarnya meninggal dengan cara yang mengenaskan.
Rumah Pak Bambang terbuat dari kayu, mirip rumah adat. Keluarga pak Bambang tidak sekaya hari ini. Didepan rumah tersebut terdapat air mengalir yang terhubung ke sungai. Air di depan rumah pak Bambang tidak pernah surut.
Rumah pak Bambang dan rumah warga sekitar terpisah oleh sawah penduduk, seperti ada jarak antara rumah yang satu dengan lainnya.
Berjarak dua rumah terdapat rumah keluarga ibu Tarsiyah, keluarga Tarsiyah tidak bekerja tapi hidupnya kaya raya dan berkecukupan.
Mereka punya banyak mobil dan motor.
Tersiar kabar keluarga tersebut mengamalkan pesugihan.
"Mereka punya ilmu buaya putih mbak," cerita seorang tetangga pada almarhum ibu pak Bambang.
"Ach, kamu tahu dari mana, jangan fitnah."
"Saya nggak fitnah mbak, serius."
"Buktinya apa ?"
"Tadi malam aku lihat mereka memandikan buaya putih itu di belakang rumah."
Sontak ibu terkejut, jelas nampak wajah takut .
Keluarga sebelah pemilik buaya putih itu makin hari makin kaya saja. Berbagai perabot mereka beli silih berganti.
Mulai dari sofa kecil hingga sofa besar yang demikian mewah.
Keluarga pak Bambang sebenarnya tidak pernah merasa iri, mereka bertetangga baik-baik saja.
Hingga pada suatu hari, adik kembar pak Bambang menangis terus, sudah di bawa ke bidan di desa tapi tetap saja ia menangis.
"Sebenarnya mereka tidak apa-apa bu," kata bu bidan pada ibu.
"Perutnya tidak kembung, tubuhnya tidak panas, tidak batuk dan pilek juga. Tapi kenapa mereka menangis ya ?"
Bu bidan saat itu sangat heran.
Hingga ibu pulang dengan membawa keresahan dan kebingungan.
Usia mereka masih 2 bulan. Mereka lucu dan menggemaskan, tubuh mereka gendut dan sehat berisi.
Pak Bambang empat bersaudara, satu kakak laki-lakinya saat itu berusia 15 tahun kemudian pak Bambang berusia 11 tahun lalu ke dua adiknya.
Adik perempuan yang lucu. Setiap hari ada saja warga kampung datang melihat. Kebiasaan orang kampung ini mereka akan duduk-duduk di depan rumah pak Bambang bila siang tiba, sambil menikmati semilir angin dan bergunjing.
"Anak pak Bayu kemarin meninggal," kata bu Saminah yang ikut duduk bersama ibu-ibu kampung.
"Meninggal karena panas tinggi ya," ibu yang satunya menimpali.
"Panas tinggi apanya, dia meninggal tidak ada penyakit."
"Maksudnya ?"
"Beberapa hari sebelum itu, anak bu Tarsiyah datang bermain ke rumah pak Bayu. Bayi itu digendong, disayang, dicium-cium. Kemudian beberapa hari menangis tidak mau berhenti. Sampai meninggal tubuhnya biru."
"Ach, jangan fitnah kamu."
"Eits kalau ndak percaya tanya saja istri pak Bayu."
Ibu yang mendengar petbincangan itu makin gusar. Karena dua kembar anaknya masih saja rewel hingga hari ini. Tangisnya akan terdengar keras dan melengking antara adzan ashar dan maghrib juga tengah malam.
Ibu ingin bercerita pada ayah tapi takut. Khawatir terjadi hal yang lebih buruk lagi.
Ibu memendam sendiri ketakutannya.
Rabu, pukul tiga dini hari, saat ibu hendak mencuci baju di depan rumah seperti kebiasaannya. Ibu melihat ada bayangan, ya... bayangan buaya, buaya berwarna putih.
Melihat ibu datang buaya itu pergi. Meski tak nampak jelas bentuknya tapi air di depan ibu jelas bergerak yang menandakan ada sesuatu yang pernah melewati air ini.
Ibu tertegun, antara percaya dan tidak. Tanpa curiga beliau meneruskan mencuci.
Beruntung hari inj si kecil nggak rewel jadi ibu bisa tenang mencucinya.
Sampai subuh tiba, saat semua pekerjaan selesai, ibu mendatangi kamar dua kembarnya yang cantik-cantik. Ibu tersenyum melihat dua kembarnya tidur pulas dan baik-baik saja.
Karena kelelahan ibu tertidur diantara dua kembar sambil mendekap mereka dengan dua tangannya yang terlentang.
Ibu bermimpi, buaya putih itu mencium i jemari kakinya dengan menjulurkan lidah, ibu berusaha beringsut menjauh namun buaya itu kian mendekat. Ibu sangat terkejut. Ibu berteriak minta tolong hingga terbangun.
Betapa terkejutnya, saat melihat tubuh dua kembarnya sudah kaku dan dingin sekali. Wajah mereka berwarna kebiru-biruan.
Ibu berteriak sangat kencang. Hingga ayah, kakak pak Bambang juga pak Bambang menuju tempat ibu berteriak.
"Ya Allah...." suara ayah, beliau demikian terkejut melihat dua kembar kesayangannya tubuhnya kaku dan pucat pasi.
Ayah memeluk ibu, mencoba berbagi kekuatan. Pak Bambang dan kakinya hanya bisa bingung melihat ini semua.
Saat yang bersamaan ayah melihat sebuah bayangan di pintu kamar. Bayangan itu,
"buaya putih."
Suara pak Bambang keras dan melengking.
Ayah mengambil tombaknya, berusaha mengejar buaya putih itu sambil berteriak-teriak hingga tetangga berdatangan. Suaranya riuh bukan kepalang.
Beberapa ibu-ibu datang ke kamar melihat si kembar, yang datang menutup mulut mereka karena takjub dengan kematian dua anak kecil itu.
Dalam pertarungan itu buaya putih terkena sabetan tombak ayah, tapi ayah terpelanting hingga tangan dan kakinya luka.
"Jadi buaya putih itu benar-benar ada ?"
"Iya,"
"Jadi benar buaya putih itu milik bu Tarsiah ?"
"Sudah jangan ribut,"
Persiapan pemakaman si kembar pun dilaksanakan. Sambil mengobati ayah yang terluka.
Ayah mencaci maki keluarga bu Tarsiah.
Ayah dan ibu menangis saat si kembar di makamkan.
Sejak hari itu entah benar entah tidak, yang pasti keluarga bu Tarsiah pindah rumah. Mereka tidak tinggal di kampung itu lagi. Sebelum warga menghabisi mereka mereka memilih pergi. Hal tersebut makin membuktikan bahwa keluarga bu Tarsiyah memang bersalah.
Sejak hari itu juga ayah memiliki dendam yang tidak pernah surut pada keluarga bu Tarsiyah.
Dendam karena kematian si kembar, juga dendam karena jalan ayah sekarang tidak tegap lagi. Satu kakinya sudah tidak bisa lagi di pakai berjalan normal. Setiap mengingat kematian si kembar ayah menjadi marah dan selalu ingin membalas dendam.