Sebuah pisau meluncur tepat ke mata Harra.
“Hat!” Dengan cepat satu tangan Assad menyambar Harra dan mendekapnya erat, sedang tangan yang lain menangkap gagang pisau yang melayang di udara itu secara bersamaan.
“Agh!” seru Harra yang tersadar baru selamat dari serangan dalam hitungan detik yang mengancam nyawanya itu.
“Harra!” seru Assad ketika hendak menarik tangan gadis itu agar bisa keluar ruangan itu. Tetapi, tindakan itu terlambat, empat orang itu dengan cepat sudah mengepung Harra dan Assad.
Empat orang itu mengenakan penutup wajah kain warna hitam yang hanya menampakkan mata. Assad tersenyum melihat empat orang yang berdiri dengan posisi siap menyerang itu. Hatinya kembali masuk dalam zona dilema, salah satu sisi hatinya, laki-laki itu khawatir dengan keselamatan Harra, tapi sisi yang lain seperti ingin memanfaatkan momen itu untuk melenyapkan gadis itu. Berikutnya, ia hanya bisa menebak-nebak dari klan mana wajah-wajah yang tertutup kain ini.
“Oke, sepertinya ada yang ingin melanjutkan apa yang belum selesai kemarin malam,” cetus Harra mengejutkan Assad. Gadis itu mengambil dua buah tempat lilin perunggu yang tergelak di dekatnya yang terpental akibat mobil besar yang menabrak dinding restoran itu.
Dua orang laki-laki mencoba melumpuhkan Assad dengan melancarkan tendangan dan pukulan. Laki-laki itu meninju kepala salah satu penyerang dan melayangkan tendangan ke penyerang yang lain hingga membuat penyerang-penyerang itu mundur beberapa langkah. Kesempatan itu digunakan Assad untuk melihat Harra.
“Wow!” seru Assad terhenyak. Harra dengan gesit menyabetkan tempat lilin perunggu yang berada dalam genggaman tangannya itu pada dua penyerangnya dengan menyilang. Di mata Assad ayunan gadis itu seolah tarian yang indah.
“Agh!” seru laki-laki penyerang Harra yang bahunya terkena sabetan tempat lilin perunggu itu. Posisi badan penyerang yang menunduk itu dimanfaatkan Harra untuk menyerang perutnya dengan tendangan. Dengan cepat, Assad melemparkan pisau yang tadi ditangkapnya ke arah penyerang laki-laki di dekat Harra. Pisau itu mengenai bahu laki-laki-laki itu.
Satu tendangan menyabet kepala Assad dan dengan tangkas laki-laki itu menangkap kaki itu dan membantingnya ke tanah. Assad kembali melihat Harra. Gadis itu kini menghadapi seorang penyerang dengan postur tubuh mirip wanita. Penyerang Harra itu mulai terlihat kesulitan menghindari sabetan-sabetan tempat lilin perunggu itu.
“Wow! Gadis itu terlihat cantik sekali ‘kan?” ucap Assad pada satu penyerang sambil melancarkan tinjunya.
“Ha?” Penyerang itu terlihat kaget ketika menghindari tinju Assad.
Assad melirik Harra yang kini telah membuat penyerangnya tersungkur. Laki-laki itu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala dengan kagum.
“Hat!” seru Assad sambil membanting lawannya ke lantai. Jatuhnya penyerang ini rupanya mengakhiri serangan mendadak ini. Salah satu dari mereka seperti mengkode penyerang yang lain untuk kembali ke mobil besar yang separo body-nya sudah masuk ke ruangan restoran itu. Mobil beroda besar itu dengan cepat berundur dan menderu meninggalkan restoran mewah itu.
“Ah ... untung saja aku mengenakan celana pendek selutut dibalik baju cantik ini,” keluh Harra sembari melemparkan perunggu tempat lilin itu. Bersamaan dengan itu suara sirene polisi terdengar mendekat.
Selang beberapa menit mobil polisi tiba dan seperti biasa Harra harus menjadi jubir dadakan yang menjelaskan kejadian barusan.
“Ah ... serangan barusan pasti mengukuhkan gelarku sebagai gadis bencana,” keluh Harra dengan wajah kesal. Assad terkekeh pendek. Laki-laki itu menarik tangan gadis itu dan membawa Harra ke lift yang ada di sudut lain lantai satu.
“Ke mana?” tanya Harra bingung.
“Restoran ini bukan hanya lantai satu, masih ada rooftop yang bisa dinikmati,” ujar Assad sambil menekan pintu lift tanpa mempedulikan bekas kericuhan di lantai satu restoran itu.
“Biarkan saja keributan itu diurusi orang-orang itu, pasti Kamu lapar sekali,” celetuk Assad seraya memperhatikan Harra yang sedang memperhatikan bayangan dirinya di dinding lift.
“Hih! Kenapa orang-orang itu tak membiarkan aku sedikit cantik malam ini,” keluh Harra sambil merapikan rambutnya yang kemana-mana tanpa menanggapi celetukan Assad.
Assad memperhatikan gadis yang tak mempedulikan tatapannya itu.
“Wah ... sepertinya aku telah masuk dalam dilema keruwetan pikiran, gimana tidak? Makin lama bersama gadis ini, rasa suka ini makin tambah besar,” batin Assad dalam benak.
“Dengan rambutmu yang acak-acakan itu, masih nggak akan ada yang memungkiri kecantikanmu,” ucap Assad lirih.
“Terima kasih, tapi harusnya itu dikatakan setelah perut ini kenyang,” balas Harra santai.
“Wah!” seru Assad terpana kemudian tertawa pendek menanggapi kecuekan gadis itu.
Langit berbintang menambah keindahan malam di atas rooftop restoran bergaya eropa itu. Harra menyantap makanan yang disajikan dengan lahap. Assad menghentikan suapan, melepas jas dan meletakkan jas itu di bahu gadis itu. Sesaat gadis itu menghentikan suapan, wajahnya menyiratkan tanda tanya, tetapi kemudian melanjutkan aksi menghabisi isi piring itu tanpa protes.
“Apa Kamu lahir dan besar di kota ini?” celetuk Assad sambil menatap penuh selidik pada gadis yang sedang duduk tepat di depannya itu. Harra meletakkan sendok ke atas piring yang telah kosong. Mengangkat kepala, kemudian menggerakkan badannya ke depan sambil menatap tajam laki-laki itu. Assad menunggu dengan penasaran.
“Kamu berharap aku lahir di kota lain?” jawab Harra dengan tenang.
Seketika Assad menepukkan satu telapak tangan ke d**a, lalu menyandarkan tubuh seolah terkena tembakan.
“Aku merasa kena peluru sendiri yang baru saja kutembakkan ke arah lawan,” komentar Assad sambil tersenyum mengakui kekalahan. Harra mengedikkan bahu. Assad beranjak dan menggeser kursi lain ke sebelah kursi gadis itu, kemudian duduk sembari memandang wajah Harra yang sedang mengedarkan pandangan ke sekeliling bangunan mewah itu. Gedung-gedung menjulang yang lebih tinggi dari gedung restoran empat lantai itu menambah keindahan malam. Cahaya dari jendela gedung-gedung itu seolah lampu yang sengaja di pasang di sekeliling rooftop ini.
Harra nggak memperhatikan Assad yang terus memandangnya, matanya sibuk memperhatikan satu billboard dengan ukuran besar yang terlihat dari tempat duduknya. Papan reklame yang seperti layar handphone raksasa itu menampilkan gambar seorang artis terkenal yang sedang hits. Artis cantik yang sedang mengiklankan sebuah parfum dengan harga yang bikin geleng-geleng kepala masyarakat yang hidup sederhana. Artis dalam gambar itu seolah balas menatap Harra.
“Jadi, makan malam dengan gadis yang ingin dipertemukan denganku itu gagal?” celetuk Harra tanpa menoleh.
“Tentu saja, gadis itu tak akan datang ke tempat yang diserang seperti tadi,” balas Assad tanpa ragu.
Harra termenung. Pikirannya mulai menyusun potongan-potongan puzzle yang berserakan.
“Apa gadis yang bernama Zica itu yang mengirimkan penyerang yang ugal-ugalan tadi? Bukankah hanya dia yang tahu ke mana aku pergi?” batin Harra mencetuskan pertanyaan.
“Em ... penyerang dengan postur perempuan itu sepertinya orang yang sama yang menyerangku di kamar hotel waktu itu. Berarti, mungkin saja, p*********n barusan merupakan rangkaian rencana beruntun yang sama. Siapa otak dibalik semua ini?” analisa Harra dalam pikiran.
Harra menoleh ke arah Assad.
“Siapa Zica-mu itu?” tanya Harra sambil menatap lekat manik mata Assad. Manik mata laki-laki itu berubah sedikit membesar.
“Kamu nggak tahu siapa Zica?” balas Assad heran, Harra menggeleng lugu. Assad menggerakkan kepalanya ke samping dan selintas menatap papan reklame besar yang terlihat dari kursi mereka. Harra mengikuti isyarat laki-laki itu, kemudian membelalakkan mata dengan mulut ternganga.
“I-it-u? Zi-ca yang itu?” ucap Harra tergagap.
“Zica A-ma-ra ... artis itu?” ulang Harra seolah sedang menyakinkan diri. Assad mengangguk.