Rapuh

1027 Words
Nasim tidak tahu harus melakukan apa, dia merasa iba melihat Jihan menangis seperti itu. Ingin rasanya ia memeluk Jihan, menawarkan pundaknya untuk Jihan menangis, tapi rasanya itu tidak benar. Jihan pasti menolak. Yang bisa Nasim lakukan hanya berdiri jauh dari Jihan, memastikan kalo gadis itu baik-baik saja. "Zia, maafin aku ...." lirih Jihan disela tangisnya. Zia mendapat serangan di kosan yang membuat gadis berusia dua puluh tahun itu jatuh koma. Pelaku serangan itu kini menjadi buronan polisi. "Maaf, kami dari tim kepolisian." Suara pria berseragam polisi itu, menghentikan sejenak tangis Jihan. Jihan mendongka, sekarang terlihat jelas mata sembab dan merah gadis itu. "Apa anda saudara Jihan, sahabat Zia? Apa boleh kami meminta keterangan anda sbeagai sahabat dari Zia." Nasim tidak terlalu kenal, pria berseragam itu, tapi Nasim tahu pria itu satu tim dengannya. "Sekarang anda percaya kalo semua ini bukan iseng semata? Apa harus sampai seperti ini baru bisa membuat laporan?" sahut Jihan tajam. "Suadara Jihan, tolong kerja samanya." "Apa seburuk itu polisi di negeri ini? Apa harus ada nyawa yang hilang dulu baru kalian mau berkerja?" "Tolong jaga perkataan anda! Anda sedang berbicara dengan penegak hukum di negeri ini." "Omong kosong! Kalian penegak hukum?! Kalian cuma beban rakyat—" "Pak .... maaf sebelumnya," sela Nasim cepat. Nasim tidak ingin kemarahan Jihan malah membuat gadis itu terjerat hukuman. "Saya Nasim, anggota baru di tim. Apa boleh saya saja yang meminta keterangan pada saudara Jihan?" pinta Nasim sungguh-sungguh. Raut wajah pria itu masih terlihat kesal akan perkataan Jihan barusan. "Baiklah, tugas ini saya limpahkan pada kamu. Saya harap kamu bisa memberikan keterangan secepatnya." Nasim mengangguk cepat."Secepatnya saya akan memberikan keterangannya." Nasim baru bisa menghela napas lega setelah rekan kerjanya itu berlalu dari sana. Jihan tidak peduli semua itu, gadis itu masih larut dalam tangisnya. "Boleh saya duduk di sebelah kamu?" tanya Nasim. Tidak ada jawaban. Jihan bahkan tidak mengangkat kepalanya. Jihan membuang muka dari Nasim, bahkan menolak sapu tangan yang Nasim berikan dengan kasar. Jihan menumpahkan semua rasa kesalnya pada Nasim, tapi bukannya pergi Nasim masih bertahan di sana. Dua jam lebih hanya duduk di sebelahnya. "Kenapa kamu masih di sini?" tanya Jihan akhirnya. "Karena kamu," sahut Nasim. "Kamu sedang dalam kondisi seperti ini bagaimana bisa saya meninggalkan kamu." "Tidak, saya tidak butuh anda. Saya mohon tinggalkan saya!" Seperti sebelumnya, Nasim hanya diam bergeming menghadapi kemarahan Jihan. Kini Jihan merasa seperti orang jahat, dia marah pada orang yang sama sekali tidak bersalah. "Kak ... tolong tinggalkan saya sekarang, saya butuh waktu. Saat saya sudah siap, saya akan jelaskan semuanya." Kali ini Jihan mengatakan kalimat itu dengan nada rendah. "Kamu belum makan, sebaiknya kamu makan dulu. Kamu tunggu di sini biar saya berikan makanan." Jihan belum sempat menolak, Nasim sudah melangkah jauh. Jihan tidak punya tenaga lagi untuk berlari dan mengejarnya. Tangannya gemetar lantaran belum makan sejak kemarin. "Masih suka nasi gemuk dan teh hangat, kan?" Jihan kaget mendapati Nasim yang sudah ada di depannya sembari menyodorkan kresek putih ke arah Jihan. Bukan hanya kaget akan kedatangan Nasim yang bagai sekejap mata, tapi kaget juga lantaran pertanyaan Nasim barusan. Dari mana Nasim tahu mengenai makan 'favorite' Jihan? "Saya dulu sering lihat kamu, sebelum berangkat sekolah mampir ke warung nasi gemuk. Kebetulan di dekat rumah sakit ini anda yang jual nasi uduk yang mirip kayak nasi gemuk di Palembang," ujar Nasim. Sekarang Jihan jadi bertanya-tanya, apa pria yang kini kembali duduk di kursi sebelahnya bisa membaca pikiran ? Jihan tidak tahu kalo hal sepele yang dia lakukan masih tersimpan di ingatan kakak kelasnya itu. Bahkan Jihan saja hampir melupakan kebiasaan itu. Bagaimana bisa Nasim masih mengingatnya? "Terima kasih, Kak," cicit Jihan pelan. Sekarang perasaan malu kembali menyapa Jihan. "Sama-sama." "Kakak, gak ...?" "Apa?" Nasim tiba-tiba menoleh. Beruntung Jihan lebih cepat menundukan kepalanya. "Hem, itu, Kakak, pasti belum makan juga. Makanan ini bagi dua aja," ujar Jihan. "Gak usah, kamu makan aja. Saya belum lapar." "Kalo gitu, saya makan setelah Kakak lapar aja." Jihan kembali menutup kotak makanan itu. "Loh, kok? Kamu butuh makan. Kalo kamu gak makan, kamu bisa sakit. Siapa yang bakal jagain Zia kalo kamu sakit?" "Loh kok ? Kakak butuh makan. Kalo Kakak gak makan, Kakak bisa sakit. Kalo Kakak sakit, siapa yang bakal bantuin Zia cari pelakunya?" ulang Jihan, persis meniru perkataan Nasim barusan. Nasim tertegun sesaat, sebelum tawa akhirnya memenuhi wajahnya. Jihan tanpa sadar juga ikut tersenyum. "Oke ... kalo gitu, saya bakal makan sekarang. Berhubung makanannya cuma satu, saya beli dulu sekarang. Kamu bisa makan duluan." "Eh, dak usah, Kak. Ini bagi dua aja, nasinya banyak juga," sela Jihan sebelum Nasim beranjak dari kursi. Nasim nampak bingung, sejenak memperhatikan Jihan yang kini mematahkan penutup makanan. "Nah, ini buat, Kakak—" "Gak boleh !" Tiba-tiba sebuah tangan menghempas makanan yang Jihan sodorkan pada Nasim. Nasi gemuk kini berserakan di lantai. Nasim spontan bangkit dari kursi. "Lo apa-apaan sih?" bentak Nasim kesal pada gadis yang kini malah menatap tajam Jihan. "Oh jadi lo, cewek kegetalan itu?" cibir Jina, kesal. "Kamu ...." Jihan merasa tidak asing dengan suara Jina, ia memperhatikan Jina dengan seksama dan seketika Jihan teringat, Jina adalah polisi yang menolak laporan mereka waktu itu. "Iya, gue! Gue Jina, pacarannya Na—" "Lo apa-apan sih!" sela Nasim cepat. "Ngapain lo di sini ? Lo gak malu bolos pake seragam polisi?" "Untung aku datang ke sini, Sayang. Kalo aku gak datang bisa-bisa, gadis sok kecantikan ini bakal godain kamu ...." Tangan Jina dengan cepat mendorong pelan bahu ringkih Jihan. "Jina!" bentak Nasim. Nasim hendak menarik tangan Jina menjauh dari Jihan, tapi tanpa di duga Jihan terlebih dahulu menahan lengan Jina, membuat Jina spontan meringgis kesakitan. "Jangan pikir kalo saya diam, saya lemah ya, Bu Polisi !" ujar Jihan tajam. "Cukup kemarin saya diam atas penghinaan Ibu waktu itu!" "Lepasin tangan gue! Atau—" "Atau apa, Bu? Ibu mau masukin saya ke sel tahanan? Ibu pikir saya takut?" Tantang Jihan, lantang, meski wajah Jihan terlihat pucat, tapi suaranya sama sekali tidak terdengar bergetar sedikit pun. "Mending lo balik ke kantor !" Nasim takut keributan ini malah menarik perhatian orang. Jihan langsung menghempas keras tangan Jina. "Aku gak mau pulang kalo gak sama kamu, Sayang." "Sayang ....?" Jihan meringgis, lagi-lagi hatinya terasa pedih. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD