Chapter 12

1440 Words
Albert mengendarai mobilnya pelan-pelan menuju apartemen. Dia memikirkan perkataan Cindy tentang keadaan Cella dan bayinya yang kemungkinan besar kembar. Sekilas kedua sudut bibirnya tertarik ke samping ketika mengingat kata bayi kembar, kemudian senyuman itu sedikit demi sedikit menghilang dan berganti dengan kekhawatiran tentang kondisi mereka. ”Andaikan Audrey yang berada di posisi Cella saat ini, sudah dapat dipastikan aku akan melakukan apa pun untuk menjaga mereka agar semuanya sehat. Namun pada kenyataannya, Cella yang sedang mengandung anak-anakku. Apakah aku akan melakukan seperti yang disarankan Cindy?” batin Albert bertanya-tanya. *** Setibanya di unit apartemennya Albert mendapati ruangan gelap dan sepi, menandakan bahwa penghuninya sudah berada di alam mimpi. Di tengah kegelapan itu Albert hendak menuju kamarnya tanpa menghidupkan lampu, akan tetapi sorot mata tajamnya yang biru menangkap sosok Cella sedang berbalut bed cover tengah tertidur di depan televisi dan beralaskan permadani. Tanpa berpikir panjang dia langsung menghampirinya, kemudian melepaskan remote televisi yang tengah digenggam untuk diletakkan pada tempatnya. Setelah puas memandangi wajah Cella, Albert membopongnya menuju kamar. Albert melihat jejak air mata yang telah mengering di sekitar kedua sudut mata dan pipi pucat Cella. Tangannya mengusap jejak air mata tersebut dengan sangat lembut, seolah-olah pipi itu sangatlah rapuh. Cella menggeliat saat merasakan sebuah sentuhan. Bukannya terbangun, tetapi dia malah memperbaiki posisi tidurnya supaya lebih nyaman. Albert tersenyum tipis melihat gerakan Cella. Dia merasa sangat bingung dengan dirinya sendiri. Di satu sisi, dia sangat membenci wanita di depannya ini, sedangkan di sisi lain dirinya juga kasihan melihat keadaan Cella. Tidak ingin pikirannya berkelana terlalu jauh, dia bergegas menyegarkan dirinya di kamar mandi sebelum beranjak tidur. *** Cella terbangun saat fajar menampakkan diri. Dia mengernyit ketika menyadari sedang berada di atas ranjang dan mulai mengingat kembali kejadian kemarin sebelum dirinya tertidur. Pintu kamar mandi terbuka saat Cella masih menggali sekaligus mengumpulkan ingatannya, dia menoleh dan mendapati suaminya yang sudah terlihat segar sedang berdiri di ambang pintu. “Apakah kamu yang memindahkanku ke ranjang?” tanya Cella hati-hati dan mengikuti gerakan suaminya menuju walk in closet. “Iya. Mulai sekarang kamu tidur di ranjang,” Albert menjawab tanpa menatap Cella. “Tapi ….” “Jangan membantah!” hardik Albert sambil menatap tajam Cella. Cella menelan salivanya susah payah saat mendengar hardikan dan tatapan tajam khas suaminya. Dengan mata berkaca-kaca dia bangun dan langsung menuruni ranjang. “Kita sarapan bersama.” Suara tidak bersahabat milik Albert kembali terdengar. “Baik,” jawab Cella serak sebelum melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan menumpahkan tangis. *** Albert mengajak Cella sarapan di kafetaria yang ada di gedung apartemennya. Albert melihat Cindy yang ternyata juga sedang sarapan di sana, tapi dia memilih mengabaikan sahabatnya itu karena masih terpengaruh dengan keadaan saat makan malam kemarin. Saat sarapan berlangsung, sesekali Albert mengamati istrinya menyuap makanan dengan pelan. Bahkan, seolah tidak berselera. Dia menunggu apakah Cella akan memberitahukan keadaan kandungannya dan anak mereka kepadanya. Namun, hingga makanan mereka habis, Cella tetap tidak mengeluarkan sepatah kata pun yang berhubungan dengan keadaan kandungan atau anaknya. “Terima kasih telah sudi mengajakku sarapan,” ucap Cella tanpa melihat Albert setelah meneguk air putih. Albert hanya mengangguk pelan, meski sedikit tersinggung dengan perkataan sang istri. “Bagaimana keadaannya?” Akhirnya Albert bertanya karena Cella kembali diam. Cella mengernyit mendengar Albert menanyakan keadaan anaknya untuk pertama kali. “Baik,” jawabnya singkat. Cella tidak ingin berbasa-basi. Dia tidak mau mengatakan yang sebenarnya mengenai keadaannya dan bayinya kepada Albert. Dia mengantisipasi perlakuan Albert kepadanya jika mengetahui keadaan yang sebenarnya. Dia tidak mau Albert mengasihaninya hanya karena keadaannya saat ini. Mendengar jawaban Cella membuat Albert sedikit kecewa dan marah, tapi dia mengerti kebohongan istrinya tersebut. Apalagi kemarin dia mengatakan akan menceraikannya setelah melahirkan. *** “Pagi, Sir,” Frecia memberi salam kepada Albert. “Maaf, Sir, Miss Jhonson sudah menunggu Anda di dalam,” beri tahunya mengenai keberadaan Audrey. Albert hanya menanggapi pemberitahuan Frecia dengan anggukan. “Hai, Sayang,” sapa Audrey sambil memeluk Albert dan mencium bibirnya. Albert membalas ciuman Audrey dan menggiringnya menuju sofa. “Kenapa masih pagi sudah berada di sini, Sayang?” Albert membelai rambut Audrey yang sekarang duduk menyamping di pangkuannya. “Aku sangat rindu padamu, Sayang,“ ucap Audrey manja sambil memeluk leher Albert. Albert tersenyum geli dengan tingkah manja pujaan hatinya. Dia sangat senang melihat kebiasaan Audrey yang manja seperti ini. “Sayang, bagaimana reaksi istrimu dengan kejutan yang kemarin kamu berikan?” tanya Audrey sambil menyandarkan kepalanya pada d**a bidang Albert. “Biasa saja. Sepertinya dia sudah tahu diri, Sayang,” Albert menjawab seadanya. “Sayang, aku ada meeting penting sebentar lagi. Kamu tidak apa-apa aku tinggal di sini?” Albert mencoba mengalihkan topik pembicaraan dengan memperlihatkan ekspresi bersalahnya. Dirinya sedang tidak ingin membahas tentang Cella sekarang. Wajah Audrey cemberut mendengar ucapan Albert. Namun, karena sudah mendapatkan sedikit demi sedikit keinginannya, jadi dia tidak mempermasalahkannya. “Sebenarnya diriku masih ingin bersamamu, tapi demi kelangsungan perusahaanmu jadi aku rela.” Audrey bangun dari pangkuan Albert dan sedikit merapikan pakaiannya. “Maafkan aku, Sayang. Kamu bisa menungguku di sini sampai aku selesai rapat dan kita keluar bersama.“ Albert ikut berdiri menghadap Audrey. “Tidak apa-apa, Sayang, aku akan keluar menemani Mommy berbelanja dan memanjakan diri di salon,” balas Audrey sambil tersenyum. “Baiklah. Kalau begitu bawa ini dan pakailah.” Albert memberikan credit card kepada Audrey. “Tidak perlu, Sayang, kamu kira aku tidak mempunyai uang? Mommy pasti akan membayariku jika aku ingin membeli sesuatu,” Audrey menolak pemberian Albert, lebih tepatnya pura-pura jual mahal. “Baiklah kalau begitu. Hati-hati, Sayang. Hubungi aku kalau kamu ada apa-apa.” Albert mendaratkan kecupan di bibir tebal Audrey, lalu mengantarnya keluar ruangan. “Miss Ashley, siapkan bahan meeting sekarang,” perintah Albert kepada Frecia melalui interkom setelah kepergian Audrey. *** Cella sedang mengamati anak buah Melly melakukan renovasi. Dia dan Melly juga terlihat serius berdiskusi. Icha dan Keira memerhatikan mereka sambil membawa minuman serta beberapa jenis cake. “Kasihan sekali Cella ya, Aunty? Di umurnya yang masih muda, sudah pelik sekali permasalahan hidupnya,” ucap Icha sambil berjalan di sebelah Keira. “Aunty yakin, Cella orang yang kuat dan dia pasti bisa melewati semua ini. Mungkin ini yang akan membentuk kedewasaannya ke depan,” Keira menanggapinya. “Kamu harus ingat, Cha, kedewasaan seseorang itu terbentuk bukan karena seberapa tua umurnya, tapi dari banyaknya masalah yang menghampiri hidupnya dan mampu diselesaikan olehnya,” imbuhnya bijak. “Cell, Mell, istirahat dulu. Aunty sudah buatkan kalian orange juice biar lebih segar. Sekalian juga ajak anak buahmu, Mell,” Keira menginterupsi kegiatan Melly dan Cella. Melly pun mengindahkan interupsi Keira. Melly memang menyuruh Keira dan Icha supaya tidak terlalu berbicara formal kepadanya, karena dia ingin menjalin hubungan kekeluargaan dengan klien-kliennya. Apalagi sekarang kliennya tidak lain adalah temannya sendiri. “Bagaimana keadaan keponakanku hari ini?” Icha menyerahkan cake muffin kesukaan Cella. Cella sangat antusias menerima cake tersebut. “Baik, Aunty,” jawabnya dengan menirukan suara anak kecil sambil melahap cake kesukaannya. “Sehat terus ya kamu, Sayang. Jangan lupa buat Mommy gemuk,” Icha berbisik di depan perut Cella. “Hei! Aku masih bisa mendengarnya, Cha. Kamu mau bersekutu dengan anakku?” tegur Cella dan menjauhkan tangan Icha yang tengah mengelus perutnya. “Aku ingin melihatmu gemuk seperti ibu hamil lainnya, Cell. Lagi pula tubuhmu tidak ada perubahannya, padahal kamu sedang mengandung dan kemungkinan besar bayimu kembar,” Icha mengomentari bentuk tubuh Cella yang memang tidak terlalu berubah. “Cha, kehamilanku masih berada pada trimester pertama, jadi belum terlalu terlihat perubahannya. Memangnya kamu mau melihat aku seperti berudu, dengan tubuh tinggi kurus tapi hanya di bagian perut saja yang membesar?” ucap Cella sedikit kesal. Icha terbahak melihat ekspresi Cella sampai-sampai matanya berair. Melly yang sudah kembali bergabung pun ikut tertawa menyaksikan keseruan dua sahabat di depannya, sedangkan Keira hanya menggelengkan kepala melihat mereka. “Cha, Cella jangan digoda lagi. Lihat wajahnya sudah cemberut seperti itu,” Keira menimpali. Bukannya terdiam Icha malah semakin terbahak dan sekarang Melly juga ikut menimpalinya. “Aunty,” Cella merengek. “Iya, Sayang. Maaf, maaf.” Keira membelai rambut panjang Cella. “Bentuk tubuh orang hamil itu relatif, Sayang, tergantung tebal tipisnya kulit perut. Kalau orang yang kulit perutnya tebal biasanya cepat kelihatan besar, meskipun kehamilannya masih berada di trimester pertama. Begitu juga sebaliknya,” Keira menjelaskan dengan sederhana. Ketika perempuan muda tersebut menyimak penjelasan sederhana Keira dengan serius. “Cha, mulai sekarang aku akan makan yang banyak agar anakku sehat dan tentunya tubuhku menjadi gemuk. Puas.” Cella mencebikkan bibirnya pada Icha dan menekankan kata gemuk, sehingga tawa pun kembali berderai. Istirahat mereka dari aktivitas yang tengah dilakukan diisi dengan obrolan santai disertai tawa dan canda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD