Chapter 11

1225 Words
Cindy melambaikan tangan saat melihat Albert memasuki pintu restoran Jepang. Meski Albert menampilkan ekspresi datar, tapi tetap tidak mengurangi kadar ketampanan yang dimiliki oleh sang sahabat. “Al, aku sudah pesankan sushi. Kamu tidak keberatan?” tanya Cindy sesudah Albert duduk di hadapannya. Albert menggeleng sambil tersenyum tipis. “Sudah lama?” tanyanya setelah membalas pesan dari Audrey. “Belum,” jawab Cindy sambil tersenyum. Sambil menunggu pesanan datang, Albert dan Cindy mengobrol tentang banyak hal di mulai dari karier masing-masing sekaligus masa-masa sewaktu masih mengenyam pendidikan. Pesanan pun datang dan menginterupsi obrolan mereka. “Selamat menikmati,” ucap keduanya bersamaan setelah hidangan disajikan oleh pelayan. Senyum kedua sahabat lama itu tidak pernah pudar menghiasi acara makan malam yang berlangsung tersebut. “Al, bagaimana keadaan Cella?” Cindy bertanya di tengah aktivitas mereka menikmati makan malamnya. “Baik,” jawab Albert singkat dengan ekspresi sebiasa mungkin. “Ayo ceritakan, bagaimana kalian bisa sampai menikah? Bahkan, sekarang Cella tengah mengandung anakmu, mengingat dulu kamu sangat mencintai sepupunya.” Rasa penasaran Cindy sudah tidak bisa ditutupi lagi. “Baik. Namun saat aku bercerita, kamu jangan memotongnya,” pinta Albert tegas. “Sebelumnya, habiskan dulu makananmu,” Albert melanjutkan. “Setuju,” Cindy menanggapinya dengan sangat bersemangat. Dia sudah tidak sabar untuk mendengarkan cerita dari sahabatnya tersebut. *** Albert menarik napas dan mengembuskannya perlahan sebelum menceritakan kejadian pahit sekaligus yang menyebabkan kehidupannya menjadi seperti sekarang. “Beberapa bulan lalu aku, George, Steve, dan teman-teman lainnya mengadakan pesta di salah satu kelab malam. Saat itu aku melihat Cella dan teman-temannya juga ada di sana. Namun karena padatnya pengunjung hanya aku yang melihatnya, sedangkan George dan Steve sedang larut dalam obrolan bersama beberapa teman.” Albert kembali menghela napas. “Berhubung malam semakin larut, George dan Steve pun memutuskan pulang lebih dulu, jadi hanya aku yang masih berada di sana. Sebelumnya aku berniat mengajak Audrey, tapi dia bilang tidak bisa. Aku akui waktu itu sudah cukup banyak menenggak minuman beralkohol. Sehabis meneguk minuman pemberian Peter, tiba-tiba saja kepalaku berdentum dan saat itu juga aku melihat Cella sempoyongan menuju toilet. Dia diikuti oleh dua orang yang sepertinya sedang mabuk.” Albert menggali ingatannya atas kejadian sial tersebut. Dia juga menatap Cindy intens untuk melihat ekspresi sahabatnya. “Tanpa pertimbangan, aku pun langsung mengikuti mereka dengan mata yang mulai berkunang. Di lorong toilet suasananya sangat sepi, aku melihat Cella meronta karena tubuhnya mulai disentuh oleh dua orang laki-laki yang mabuk tadi. Bergegas kudekati mereka dan mulai menghajarnya dengan sisa tenaga yang aku miliki.” Albert berhenti sejenak lalu meneguk air di gelasnya, sedangkan Cindy masih menanti kelanjutan cerita sahabatnya. “Tiba-tiba saja aku merasa kepalaku seperti menghantam sesuatu yang keras. Aku tidak bisa mengingat selanjutnya yang terjadi karena kegelapan sudah menjemputku. Saat pagi harinya aku terbangun dengan tubuh tanpa sehelai benang pun. Yang lebih mengejutkan lagi, Cella sedang memelukku dengan kondisi sama sepertiku di satu ranjang.” Mata Albert memerah dan tangannya mengepal kuat di atas meja. Rahangnya pun mulai mengeras. “Tiga minggu setelah kejadian itu, Cella meneleponku dan mengajakku bertemu. Saat bertemu Cella mengatakan bahwa dia sedang berbadan dua. Aku sangat terkejut mendengar pengakuannya itu. Tanpa berpikir panjang aku langsung menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya tersebut. Aku mengakui sudah berbuat sangat jahat, meskipun wanita itu adalah adik sahabatku sendiri. Cella berang dan mementahkan ideku, dia mengatakan akan membesarkan sendiri anak itu dan pergi dari negara ini. Tapi ….” Albert menghentikan ceritanya yang membuat Cindy semakin penasaran. “Tapi? Tapi apa, Al?” tanya Cindy tidak sabar. “Tapi besoknya orang tuaku, Audrey, George, dan orang tuanya mendapat kiriman video menjijikkan itu,” geram Albert. “Pengirimnya tidak lain berasal dari nomor wanita sialan itu. Aku harus rela dihajar oleh Papaku dan George. Aku pun dipaksa untuk menikahi wanita itu sekaligus kehilangan Audrey. Makanya aku sangat membenci wanita pembawa sial itu.” Albert meremas kuat gelas di tangannya. Cindy menutup mulutnya karena terkejut dengan penuturan sahabatnya. Dia tidak menyangka kalau ceritanya akan seperti itu. Pikirannya tidak bekerja dan masih berupaya mencerna penuturan dari sahabatnya tersebut. Sedangkan wajah Albert terlihat sangat menyeramkan karena menahan emosi. Hal itu terlihat jelas dari sorot mata yang memancarkan kilatan-kilatan amarah. Setelah sekian lama mereka berkelana dengan pikiran masing-masing, akhirnya Cindy memecah keheningan yang tercipta, “Al, berarti Cella belum memberitahumu perihal kondisi kehamilannya?” Albert menatap Cindy tajam. “Aku tidak mau tahu. Bahkan, aku tidak peduli dengan keadaannya ataupun kandungannya.” Albert melihat Cindy menghela napas setelah mendengar jawabannya. “Jangan membelanya!” larangnya sebelum Cindy membuka suara. “Al, ini sangat serius.” Cindy mengabaikan larangan Albert. “Sebenarnya, tujuanku mengajakmu bertemu untuk membicarakan kondisi Cella dan kandungannya. Cella sekarang menjadi pasienku. Perlu kamu ketahui, dia dan kandungannya sedang bermasalah,” Cindy melanjutkan meski ditatap penuh peringatan oleh Albert. Albert tidak mengomentarinya. Dia terlihat tidak ambil pusing dengan penyampaian Cindy. “Orang hamil muda seperti Cella, pikiran dan fisiknya harus sehat. Dia tidak boleh banyak pikiran, kelelahan, dan stres. Apalagi ini kehamilan pertamanya, jadi dia harus mendapat dukungan dan semangat dari keluarganya, terutama darimu,” Cindy berusaha menjelaskan, tapi Albert tetap bergeming. “Kandungan Cella sangat lemah. Apalagi kemungkinan besar dia tengah mengandung bayi kembar, pasti sangat berisiko terhadap kesehatannya sendiri. Bahkan, tidak menutup kemungkinan untuknya mengalami keguguran.” Cindy mengamati ekspresi terkejut wajah Albert ketika dia terus saja menjelaskan mengenai keadaan Cella. Menangkap keterkejutan Albert yang sempat tercetak pada wajahnya sebelum berhasil dikontrolnya, Cindy kembali menjelaskan, “Sewaktu Cella mengetahui keadaan bayinya, dia sangat shock. Namun, aku mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja. Tidak mungkin aku berkata jujur mengenai keadaan mereka, yang akan membuatnya semakin tertekan. Sebagai dokternya, aku mengharapkan kerjasamamu, Al. Kamu hanya cukup memberinya dukungan saja.” Meski masih bungkam, tapi Albert tetap mendengarkan sekaligus menyimak perkataan Cindy mengenai keadaan wanita yang kini telah menjadi istrinya tersebut. “Aku tahu, kamu tidak menghendaki Cella menjadi pendampingmu. Bahkan, terlihat jelas kamu sangat membencinya. Namun, ke sampingkanlah dulu rasa bencimu itu untuk saat ini, Al. Ini semua demi bayi kalian yang tidak berdosa. Bukankah janin yang sedang dikandung Cella adalah bayimu juga? Malaikat yang tidak tahu apa-apa.” Cindy menggenggam tangan sahabatnya. “Aku sudah membuat perjanjian dengannya.” Setelah cukup lama bungkam, akhirnya Albert membuka suara juga. “Perjanjian apa?” tanya Cindy sambil mengernyit. “Setelah melahirkan nanti, aku akan segera menceraikannya,” beri tahu Albert dengan tenang sehingga membuat Cindy membelalakkan mata. “Seperti katamu, aku akan berusaha peduli padanya semasih dia mengandung hingga akhirnya melahirkan,” Albert melanjutkan meski melihat Cindy masih terkejut mendengar ucapannya. “Al, mungkin ini sudah menjadi perjalanan hidupmu dan Cella. Cella ditakdirkan menjadi pendampingmu dan ibu dari anak-anakmu kelak. Mungkin cara kalian bertemu saja yang salah,” Cindy menasihati Albert. “Terlalu dini kamu menyebutkan Cella sebagai takdirku, Cindy. Aku sangat yakin bahwa Audrey yang menjadi cinta sejatiku. Audrey juga yang paling berhak menjadi pendamping dan ibu dari anak-anakku,” ucap Albert dingin dan menutup pembicaraannya dengan Cindy. Setelah meminta bill kepada pelayan restoran dan membayarnya. Albert berdiri dan berkata, “Terima kasih telah menemani makan malamku.” Cindy memerhatikan Albert yang sudah sampai pada pintu keluar restoran. Dia sangat kasihan dan iba mengingat kondisi Cella yang sedang hamil sekarang. Di sisi lain, dia juga kasihan dan iba terhadap kisah cinta Albert bersama Audrey–sahabatnya. “Ujian Tuhan memang tidak bisa ditebak, seperti apa dan kepada siapa diberikan,” batinnya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD