Angkot

1193 Words
Udara di luar tidak terlalu dingin, tidak juga panas. Matahari bersinar malu-malu di balik awan, membuat udara bisa dibilang sejuk. Namun, hal itu berbanding terbalik dengan suasana yang ada di dalam mobil polisi. Jina dan Jihan duduk bersebelahan sedangkan Nasim berada di kursi pengemudi. Kedua gadis itu menampilkan ekspresi yang sama datarnya, bungkam sepanjang jalan, seolah ada boom waktu yang siap meledak saat terdengar suara. Jina sekali-kali melirik ke arah Nasim dari kaca spion depan mobil, Nasim berusaha memantau keadaan keduanya. Nasim tidak percaya akan Jina, dia takut Jina berbuat jahat pada Jihan. Meski itu rasanya agak sedikit berlebihan, tapi yang Nasim tahu Jina sejak awal, sudah mengibarkan bendera permusuhan dengan Jihan. Jina pasti akan berusaha untuk selalu membuat Jihan tidak nyaman. Mobil terus bergerak menuju kantor polisi, tanpa adanya percakapan. Jina mencoba mengoda Nasim, tapi Nasim malah teralih fokus perhatiinnya pada Jihan yang nampak sendu menatap jalan yang mereka lewati dari balik kaca jendela mobil. Gadis itu menyederkan kepalanya, berulang kali menghela napas panjang, lelah. Raut wajahnya juga nampak datar, terlihat penuh kesedihan. Brak! Ujung mobil sedikit membentur kecil ujung trotoar jalan. Jina memutar bola mata malas, Jihan tersentak dari lamunannya. Mobil seketika berhenti. Jina dengan kesal turun dari mobil, membuka pintu dan menarik Jihan. "Mending lo turun deh!" sentak Jina. "Jina, lo apa—" "Gue gak mau mati konyol cuma gara-gara cewek ini," tukas Jina sebelum Nasim menyelesaikan kalimatnya. "Kamu dari tadi perhatiin dia aja, aku udah teriak-teriak supaya kamu fokus meratiin jalan, tapi kamu malah meratiin dia aja. Seolah jalan pindah ke wajahnya" Jihan kaget mendengar itu. Tarikan tangan Jina makin keras di lengannya. Jihan mencoba menepis, tapi yang terjadi dia malah tertarik dan nyaris tersungkur di terotoar. "Jina! " bentak Nasim, kesal akan kelakukan Jina yang hampir melukai Jihan. "Gue yang salah, kenapa lo malah nyalahin Jihan?!" "Kamu salah, ya gara-gara ada Jihan. Kalo gadis ini gak ada, kamu gak akan salah," sahut Jina. Nasim tidak mengerti jalan pikiran Jina, hingga kehilangan kata-kata. "Mending lo ke kantor polisinya, naik angkot atau gojek aja deh," desis Jina pada Jihan yang masih meringgis mengusap pergelangan tangannya yang memerah lantaran genggam Jina. "Buruan! " bentak Jina, tapi Jihan masih mematung di posisinya. "Oh, lo pasti gak punya uang ya?" ejek Jina. "Nih uangnya ...." Jina melempar lembaran uang itu tempat mengenai wajah Jihan. Jihan tersontak kaget. Nasim mendelik, kesal. Kedua tangannya mengepal keras, siap menghantam wajah mulus Jina, jika saja ia tidak ingat kalo Jina perempuan dan mereka masih menggunakan seragam polisi. "Maaf, tapi saya gak butuh uang anda!" desis Jihan, lalu berbalik dan berjalan cepat. Nasim yang kesal pada Jina tidak menghiraukan teriakan gadis itu dan malah berlari mengejar Jihan. "Jihan ...." panggil Nasim masih berusaha mengejar Jihan. Jihan yang masih kesal, tidak menghiraukan itu dan makin berjalan cepat, berharap Nasim berhenti mengejarnya. Namun, Nasim tidak ingin menyerah, dia tetap mengejar Jihan. Hingga akhirnya Jihan berhenti, lelah dan kasihan melihat Nasim yang harus berlari mengejarnya seperti itu. "Kenapa Kakak ikuti saya? Saya bisa kok naik angkot sendiri," sergah Jihan, begitu Nasim berhenti di sampingnya. "Atas nama Jina, saya minta maaf." Mendengar kalimat itu rasanya seperti ada kerikil yang mengenai hati Jihan. Jadi kak Nasim mengejarnya hanya untuk meminta maaf mewakili Jina? Apa benar kak Nasim masih mencintai Jina? "Gak masalah, Kak. Sekarang, Kakak bisa balik lagi ke mobil. Kasihan Jina pasti nungguin, Kakak," balas Jihan, yang tidak bisa menampikan ekspresi cemburu dari nada bicara dan raut wajahnya. Hal itu membuat Nasim tersenyum tipis. "Tapi saya maunya sama kamu, gimana dong ?" sahut Nasim berhasil memberikan efek mata membulat pada Jihan, Jihan menoleh cepat, salah tingkah, buru-buru menunduk kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang sekarang menghangat. "Jadi kita mau naik apa? Angkot? " tanya Nasim. "Ha?" Jihan kaget dan bingung. "Kakak yakin mau naik angkot ?" Jihan ragu lantaran sekarang Nasim tengah menggunakan seragam polisinya, sepanjang hidupnya, Jihan tidak pernah melihat polisi naik angkot. "Yakin. Memangnya kenapa? Angkot, kan, kendaraan umum buat siapa aja. Buat polisi juga gak masalah, kan? Lagian kadang kalo motor saya rusak, ya, saya pulangnya naik angkot," jelas Nasim. Jihan mengangguk-ngangguk baru tahu. Tidak lama, angkot berwarna biru berhenti di depan mereka. Keduanya langsung naik, Jihan sengaja memilih duduk di tengah-tengah, di antara dua ibu-ibu di kanan dan kirinya, agar tidak merasa canggung harus duduk di sebelah Nasim. Sedangkan, Nasim duduk di dekat pintu, karena hanya itu jok yang masih tersedia. Angkot sudah terisi penuh. Angkot melaju, satu persatu penumpang turun. Ibu yang berada di sebelah kanan, Jihan sudah turun. Namun, Nasim tidak beranjak dari posisinya, Nasim tahu kalo Jihan pasti tidak nyaman jika dia duduk di sebelahnya. Angkot yang semula terisi penuh, kini tersisa tiga orang, Jihan, ibu di sebelah kiri Jihan dan Nasim. "Kiri, Bang ...." seru ibu yang berada di kiri Jihan. Angkot berhenti, Nasim yang berada di depan pintu refleks turun, memberikan jalan pada ibu itu. "Kenapa gak pindah di dalam aja, Nak? Kan kosong, cuma ada Neng itu doang ...." ujar ibu itu sebelum turun. Nasim mengulas senyum. "Enak di sini, Bu, gak panas." "Oalah, kirain lagi berantem, makanya gak mau duduk di sebelah istrinya." "Istri? " Nasim tersenyum canggung, kepalanya spontan menggeleng, memberi jawaban kalo mereka bukan suami-istri, tapi diam-diam hati Nasim mengaamiin dengan lantang perkataan ibu yang kini berlalu dari hadapannya. Saat naik ke angkot lagi, Nasim baru sadar, ternyata saat angkot berhenti, ada seorang pria yang naik dan duduk di jok sebaris dengan Jihan. Angkot kembali melaju. Awalnya pria itu duduk dengan jarak jauh dari Jihan, lambat-lambat, pria itu mengikis jarak yang ada. Sedikit, demi sedikit, makin dekat dengan Jihan. Jihan baru menyadari itu, saat pria itu susah berada di sebelahnya dan dengan sengaja menyentuhkan pundaknya dengan pundak Jihan. Jihan bergeser, pria itu mengikuti. Nasim terlalu bahagia lantaran pernyataan ibu tadi, hingga tidak menoleh ke dalam karena merasa malu. "Neng, udah punya pacar? " godanya. Jihan hanya diam, berpura-pura tidak mendengar suara pria itu. "Neng, cantik amat sih. Jadi pacar saya mau gak? " Pria itu mencuri pandang ke arah Nasim yang tidak menoleh ke dalam. "Neng ..." "Maaf, pak, jangan ganggu saya, " tegas Jihan. "Loh, kenapa, Neng? Neng udah punya pacar ya? Sama saya aja Neng, langsung nikah kita." Pria itu berusaha meraih tangan Jihan. "Tolong, jaga batasnya anda ya! "bentak Jihan, kesal. Nasim menoleh dan mendapati Jihan merasa kurang nyaman karena pria itu. Jihan melihat gelagat Nasim yang hendak siap melepaskan kepalan tangannya. Jihan tidak ingin Nasim terlibat masalah karena ini. Jihan segera menghentikan Nasim dengan isyarat matanya. "Galak amat, Neng. Jangan galak-galak dong, nanti susah cari suami. Mau ya jadi pacar saya, mau ya ..." Nasim menghela napas panjang, kemarahannya perlahan mereda. Dengan kepala dingin ia mendekati pria itu. "Tolong jangan ganggu .... istri saya," tegas Nasim, suara berat Nasim membuat pria itu tersentak kaget, terlebih Nasim yang sudah berubah posisi duduk di sebelahnya. Layaknya penjahat yang tertangkap basah, terlebih lagi di depan aparat negara, pria itu buru-buru menghentikan angkot dan turun. Angkot seketika hening. Terdengar hanya suara deru mesin dan angin dari luar. Jihan memandang ke arah jendela angkot yang sengaja di buka. Tanpa di duga, keduanya kompak tertawa, menghilangkan rasa canggung dan kesal yang sendari hadir. "Hari ini, ada-ada aja ...," gumam keduanya lagi-lagi kompak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD