Pertemuan Pertama

1072 Words
(Pov Nasim) Entah bagaimana caranya mendefinisikan apa yang aku rasakan sekarang. Perasaan ini sama persis seperti perasaan yang aku rasakan saat dulu. Saat aku melihat Jihan kelelahan berjalan kaki ke sekolah. Aku tidak tahu perasaan apa ini. Yang aku tahu, kalo aku selalu ingin menghapus kesedihan di wajahnya. Aku ingin membuatnya tertawa, ingin membuatnya tersenyum dengan mata berbinar. "Ayo, naik ...." Aku ingat betul itu kalimat pertama yang aku ucapkan pada Jihan. Untuk pertama kalinya, aku berinteraksi dengan Jihan setelah bertahun-tahun aku terus memperhatikannya dari jauh. Aku melihat Jihan untuk pertama kalinya saat di bangku SMP. Waktu itu, aku tidak sengaja melihat Jihan yang nampak kerepotan dengan pita-pita kecil yang melekat pada kerudungnya dan juga sebuah tas besar dari karung yang nampak berat, menyita kedua tangannya. Sebenarnya itu pemandang biasa saat MOS, semua murid baru mengalami apa yang Jihan alamin. Mereka nampak kerepotan sendiri, hingga mengabaikan seekor kucing yang kepalanya nyangkut di sela pagar. Tanpa banyak berkata, Jihan langsung menghampiri kucing itu dan membantunya lepas dari besi pagar. Semenjak hari itu, mataku selalu berhasil menemukan Jihan di antara banyak orang. Senyum gadis itu selalu berhasil mengundangku untuk ikut tersenyum. Namun, aku tidak pernah berpikir kalo semuanya mungkin takdir? Aku pikir semua hanya kebetulan semata, setelah tamat SMP aku tidak akan lagi bertemu gadis itu. Namun, lagi-lagi semua tidak pernah aku duga. Aku kembali bertemu Jihan. Jihan ternyata tetangga dari sahabatku, Derry, yang baru saja pindah rumah. Yap! Setiap kali aku mengunjungi Derry, aku selalu tidak sengaja melihat Jihan. Masih dengan situasi yang sama, dia tidak menyadari itu. "Dia sombong tahu ...." ujar Derry waktu itu, saat tanpa sengaja Derry melihat aku nampak kaget menoleh ke jendela dan mendapati Jihan keluar dari rumahnya. "Dia, siapa?" "Itu tetangga gue." "Sombong kenapa?" tanyaku lagi. "Sombong, gak pernah negur orang," ujar Derry yang spontan membuatku mengulas senyun kecil. "Oh, iya, Nasim ... kalo gak salah anak tetangga sebelah juga sekolah di SMP kamu loh ...." ujar tante Mona, ibu dari Derry. "Oh, ya, Te?" tanyaku, berlaga tidak tahu akan fakta itu. "Iya, dia kelas satu kalo gak salah," jelas tante Mona sebelum meninggalkan kami, setekah meletakan dua cangkir minuman dingin dan beberapa makanan kecil. Aku kembali mengangguk seolah baru tahu informasi itu. "Lo kenal dia?" tanya Derry setelahnya. "Ha?" Alisku spontan terangkat. "Gak ya?" sahut Derry sebelum aku bisa mencari jawabanya yang tepat. "Wajar sih. Kayaknya cewek itu juga sombong di sekolah. Pasti jarang keluar kelas. Udahlah gak penting." "Ngomong-ngomong, namanya siapa?" "Ha, siapa? Tetangga gue itu? Kalo gak salah namanya Jihan." Hari itu untuk pertama kalinya, aku tahu nama Jihan. "Nasim ...." "Eh, iya ?" Aku terperanjat, tersadar dari lamunanku begitu tepukkan pelan mendarat di bahuku. Itu Fino, salah satu rekan kerjaku. "Gimana udah dapat keterangan dari gadis itu? Pimpinan nanyai tuh ...." Aku spontan mengaruk tengkuk kepalaku, mengalihkan rasa bingungku untuk menjawab pertanyaan ini dengan aman. "Untuk saat ini saya belum dapat keterangannya .... Jihan masih terlihat sedih akan keadaan sahabatnya itu. Saya tidak tega untuk memintanya memberi keterangan sekarang. Dari kemarin dia juga sibuk mengurusin dan menghubungi keluar Zia. Jadi ...." Fino tiba-tiba tersenyum samar. "Tapi kayaknya lo kelihatan lebih cemas ...." Aku terpaku, bingung. "Gue tahu kok. Ya udah, lo gak perlu khawatir. Biar nanti gue aja yang bilang sama pimpinan." Fino kembali menepuk pelan bahuku mungkin sebagai bentuk dukungannya padaku. "Oh iya, nanti sekalian deh gue urusin, biar lo bisa dapat surat tugas berjaga di depan kamar inap Zia. Buat jagain Zia ...." Lagi-lagi Fino tersenyum samar, sebelum berbalik dan melangkah pergi. Namun lima langkah setelah itu, tiba-tiba Fino berbalik dan tersenyum samar, "Dan buat jagain Jihan juga ...." ** "Zia !" Lagi-lagi Jihan tersentak dari tidurnya. Entah susah keberapa kali, Jihan memaksa tubuhnya untuk beristirahat. Nasim benar, jika ia sakit, ia malah akan merepotkan semuanya. Namun, otak Jihan tidak mengerti itu, sekali pun dalam mimpi, otaknya terus berkerja keras menampilkan semua pra duga tak mendasar yang membuatnya terus mencemaskan keadaan Zia. Bosan memaksa tubuhnya untuk tidur, Jihan bangkit dari sofa yang berada tepat di seberang ranjang Zia, lalu berpindah duduk di kursi single yang bisa di tarik mendekati kasur Zia. Orang tua Zia, mengalami banyak kendala yang membuat keduanya belum bisa pulang sekarang. Hanya Jihan yang Zia punya sekarang. "Zia, maafin aku ya ... Zia, kamu harus bertahan ...." gumam Jihan pelan. Zia ingin mengelus pelan kepala Zia, tapi ia takut hal itu malah akan menyakiti Zia. Zia sangat rapuh sekarang. Jihan segera bangkit, saat matanya kembali hendak mengeluarkan cairan bening. Zia mungkin koma, tapi Jihan tidak ingin sahabatnya itu tahu kalo dia menangis di sini. Jihan hendak meraih knop pintu, bermaksud untuk keluar sejenak menenangkan diri. Namun, tangannya seketika berhenti saat melihat dari celah pintu, Nasim yang tampak duduk tegak dengan kedua tangan dilipat di d**a. Pria itu terlihat lelah, tapi berusah untuk tetap terjaga. Sesekali ia mengusap tangannya yang tidak tertutupi seragam polisi. "Jam kerja polisi sudah habis, kenapa kak Nasim masih di sini?" gumam Jihan pelan. Jihan menarik kembali langkahnya masuk ke dalam ruangan inap Zia. Jihan mengambil paper bag yang tadi siang dia bawa, Jihan ini memberikan selimut atau jaket untuk Nisam. Namun, rupanya Jihan tidak membawa dua benda yang dia cari itu. Satu-satunya yang bisa membantu Nisam agar tidak kedinginan hanya switer rajut berwarna pink. Jihan ragu untuk memberikan itu, namun dia tidak tega melihat Nasim kedinginan. Jihan akhirnya memberanikan diri untuk keluar dan memberikan switernya itu. "Pake ini biar Kakak gak kedinginan." Jihan merasa sungkan menyodorkan switer berwarna pink itu. Jihan takut Nasim akan tersinggung atau marah diberikan switer warna pink, warna yang sama sekali tidak cocok untuknya. "Cuma switer ini yang saya bawa, Kak ...."Jihan refleks mengangkat sedikit kepalanya karena Nasim masih belum meraih switer yang ia sodorkan. Nasim malah menatap seksama switer pink itu. "Kalo Kakak gak mau, gak papa—" Sebelum Jihan merampungkan kalimatnya, Nasim dengan cepat mengambil switer itu dan tanpa ragu menggunakanya. "Switernya bagus. Jadi hangat. Makasih ya," ucap Nasim. "Maaf malah jadi ngerepotin." Nasim menerima switer itu tanpa protes dan malah terlihat sangat senang, Jihan masih tidak percaya apa yang dia lihat sekarang. "Gak ngerepotin kok, Kak." Jihan tanpa sadar ikut tersenyum. "Kamu lebih baik kalo senyum," gumam Nasim tanpa sadar. "Ha?" Astagfirullah ... Nasim mengerutui mulutnya yang dengan lancang berucap seperti itu, ditambah lagi debar jantungnya yang tidak karuan. Nasim tidak mengerti, Jihan bukan satu-satunya wanita yang pernah hadir di hidupnya, tapi kenapa dia satu-satunya wanita yang membuat Nasim bahkan tidak berani mengangkat wajahnya. Kenapa? **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD