Mawar Berduri

1121 Words
Benar kata kak Nasim, aku harus bangkit dan berhenti menyalahkan semuanya. Bagaimana bisa aku lupa akan sebuah kalimat yang sealu sering aku ucapkan saat menguatkan temanku, 'selalu ada hikmah dibalik setiap musibah, tetaplah husnudzon kepada Allah'. Kalimat yang mendadak aku lupakan saat diterpa musibah. Beruntung, kak Nasim selalu ada dan mengingatku untuk terus bangkit. Setelah memberikan keterangan terkait semua yang Zia alami sebelum terjadi insiden tragis itu, aku merasa sedikit tenang. Sekarang, aku hanya ingin fokus dengan kesehatan Zia. Alhamdulillah, Zia sudah melewati masa kritisnya, meski sampai saat ini Zia belum juga membuka matanya. "Pelan-pelan, insya Allah semua akan membaik." Kalimat sederhana yang begitu melekat di benakku. Aku merasa semua kekuatan ini, tidak luput dari kehadiran kak Nasim yang selalu tulus ada di sini. Selama satu pekan ini, kak Nasim selalu menjagaku. Dia selalu menyemangati dan menasehatiku untuk selalu percaya kalo selalu ada terang setelah hujan. Selalu ada hikmah dibalik musibah, apa kedekataan kami juga hikmah dari semua ini? Aku bisa kembali bertemu kak Nasim, jelas itu bukan kebetulan semata. Semua sudah menjadi takdir, lantas bagaimana dengan perasaan nyaman ini? Apa itu juga takdir ... atau ujian? Semua kebaikan yang ada pada kak Nasim, rasanya bukan sesuatu yang bisa aku hindari ... dia pria baik dan aku tidak mengangguminya. Salahkah langkahku ini, Ya Rabb? Aku mulai menikmati semua kedekataan ini. Aku mulai mengabaikan pertanyaan apa ini benar ? Hubungan apa yang kini aku jalani bersama kak Nasim? Jelas bukan hanya sekedar hubungan pertemanan seperti biasa ... ini lebih dari itu, tiada hari tanpa saling menguatkan. Tiada hari tanpa saling berbagi senyum dan tiada hari tanpa saling melihat. "Izinkan saya selalu ada di sampingmu." Aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajahku saat ini, setelah lebih dari sepuluh kali membaca pesan dari kak Nasim. Senyum jelas tidak bisa aku sembunyikan, rona wajah sudah tidak aku hiraukan. Aku tidak peduli semua itu. Aku hanya ingin dekat dengan kak Nasim. Hanya itu. "Kak ...." "Iya, ada apa? " "Aku mau ke kantin rumah sakit, Kak—" "Iya, saya bakal jagain Zia di sini," potong kak Nasim. Aku tersenyum canggung, bukan itu maksudku memberi tahu kak Nasim. "Tapi, di sini ada mama dan papa Zia, Kak ... jadi—" "Kamu tenang aja. Saya bakal jagain mereka di sini sampai kamu balik lagi .... setelah itu baru saya balik ke kantor," tambah kak Nasim lagi. Setelah itu hening, kak Nasim terlihat bingung lantaran aku yang malah terpaku di tempat. "Jadi...?" kak Nasim tersenyum bingung. "I-itu, Kak ... Kakak dari tadi pagi belum makan, jadi ...." "Ah, iya ...." kak Nasim mengangguk cepat. Aku tersenyum lega, syukurlah kak Nasim paham apa maksudku. "Kalo gitu saya pesan roti sama jus mangga, ya ..." Eh, kok? Aku bengong sesaat, lalu tertawa geli, setelahnya. Ternyata kak Nasim tidak paham maksudku barusan. "Eh, kenapa?" bingung kak Nasim. Aku cepat-cepat menggeleng, takut kak Nasim salah paham lagi. "Oke, jadi roti dan jus mangga." "Gak ngerepotin kamu, kan?" tanya kak Nasim, terdengar tidak enakkan. Lagi-lagi aku tersenyum geli. "Gak ngerepotin sedikit pun, Kak. Saya aja sering ngerepotin, Kakak. Sekali-sekali Kakak dong ngerepotin saya. Saya gak masalah kok. Saya suka." "Suka?" ulang kak Nasim. Aku langsung menjawab dengan anggukan semangat, tanpa berpikir akan ada lanjutan dari kalimat kak Nasim barusan. "Sama saya?" tanyanya kali ini terdengar sangat pelan, tapi langsung berhasil membuaku mematung. Mataku yang semula tersenyum, berganti mata membulat, kaget. Apa yang terjadi? kenapa jadi begini? Aku harus apa? "Saya juga suka," tambah kak Nasim lagi, tidak ingin membirkan keheningan sama-sama membekukan kami. Aku berlagak seolah biasa saja, mengabaikan semua gejolak hati yang tidak karuan. Ya Rabb... hanya tidak ingin kisah cinta yang melanggar syariatmu. "Kalo gitu, saya langsung ke kantin ya, Kak." Buru-buru aku berjalan, ingin rasanya aku berlari cepat, agar bisa segera menghilang dari pandangan kak Nasim. Aku bisa bernapas lega, setelah berhasil mencapai belokkan dan menghilang di balik tembok dingin rumah sakit. Seharusnya aku senang setelah keinginanku terpenuhi .... Namun... alih-alih merasa senang, hatiku malah tiba-tiba merasa aneh. Rasanya aku ingin berbalik dan bertemu kak Nasim lagi. Belum selesai dengan perasaanku sendiri, tiba-tiba dari arah depan seorang wanita bersepatu tinggi menabrak bahuku dengan sangat keras. Makanan yang baru saja aku beli, sontak jatuh berserakan di lantai. "Lemah ...." ejekkan dingin itu seketika menyadarkanku yang tengah sibuk mengambil beberapa. makanan yang masih bisa di selamatkan dari lantai. Aku mendongka dan mendapati wanita yang wajahnya tidak asing bagiju, berdiri dengan angkuh. "Jina ...." cicitku pelan. Jina tersenyum miring. "Lo ingat gue? bagus deh kalo gitu, gue jadi gak perlu memperkenalkan diri lagi." Aku segera bangkit, sadar kalo insiden tabrak tadi bukanlah sebuah ketidaksengajaan. Jina sengaja menabrakku. "Mau ke mana lo?" teriak Jina, begitu aku kembali melanjutkan langkah. Aku terus berjalan, memilih mengabaikan teriakan Jina. "Nasim gak sebaik yang lo kira .... " teriak Jina lagi. Entah kenapa, aku spontan berhenti dan memutar tubuh menghadap Jina yang masih berada di posisinya tadi. Jina tersenyum mengejek, mungkin merasa menang karena tanpa sadar aku merespon perkataanya barusan. Gadis itu berjalan santai ke arahku, suara hak sepatunya seolah mengema dan menjadi backsound menyebalkan. Jina sengaja membiarkanku terus bertanya-tanya mengenai maksud dari kalimatnya barusan. "Lo pasti tahu, kan, kalo gue dulu pernah tunangan sama Nasim, bahkan kita hampir nikah," bisik Jina setelah berhasil berdiri di depanku. "Dan karena itu, gue pasti tahu siapa Nasim .... dia bukan cowok baik. Aku dan Dia bahkan sudah... kamu pasti tahu, untuk apa orang berpacaran, bukan?" Rasanya aku ingin sekali menarik rambut Jina, menghentikan mulutnya yang seenaknya saja. "Karena itu, Nasim hanya berhak buat gue," tambah Jina. Sudah aku duga, Jina memang gadis yang picik. Dia menjatuhkan harga diri kak Nasim, demi mendapatkannya. Dia tidak mencintai kak Nasim, dia hanya menjadikan kak Nasim seolah piala yang harus diperebutkan. "Dasar gadis picik! " "Pujian yang bagus..." Senyum manipulasi Jina berubah menjadi serengaian bak serigala kelaparan. "Lo pasti juga tahu, selain picik, gue juga gak suka kalah. Gue bisa ngelakuin apa aja biar menang, termasuk nyingkirin lo." Aku muak! Aku kembali mengambil langkah pergi. Tidak ada gunanya berbicara dengan orang seperti Jina. "Jina, ngapain kamu di sini? " tanya Nasim. Rupanya Jina mengekor di belakangku. "Hay, Sayang. Aku ke sini buat ngasih kabar gembira buat kamu ...." Jina berhasil meraih lengan Nasim. Kak Nasim berusaha melepaskan lengannya dari cengkeraman erat Jina, namun gagal. "Aku baru aja bergabung dalam tim kamu dan itu artinya ... aku bakal bantuin kamu buat nangani kasus ini." Jina melirik sinis ke arahku. "Apa? " kak Nasim berhasil menarik lengannya, tapi Jina tidak kehabisan akal. Dia berpura-pura kehilangan keseimbangannya, kak Nasim yang refleks menahan tangan Jina agar tidak jatuh. "Kamu gak papa, kan?" tanya kak Nasim. Jina melirik ke arahku dengan pandangan mengejek. "See, hanya orang bodoh yang gaj sadar kalo kamu masih cinta sama aku ...." **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD