Hari yang ditentukan itu tiba, Kenanga dengan gaun hitam dan kalung mutiara melingkar erat di lehernya.
Rambutnya di gulung keatas, leher putihnya nampak menggiurkan.
Kenanga mengikuti kemauan Bram dengan iming-iming ia akan mendapatkan bagian dari apa yang sudah disepakatinya bersama pak Bambang sang pejabat.
Sepanjang perjalanan Kenanga hanya diam, ia menyapu semua jalanan dengan rindu dan membingkainya dengan sejuta asa. Bayangan kesuksesan itu sudah akan ada di depan mata.
Ia berjanji akan pulang dan menemui Fauzan sang putra tersayang. Rindunya sudah tumpah ruah tak tentu arah. Membayangkan wajahnya saja Kenanga pasti menitikkan air mata.
Fauzan adalah satu-satunya sebab mengapa ia berdiri di sini saat ini.
Hotel itu berdiri megah di daerah ini, Bram dan Kenanga turun, menemui penerima tamu, kemudian di bimbing menuju tempat yang sudah di tentukan.
Ada banyak rumah-rumah mini di tepian pantai, settingan yang apik. Ini hotel termewah yang pernah di jumpai oleh Kenanga, pun tidak di dalam mimpinya.
“Perkenalkan ini pak Bambang,” ucap Bram pada Kenanga.
Kenanga di perkenalkan oleh Bram dengan Pak Bambang.
Pak Bambang mengulurkan tangan disambut hangat oleh Kenanga, hati Bram meradang seperti ada rasa nyeri entah karena apa.
Mereka berbincang, beberapa kali terdengar Kenanga tertawa renyah. Bram merasa tidak nyaman....
Bram memilih segera pergi.
“Saya permisi dulu pak.” Ucap Bram tetiba sesaat mereka usai menikmati sarapan pagi.
“Buru-buru sekali pak Bram” ucap pak Bambang.
“Iya, ada yang harus saya selesaikan pak, “
“Mohon ijin saya ingin bicara dengan Kenanga sebentar.”
“Oh, silahkan.” Pak Bambang mencoba bijak.
Kenanga mengikuti langkah Bram menjauh dari tempat mereka duduk tadi, mendekati jembatan kayu yang menghubungkan antara kamar yang satu dengan yang lainnya.
“Jaga diri baik-baik” Bram berbicara seperti orang baik.
“He eh”
Sebelum Bram pergi Kenanga mencoba menghentikan langkahnya.
“Berapa lama aku di sini?” tanya Kenanga.
“Tiga hari,”
“Emmmm... jadi hari ini aku boleh melayani orang lain ya,” Kenanga mencoba membuat Bram ingat pesannya dulu saat pertama kali Kenanga b******u dengannya.
Bram tidak menjawab, ia pergi begitu saja dan Kenanga hanya bisa melihat punggung Bram hingga hilang.
Kenanga kembali menuju kamar, pak Bambang sudah menanti. Mereka berbincang ringan, sesekali tertawa, sesekali berkisah.
‘Gadis ini memang cantik, ‘ batin pak Bambang menggumam.
Malam itu diiringi semilir angin Kenanga duduk di anjungan kamar yang mereka sewa, pemandangannya pas menjorok ke pantai. Ini untuk pertama kalinya Kenanga melihat pantai setelah hampir enam bulan terkurung dalam diskotik milik Bram.
Di beranda kamar itu Kenanga menikmati hembusan angin, menikmati bunga warna-warni.
Hingga pak Bambang datang menegurnya.
Pak Bambang membawa Kenanga menuju kamar, ci***an bertubi tubi datang.
Kenanga berusaha menikmati semuanya. Entah setan apa yang merasuki Kenanga, malam itu Kenanga merasa dirinya terpuaskan.
Lima episode bercinta telah ia jalankan.
Pak Bambang mendekat...
Memeluk Kenanga erat.
Tiba tiba P Bambang menyentuh jemari Kenanga,
"Menikahlah denganku,"
"Menikah?"
Kenanga geli dengan tawaran Pak Bambang.
Sejak suaminya mencampakkannya, Kenanga seolah tak lagi percaya dengan pernikahan. Terlalu banyak laki-laki yang mengajaknya menikah, bukan untuk serius memberikan kebahagiaan lahir batin namun tak lebih hanya sebatas pada keinginan untuk bercinta dan menikmati tubuhnya saja, setidaknya hal itu yang ada dalam fikiran Kenanga.
Itu sebabnya Kenanga lebih memilih mematikan rasa dalam hatinya pada lelaki manapun daripada ia harus menanggung beban atas rasa sakit yang akan mendekam lama dan bisa jadi membuat ia kehilangan keseimbangan dalam mengasuh Fauzan kelak.
Begitulah wanita, mereka lebih banyak berekspresi dengan perasaannya dan bila perasaannya terluka maka butuh waktu baginya untuk menghentikan ekspresinya sejenak sambil menunggu lukanya sembuh.
"Aku serius Kenanga"
Kenanga hanya terkekeh kecil.
"Ini hadiah untukmu"
Pak Bambang melingkarkan cincin bermata berlian hitam dengan gambar mirip mawar putih di dalamnya. Cincin itu peninggalan nenek datuk nya.
Ayahnya memerintahkan pak Bambang untuk memakaikan cincin itu di tangan Kenanga sekedar untuk membuktikan, Kenanga benar-benar manusia atau ada ilmu di dalam tubuhnya yang mempengaruhi lelakunya.
Tiada yang tahu bahwa ayah pak Bambang adalah musuh besar keluarga pak Bram sejak jaman dahulu, mereka sama-sama punya bisnis yang besar hanya sayangnya sama-sama dikelola dengan cara kotor.
Dalam keluarga pak Bambang bisnis kotor itu makin lama makin dikikis oleh anak cucunya, berbeda dengan keluarga Bram yang terus saja menganut tradisi kotor itu entah sampai kapan.
Kenanga menerima cincin itu dengan bahagia, ada senyum tersungging di bibirnya.
“Terimakasih,” suara Kenanga demikian lemah.
Semenit, dua menit, tiga menit Kenanga bergerak gerak, wajahnya berganti ganti, Pak Bambang menyaksikan semuanya dengan matanya. Ia sangat takjub., Kulit Kenanga bersisik. Kakinya berubah mirip kaki buaya.
"Benar ternyata,"
Pikiran Bambang melayang layang. Ia letakkan tubuh Kenanga di peraduan. Bambang menghubungi H Nur yang mengiringinya sejak tadi.
"Dia berubah," teriak Bambang.
Kemudian dua laki laki datang mendekat, tubuh Kenanga dingin, muncul sisik di antara ruas ruas jarinya, sisik yang semakin tebal dan banyak. Kenanga bergerak gerak saat H Nur membaca beberapa ayat suci Al-qur'an.
Kenanga bangkit melawan, Kenanga mendadak menjadi sangat kuat. Kenanga meliuk-liuk, badannya bergerak seperti tarian mistis, bambang hanya menyaksikan kejadian itu takjub.
H Nur berusaha meruqyah Kenanga tetapi kenanga menjadi sangat buas, Kenanga marah, ia menyerang H.Nur, menggigit jarinya hingga banyak darah keluar, Bambang panik dan ketakutan. Kenanga mendobrak semua yang ada di dekatnya.
H Nur terhuyung-huyung, ia muntah darah.
“Itu ilmu buaya putih yang membunuh Yumna dan Yumni , adikmu sewaktu kecil.” Teriak H. Nur.
“Cepat libas tubuhnya dengan pisau di sabuk ku” H. Nur memberi perintah pada Bambang.
Bambang mengambil pisau tersebut namun saat ia akan menancapkan pisau ke perut buaya putih tersebut, tubuh sang buaya menyentuh meja, air dalam teko pun tumpah mengenai tubuh buaya putih, ia meliuk lebih hebat, kemudian ia mendadak kembali pada wujud Kenanga.
Bambang mundur beberapa langkah, ia tak mungkin membunuh Kenanga, bukan Kenanga yang membunuh Yumna dan Yumni beberapa tahun yang lalu, yang menghabisi mereka adalah sang buaya putih. Dan jelas bukan Kenanga. Bambang gamang. H. Nur marah hebat.
“Ayahmu akan sangat marah,” teriak H. Nur.
Bambang menghela nafas panjang.
H. Nur terus muntah darah. Sampai kemudian rebah. Kenanga menyeringai.
Beberapa detik usai itu,Kenanga tetiba sudah ada di ranjang nya seolah tak terjadi apa apa.
Di tempat yang lain Diskotik menjadi sunyi. Dua hari tanpa Kenanga.
Para pelanggan marah, seperti seorang musafir yang kehausan mereka berteriak memanggil nama Kenanga.
Bram panik tak tahu akan berbuat apa.
Bram meluncur menuju hotel tempat Kenanga ia berikan pada pak Bambang tiga hari yang lalu, Bram ingin menjemput Kenanga nya, ini sudah hari ketiga sesuai perjanjian bahwa tugas Kenanga telah selesai.
Di depan pintu lamat-lamat ia mendengar suara seseorang merintih, ia mendekatkan telinga pada kaca pintu. Suara seseorang membacakan ayat suci, ada suara orang merintih. Bram makin penasaran, ia mengetok pintu keras sangat keras, ia tak mau terjadi apapun pada Kenanga.
Bram mendapati Kenanga sedang di rukyah, H Nur demikian bernafsu ingin mengalahkan Kenanga dan setan dalam tubuhnya.
Kenanga menari liar, gerakan erotis nya makin menjadi, Bambang demikian tegang.
Bram tiba, terkejut ia melihat kejadian di depan matanya, Bram terpana,. Tariannya makin lama makin melemah hingga akhirnya Kenanga rebah.
"Kalian tidak berhak melakukan ini!" bentak Bram pada Bambang.
Bambang mencoba menjelaskan bahwa Kenanga adalah wanita jadi-jadian, Bram tidak perduli.
Bram memeluk Kenanga yang nampak tidak berdaya. Kenanga membuka mata sambil tersenyum.
"Mas Bram,"
Bram memapah Kenanga menuju mobilnya.
Mengajak Kenanga pulang......