Chapter 13

1941 Words
Tidak terasa sudah dua bulan Cella dan Albert tidur di ranjang yang sama. Selama itu pula sikap Albert sedikit banyak telah berubah, meskipun dia selalu mengatasnamakan demi anak yang Cella kandung. Cella pun tidak terlalu mempermasalahkannya. Cella sangat menyadari posisinya, dia juga tidak besar kepala dan memanfaatkan kondisinya untuk mendapat perhatian dari suaminya. Dia sangat menghargai sekecil apa pun perubahan sikap Albert, walaupun suaminya itu kadang masih berlaku dingin terhadapnya. Perut Cella juga sudah terlihat membuncit karena kedua janinnya terus berkembang di dalam sana. Saat kontrol beberapa hari yang lalu, Cindy sudah memastikan bahwa Cella tengah mengandung bayi kembar dan keadaan mereka pun telah berangsur sehat di dalam sana. Namun, Cindy tetap menyarankan kepada Cella untuk selalu menjaga kesehatan dan tidak membuat fisiknya kelelahan. Cella sangat senang mendengar bahwa buah hatinya baik-baik saja di rahimnya. Bukan hanya itu, dia juga sangat tidak menyangka jika untuk pertama kalinya Albert mau mengantarnya ke rumah sakit. Bahkan, menemaninya menjalani pemeriksaan. Cella tahu meskipun saat menemaninya di dalam ruang pemeriksaan Albert hanya diam menyaksikan pergerakan kedua bayinya di layar monitor, akan tetapi dia yakin jika suaminya tersebut mendengarkan dan ikut menyimak yang disampaikan Cindy tentang anak mereka. Seperti sekarang ini saat Cella hendak ke dapur untuk membuat s**u khusus ibu hamil, dia melihat suaminya sudah sibuk menyiapkan untuknya. Merasa ada yang memerhatikan, Albert menghentikan kesibukannya lalu menoleh ke belakang dan menyuruh Cella duduk melalui tatapan matanya. “Minumlah, selagi hangat.” Albert meletakkan s**u tersebut di hadapan Cella. Cella menuruti ucapan suaminya dan segera meminum susunya hingga tandas. “Terima kasih,” ucapnya tulus. “Tidurlah, sudah malam,” ucap Albert saat mengambil gelas bekas s**u Cella. “Aku belum mengantuk,” tolak Cella dengan suara pelan. “Baiklah.” Cella segera menuruti perintah Albert setelah mendapat tatapan tajam khas suaminya dan langsung menuju kamar mereka. *** Tengah malam tidur Cella sangat gelisah. Dia terus bergerak-gerak sehingga mengganggu Albert yang tidur memunggunginya. Karena tidak tahan merasakan ranjang yang terus bergerak, akhirnya Albert bangun. Dia mengembuskan napasnya dengan kasar setelah duduk, kemudian menyalakan lampu tidur di nakas samping. “Cella, kamu bisa diam tidak kalau tidur?” protes Albert sambil mengusap kasar wajah lelahnya. Dia sangat kesal karena waktu istirahatnya diganggu. Namun, Cella tidak mengindahkan protesnya. “Cella!” Suara tinggi Albert langsung membuat Cella terkejut dan terbangun. “Ke-kenapa, Al?” Cella terbata sambil duduk karena kaget mendengar teriakan Albert. “Bisa tidak, kalau tidur jangan seperti cacing kepanasan, hah?!” bentak Albert dengan kesal. Karena masih kaget dengan teriakan suaminya, Cella hanya terdiam mendengarnya. “Aku tanya, bisa tidak?!” Albert kembali membentak Cella. Cella tersentak. “Hah? I-iya, maaf,” jawabnya dengan nada parau. Albert mematikan lampu tidurnya dan kembali berbaring. “Jangan melamun, lanjutkan tidurmu lagi!” perintahnya masih dengan nada tinggi dan tanpa membalikkan badan. “I-iya,” balas Cella. Setetes cairan bening pun jatuh dari mata indahnya. *** Setengah jam sudah Cella kembali berbaring dan air matanya terus saja mengalir. Karena matanya tetap tidak bisa terpejam, dia memutuskan untuk bangun dan menuruni ranjang dengan sangat pelan-pelan. Dia takut gerakannya kembali mengganggu Albert yang tidur di sampingnya. Cella menuju balkon kamarnya untuk menghirup udara segar, meskipun dia tahu bahwa angin malam sangat tidak baik untuk kesehatan, terlebih dengan kondisinya sekarang. Namun, hal itu dia abaikan untuk menghilangkan rasa sesak yang masih bergelayut memenuhi rongga dadanya akibat bentakan Albert. Cella merapatkan cardigan rajutnya dan mengelus perut buncitnya, tadi tidurnya gelisah karena mimpi buruk yang menghampirinya. Di mimpi tersebut Albert mengubah perjanjiannya, dia dan anak kembarnya dipisahkan. Cella ketakutan jika mimpi tersebut bakal menjadi kenyataan dan dia pasti akan sangat hancur kalau itu benar terjadi. “Nak, apa pun yang akan terjadi nanti, kalian pasti tetap bersama Mommy. Tidak akan ada yang bisa memisahkan kita. Mommy janji,” Cella berbicara pelan seolah-olah sedang membuat kesepakatan dengan malaikat-malaikatnya yang masih bergelung manja di dalam perutnya. “Ehem!” Dehaman di belakang tubuhnya membuat Cella spontan berhenti mengusap perutnya. “A-apa aku mengganggu tidurmu lagi?” tanyanya takut-takut setelah membalikkan tubuh. “Perutmu sakit?” Albert tidak menjawab pertanyaan Cella, melainkan balik bertanya karena dia melihat istrinya sedang mengusap-usap perutnya dan matanya juga berair. “Ti-tidak,” jawab Cella gugup karena Albert mendekat ke arahnya. Bahkan, kini ikut mengusap perutnya. “Apakah kalian nakal di dalam sana?” Albert mendekatkan bibirnya pada perut Cella, seakan sedang bertanya langsung kepada anak-anaknya dan mengecupi mereka. Cella yang merasakan bibir Albert mengecup perutnya menjadi gemetar dan jantungnya berdetak tidak beraturan. Tidak kuasa dengan sesuatu yang untuk pertama kali dialaminya setelah menikah, akhirnya Cella pun lepas kontrol dan terisak. Mendengar isakan Cella yang diikuti dengan tubuhnya bergetar, Albert mendongakkan wajah dan mengernyit. Tanpa diperintah oleh siapa pun, Albert langsung membawa Cella ke dalam dekapannya. Dia mengelus punggung rapuh sang istri dan menciumi rambutnya. “Hei, apanya yang sakit? Apa kita perlu ke rumah sakit?” Albert bertanya dengan lembut dan mencoba menenangkan Cella. Cella hanya menggelengkan kepala. Dia semakin terisak karena baru kali ini mendengar suara lembut milik suaminya. Biasanya yang dia dengar hanyalah suara dingin, datar, tegas, dan sinis milik sang suami. Melihat Cella tidak bersuara, Albert pun tidak bertanya lagi. Dia membiarkan saja Cella mengeluarkan tangisannya. Mereka terdiam. Hanya embusan angin yang mengiringi isakan Cella, Albert masih setia mengelus punggung sang istri di dekapannya. Lambat laun isakan istrinya berubah menjadi deru napas yang teratur. Dia menjauhkan sedikit tubuh Cella lalu menyibakkan sulur rambut halusnya ke belakang dan terlihatlah wajah istrinya yang sembap serta basah oleh air mata. Mata Cella sudah terpejam rapat. Albert membersihkan bekas air mata Cella dan membopongnya kembali ke dalam kamar. Setelah tubuh sang istri dibaringkan, dia kembali mengelus perutnya. “Jangan nakal kalian di sana ya, Sayang. Jaga Mommy baik-baik, sebaik Mommy menjaga kalian,” ucap Albert lalu kembali mendaratkan kecupan pada perut Cella. Albert ikut merebahkan diri di samping Cella sambil memerhatikan wajah putih pucat sang istri. Dia tadi terbangun karena merasakan ranjangnya sedikit bergerak, menandakan wanita di sebelahnya sedang turun. Awalnya dia mengira jika Cella bangun dan keluar mengambil air, karena sudah menjadi kebiasaan sang istri kehausan di tengah malam semenjak hamil. Karena tidak kunjung merasakan istrinya kembali menaiki ranjang setelah beberapa saat, akhirnya Albert membalikkan badan dan didapatinya pintu balkon kamar tidak tertutup rapat. Dia juga melihat siluet seorang wanita sedang merapatkan cardigan berdiri di balkon sambil memegangi perut. Takut terjadi sesuatu, akhirnya perlahan dia berjalan mendekati balkon. Sebenarnya Albert merasa bersalah karena sempat membentak Cella, akibat sang istri tidur seperti cacing kepanasan. Dia lupa kalau Cella sedang hamil dan mungkin sang istri merasakan sesuatu terhadap perutnya sehingga membuatnya gelisah. Ingin rasanya dia meminta maaf, tapi egonya melarang. Selama dua bulan ini, Albert berusaha mengubah sikapnya terhadap Cella demi menjaga keadaan anak-anaknya. Meskipun demikian, dia tetap membatasi diri dengan sang istri karena yang dilakukan semata-mata hanya untuk kesehatan dan pertumbuhan anak-anaknya. Dia juga melarang Audrey yang ingin bertemu dengan Cella, takut jika wanita tersebut berbuat hal tidak terduga dan nantinya akan membahayakan anak-anaknya. Hubungan Albert dengan Audrey sejauh ini masih tetap berjalan seperti saat menjadi sepasang kekasih. Namun, hubungannya dengan Cindy sekarang hanya sebatas interaksi dokter dan pasien. Semenjak makan malam itu, Albert memutuskan bersikap acuh tak acuh terhadap Cindy, seolah-olah mereka hanya sekadar kenal dan berteman. Dia merasa Cindy lebih membela Cella yang baru dikenalnya daripada Audrey. Lelah dengan pikirannya, dia pun memutuskan untuk melanjutkan tidurnya. *** Cella duduk sambil menikmati teh mint dan biskuit asin sebelum berangkat ke kafe. Glory Cafe merupakan nama kafe yang dirintis Cella dan sudah beroperasi sejak sebulan lalu. Walaupun tergolong baru, tapi berkat promosi yang dia lakukan bersama Icha, pengunjungnya sudah cukup ramai. Dia mempekerjakan empat orang karyawan untuk membantunya melayani pengunjung. Dia lebih banyak diam di kantor yang tersedia di lantai dua kafe-nya karena Keira dan Icha selalu memperingatkan dirinya akan keadaannya. Tadi Cella bangun seperti biasa, sebelum Albert. Usai mandi dia melanjutkan membersihkan ruangan dan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Kini pusing dan mualnya sudah berangsur-angsur menghilang, terutama saat dirinya membayangkan menikmati teh mint. “Pagi, Al,” sapa Cella saat melihat Albert keluar kamar sudah rapi dengan setelan kantornya. “Hm,” jawab Albert seadanya. Cella hendak mengambilkan roti untuk sarapan, tapi Albert segera menghentikannya. “Aku bisa sendiri,” ucapnya saat langsung mengambil setangkup roti dan selai. Cella sedikit kecewa, tapi segera dia tutupi. Walaupun mereka sudah tidur seranjang, tapi tetap saja suaminya tidak pernah mau menerima apa pun darinya. Apalagi menyantap makanan buatannya. “Bagaimana keadaan mereka?” Albert bertanya sambil menikmati sarapannya. “Baik, seperti biasa,” jawab Cella sambil menatap suaminya. “Hm, Al, maafkan aku kemarin malam sudah mengganggu tidurmu,” pintanya merasa bersalah. “Aku selesai, jaga mereka saat kamu beraktivitas. Aku pergi.” Albert bangun tanpa menanggapi permintaan maaf Cella. Bahkan, dia tidak menghabiskan roti yang tadi diambilnya. Cella hanya memerhatikan pemilik punggung tegap itu mulai menjauh. “Nak, Daddy sangat memedulikan kalian. Sehatlah selalu di dalam sana.” Dia mengelus perutnya dari luar dress putihnya. *** “Selamat pagi,” sapa Cella dengan ceria kepada karyawannya, tidak luput terhadap sahabatnya juga. “Selamat pagi, Mrs. Anthony,” jawab mereka serempak. “Sepertinya, suasana cerah pagi ini berpengaruh terhadapmu, Cell.” Icha mengibaratkan keadaan alam dengan suasana hati sahabatnya. “Terserah dirimu saja menilaiku, Cha,” jawab Cella setelah melepaskan pelukan sahabatnya. Meskipun banyak masalah sedang dihadapi, sebisa mungkin Cella tetap menjaga keprofersionalannya saat berada di lingkungan kerja. Dia tidak membiarkan sedikit pun kecurigaan di benak para karyawannya tentang permasalahan yang sedang dialaminya. Oleh karena itu dia bersikap biasa-biasa saja, seolah tidak ada sesuatu yang sangat menguras pikirannya. “Semuanya selamat bekerja. Semoga hari ini banyak pengunjung yang datang,” ujar Cella setelah selesai berbasa-basi dengan Icha. “Cha, Aunty di mana?” Cella bertanya saat menaiki anak tangga bersama Icha. Mereka menuju kantor Cella di lantai dua, bersebelahan dengan ruangan yang digunakan Icha dan Keira sebagai tempat tinggal. “Lagi di dapur. Beliau sedang memeriksa persediaan bahan pokok,” Icha menjawab. Dia mengikuti Cella masuk ke ruangannya. “Cell, kamu baik-baik saja?” Icha memerhatikan Cella dari jarak yang lebih dekat. Mata Cella terlihat sedikit sembap dari biasanya, walaupun sahabatnya ini pintar menutupinya dengan make up, tapi tetap terlihat olehnya. “Tentu saja baik, Cha. Si Kembar juga,” Cella meyakinkan Icha. “Kalau ada sesuatu yang ingin kamu bagi, ceritakanlah. Aku dan Aunty selalu ada bersamamu,” ujar Icha kepada sahabatnya yang malang ini. “Pasti, Cha. Cuma kalian yang selalu menanyakan tentang ini dan itu mengenai hidupku,” Cella menjawabnya dengan santai. “Cell, kemarin setelah aku mengantarmu pulang, Catherine ke sini bersama keponakanmu. Keponakanmu sangat lucu dan menggemaskan,” beri tahu Icha. Dia sangat mengagumi Gerald–keponakan Cella. “Yang benar?” Cella terkejut mendengar kabar dari sahabatnya. “Benar, Cell. Cathy menanyakan kabarmu. Dia sangat ingin bertemu denganmu sekaligus melepas rindu katanya,” Icha kembali menambahkan. “Mengapa Cathy tidak langsung meneleponku, padahal dia tahu nomor ponselku yang sekarang?” Cella bertanya seraya menggerutu. “Mungkin menurut Cathy, bertemu langsung denganmu akan lebih baik,” Icha berpendapat. “Sejak menikah dengan George, Cathy seperti pendek akal, Cha. Jika mau bertemu, tinggal hubungi saja, apalagi sekarang teknologi semakin canggih,” Cella kembali menggerutu, sedangkan Icha hanya menertawakan kekesalan sahabatnya. “Apalagi yang dia katakan padamu, Cha?” Cella kembali bertanya ingin tahu. “Katanya dia ingin berbicara serius denganmu, Cell,” Icha menyampaikannya dengan ekspresi serius kepada Cella. “Tentang apa?” selidik Cella penasaran. “Audrey,” beri tahu Icha hati-hati. Cella terdiam setelah mendengar nama yang disebutkan oleh Icha. “Baiklah, aku akan menghubungi Cathy secepatnya,” Cella menjawab setelah mengontrol keterkejutannya. “Apa lagi yang dilakukan wanita itu terhadap keluargaku?” tanyanya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD