Dekat?

1228 Words
'Makan dulu ...' Setelah membaca pesan itu, aku spontan melihat ke arah jendela, kak Nasim masih berjaga di luar ruangan ina Zia. Diluar dugaanku, kak Nasim ternyata juga melihat ke arah jendela kecil, dia sama kagetnya denganku. Aku segera membuang wajah. Ada apa ini? Kenapa wajahku terasa panas sekali? Ponselku tiba-tiba kembali berdering, ada pesan masuk dari kak Nasim.. 'Maaf ....' Dua alisku spontan terangkat. "Kenapa kak Nasim tiba-tiba minta maaf ?" bingungku. 'Buat ?' balasku. 'Tadi.' Tadi apa? Aku makin kebingungan. Buru-buru aku kembali membalas pesan kak Nasim. 'Saya gak ngerasa kakak buat salah, kenapa minta maaf ?' Tidak lama pesan kembali masuk di ponselku. 'Soalnya wajah kamu tiba-tiba merah pas liat saya. Kamu masih marah sama saya?' Aku spontan menangkup kedua wajahku. Jadi kak Nasim lihat wajahku yang tiba-tiba memerah ini. "Aarrggghh malu banget," teriakku tertahan. 'Kamu kenapa?' Pesan dari Nasim, yang sukses membuatku ingin kabur dari bumi. Ck! kali ini aku benar-benar memutar tubuh dari arah jendela kamar inap Zia. Takut, Nasim bisa kembali melihat wajahku bersemu seperti ini. Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari kak Nasim. Aku terlonjak kaget, berusaha untuk tidak panik meletakkan ponsel di atas meja yang mendadak jadi lebih berat dari biasanya. Panggilan pertama berakhir, tapi bukan kak Nasim kalo tidak berhasil membuatku kebingungan dan nyaris seperti orang kurang waras yang berusaha untuk tenang. Itu cuma panggilan ponsel, aku hanya perlu mengangkatnya dan yap ... semua selesai. "Ya, tinggal angkat." Aku meraih ponsel dengan sangat hati-hati, seolah ponsel berubah menjadi benda beracun yang berbahaya. Terdengar suara salam dari sambungan telepon. "Ya?" sahutku cepat, sembari menahan tanganku yang mendadak gemetar, aku tidak terbiasa dengan semua ini. "Jadi ?" "Ha?" alisku nyaris bertaut, bingung. Perlahan gemetar di tanganku hilang. "Jadi apa, Kak? Kakak kenapa telepon aku?" tanyaku kali ini lebih tegas. "Kamu marah sama saya, ya?" Jadi ... kak Nasim nelepon cuma buat nanya itu? Spontan aku tertawa pelan, lupa kalo sekarang kak Nasim bisa mendengar suaraku. Aku tersadar akan fakta itu setelah kembali terdengar suara kak Nasim yang kebingungan. "Ya Allah, Kak, aku pikir tadi ada apa gitu, ternyata cuma gitu ...." "Bagi saya itu penting, Jihan." "Ha?" Lagi-lagi kak Nasim kembali membuat lidahku keluh, Ya Rabb ... ampuni hamba, jika rasa ini membawa hamba pada apa yang tidak Engaku ridhoi. "Gak kok, Kak. Saya gak marah sama Kakak." "Alhamdulillah, saya senang dengarnya." "Kenapa Kakak senang?" tanyaku spontan, seketika di seberang sana hening. Astagfirullah, aku tidak seharusnya memperpanjang percakapan ini ... "Kak, kayaknya gak ada yang perlu dibicarkan, kan? Saya matiin ya, assalamualaikum." Klik ! Panggilan itu berakhir, tepat saat jariku terangkat. Sesaat, aku tertegun menatap layar ponsel yang masih berkedip terang. Mataku terpanah, menatap benda pipih itu bak orang purba yang baru saja melihat teknologi mutahir yang sudah berhasil membuat jantung berdebar tidak karuan dan sekarang membuat tubuhku terpaku. "Ya Rabb, rasa ini jelas bukanlah dosa. Maka lindungi hamba dari melakukan dosa karena perasaan ini." 'Hamba, menyukainya.' ** "Nasim, kelihatannya semangat banget nangani kasus ini." "Iyalah, kan biar calon istrinya gak sedih lagi." "Eh, calon istri?" "Iya, gadis yang kemarin memberi keterangan itu ... " "Emang benar, Ko?" "Bener apa nih?" Eko menatap bingung dua pria yang dulunya satu teman SMP, Seno dan Fajar, yang kini satu tim dengan Nasim. Meski berbeda divisis, terkadang saat istirahat mereka sering makan bersama. "Gue baru datang udah di todong pertanyaan aja," sahut Eko yang akhirnya ikut bergabung duduk dengan keduanya, memesan "Soal Nasim. Dia udah punya gandengan baru lagi?" "Gue—" "Kalian jangan buat gosip ya!" Suara hentakan meja membuat ketiganya kaget, sontak ketiganya diam, menatap bingung Jina yang entah datang dari mana dengan wajah memerah dan mata membesar. Ketiganya bertanya-tanya, dari mana datangnya Jina yang seenak jidat menyela pembicaraan mereka. "Lo ngapain dah, Jina?" sinis Eko. Eko langsung bangkit, tidak sudi berlama-lama bersama Jina. "Ko, lo mau ke mana?" teriak Seno, bergeges ikut bangkit, merasa risih akan kehadiran Jina yang selalu saja menarik mata lelaki buaya kearahnya. "Gue mau nyusul Eko, lo gak mau ikut?" tanya Seno pada Fajar yang sebenarnya tidak ingin bangkit dari kursinya. Dua gorengannya belum habis. Kalo soal perut Fajar, sangat tidak bisa kompromi. "Gak deh, lo aja ..," sahut Fajar sembari kembali mencomot tahu di dalam piringnya. "Dasar lo. Ya udah gue duluan." Seno pergi. Fajar kembali sibuk mengunyah makanannya, tidak peduli Jina masih di sana menatapnya dengan pandangan marah. "Lo sama Nasim satu tim, kan?" tanya Jina tiba-tiba tentunya dengan nada suara yang masih menganggu gendang telinga. "Hem ...." dengus Fajar panjang. Fajar benci jika harus berbicara dengan mulut penuh. "Gue serius!" bentak Jina yang merasa Fajar tengah mengabaikannya. Jina dengan tidak sopan, menepis gorengan yang ada di tangan Fajar. Fajar langsung bangkit, menatap nanar gorengan tempe yang sekarang menjadi rezeki bagi semut di lantai. "Ini nih keburukan lo! Lo tuh selalu berpikir kalo dunia selalu berputar di lo. Lo selalu ingin semua orang harus ikutin apa yang lo mau !" Fajar menatap tajam Jina yang sama sekali tidak merasa bersalah. Jina memutar malas matanya, bosan mendengar kalimat itu berulang dari Fajar. "Gue gak butuh ceramah lo." "Gue gak ceramah ... Lagian percuma ngomong sama orang yang gak ngerti bahasa manusia." Plak. Suara nyaring tamparan yang Jina layangkan nyaris membuat semua orang di sana menahan napas. Kaget dan bingung. Fajar, polisi paling kalem dan tidak pernah mau berurusan dengan hiruk pikuk cewek kini berurusan dengan Jina, sang pusat perhatian pria. Namun, Fajar terlihat biasa saja, tidak sekaget semu pria yang terang-terangan menatap Jina tanpa kedip. "Kalo gak karena Nasim, gak sudih gue ngomong sama manusia kayak lo!" Jina menyoroti Fajar, sinis, dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Kalo gak gara-gara gorengan gue yang lo jatuhin, gue juga gak sudi ngomong sama lo!" Fajar membuang wajah, menunju betapa tidak sudinya ia melihat Jina, yang hanya mengandalkan fisik untuk bisa meraih cita-citanya itu. Fajar tahu siapa Jina. "Oh jadi gara-gara itu ...." Dengan cepat Jina merogoh saku roknya, mengambil beberapa lembar uang dan melempar uang kertas itu tepat di wajah Fajar. Lagi-lagi, Fajar tidak kaget dan malah tersenyum miring. "Puas lo sekarang?" "Puas?" Fajar buru-buru membungkuk, memunguti uang kertas yang kini berserakan di lantai, tidak peduli kalo semua orang kini tengah bertanya-tanya akan sikap Fajar, yang seolah tidak peduli harga dirinya diinjak-injak Jina dan malah sibuk dengan lembaran kertas. Fajar memang tidak bisa ditebak. Dia selalu bertingkah yang jauh dari apa yang orang pikir normal. Normalnya, orang akan marah atau miminal pergi dari sana. "Bu, saya minta gorengannya tempe satu ya," ujar Fajar santai. Setelah memesan, Fajar kembali menghadap Jina yang masih terpkau di tempatnya tadi. Fajar dengan cepat mengambil tangan Jina, gadis itu memberontak, berpikir kali Fajar mungkin akan melukainnya karena sudah habis-habisan mempermalukan Fajar di depan semua orang dan bahkan junior mereka. Namun, lagi-lagi diluar dugaan semua orang, Fajar menarik tangan Jina untuk mengembalikan uang yang tadi Jina lemparkan ke wajahnya. "Harga gorengannya cuma dua ribu. Gue ambil segitu, karena itu hak gue. Lo gak perlu bayar gue dengan uang lo yang banyak itu karena gue gak kayak lo." Fajar meletakkan uang itu tempat di telapak tangan Jina, yang hanya terdiam menatao tajam Fajar dengan sorot penuh kebencian. Fajar rasa sudah cukup drama hari ini, dia hanya ingin mengambil gorengannya dan mungkin memakannya di dapur kantor polisi. Dia akan lebih tenang menghabisi makanannya. "Gue benci lo! " teriak Jina tiba-tiba. "Dulu, sekarang bahkan selamanya! Gue benci lo, gue benci karena lo... kakak gue." **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD