Sepuluh tahun yang lalu - Boston, Amerika.
Reiner Algantara sedang fokus bekerja dalam ruangannya bersama dengan Ghandi Alfarezi. Sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa yang dirintis oleh Reiner ini sedang berkembang. Reiner dibantu Ghandi mengembangkan Reins Company. Reiner dan Ghandi yang sedang fokus mendiskusikan mengenai proyek yang baru mereka dapatkan pun berubah panik saat Reno datang dengan wajah panik.
"Maaf, Pak. Ada telepon dari rumah kasih kabar kalau Ibu lemas dan pucat."
Tidak perlu memakan waktu lama, Reiner dan Ghandi beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan gedung kantor sederhana yang mereka sewa untuk tempat Reins Company. Keduanya langsung masuk ke dalam mobil dan melaju menuju ke rumah Reiner dan tepat saat Reiner sampai di rumahnya, Reiner berlari menuju kamar dan mendapati Eliza istrinya kini sedang mengerang kesakitan. Reiner pun tanpa membuang waktu lama dan dengan sigap menggendong istrinya menuju mobil. Ghandi pun langsung mengambil alih kemudi dan mengemudikan mobil dengan segera menuju rumah sakit terdekat.
Sesampainya di rumah sakit, istri Reiner pun langsung ditangani petugas medis. Reiner pun tidak meninggalkan sisi istri kesayangannya itu. Ghandi yang mengerti situasi dan kondisi yang terjadi pun dengan sigap membantu mengurus masalah administrasi.
"Mohon maaf, Pak Reiner. Janin yang dikandung istri anda sudah tidak bisa dipertahankan. Janin akan kami keluarkan melalui proses kuretase. Saya turut berduka, Pak."
Bagai petir disiang bolong, Reiner merasa otaknya macet mencerna ucapan dokter kandungan yang baru saja selesai melakukan USG pada kandungan istrinya. Perut istrinya saja belum nampak membesar. Janinnya memang masih kecil. Usianya bahkan baru akan memasuki usia enam minggu. Tapi bagaimana bisa janin itu harus dikeluarkan padahal sebelumnya baik-baik saja?
"A-apa, Dok? Harus apa?" Reiner syok. Otak dan telinga Reiner benar-benar tidak bisa mencerna kalimat yang baru saja sang dokter ucapkan.
Dokter itu menghela nafas panjang. Kabar duka memang selalu membawa efek syok bagi si penerima berita. Dokter itu memaklumi dan mengulangi kembali informasi yang ia ucapkan barusan. "Saya turut berduka. Janin dalam kandungan istri anda sudah tidak dapat diselamatkan. Janin tidak memiliki detak jantung dan setelah saya coba cek memang tidak ada tanda-tanda kehidupan."
Tubuh Reiner melemas. Baru minggu lalu ia mendengar detak jantung janinnya. Ia senang bukan main karena ia akan memiliki seorang anak. Buah cintanya dengan wanita yang menjadi istrinya itu. Ia bahkan sudah tidak sabar apakah ia akan memiliki seorang anak perempuan atau seorang anak laki-laki. Reiner diusianya ke tiga puluh tahun merasa sudah cukup siap menerima kehadiran anggota keluarga barunya bersama istrinya.
Namun semua mimpi dan rencananya itu nyatanya harus ia kubur dalam-dalam. Janin itu sudah pergi. Demi keselamatan sang istri, Reiner pun merelakan janin calon anaknya. Reiner hancur namun ia melihat bagaiman istrinya berduka ternyata jauh lebih hancur. Selesai proses kuretase, istrinya bahkan tidak henti-hentinya menangis. Dalam perjalanan pulang bahkan saat mereka sudah pulang ke rumah mereka. Istrinya terus menangis seakan ia memiliki waktu dan stok persediaan air mata yang tak akan pernah habis untuk menangisi kepergian buah hati mereka.
"Dokter itu sudah merenggut calon anak kita. Seandainya saja aku tidak mengikuti ucapannya untuk meminum obat itu mungkin anak kita masih ada," Istrinya berucap dengan nada penyesalan dan sendu. Duka yang pekat masih mengelilingi pasangan itu.
Reiner yang duduk di sofa dalam kamar mereka pun terpaku memandangi istrinya yang duduk bersandar ditempat tidur dan menatap langit dengan pandangan kosong. Mereka memang sudah kembali ke rumah mereka namun istrinya itu tidak sekalipun beranjak dari tempat tidurnya. Janin itu pun sudah Reiner kebumikan dengan kedua tangannya sendiri ditemani istrinya yang memaksa untuk ikut menyaksikan sambil menangis serta ada Gandhi dan Reno. Hari kelam itu sudah berlalu namun duka yang menyelimuti rumah itu nyatanya masih enggan pergi dari pasangan itu Eliza masih saja menangis dan Reiner masih saja mengurung diri.
Reiner tidak pernah memaksa istrinya menceritakan mengenai apa yang terjadi, apa yang ia rasakan atau apa yang ia pikirkan saat ini karena tanpa ditanya pun Reiner tau istrinya berduka. Reiner tau bagaimana istrinya sangat bahagia dengan kabar kehamilannya. Istrinya bahkan rela meninggalkan semua pekerjaannya di dunia entertaiment demi janin yang ia kandung tanpa ia minta.
"Kamu.. apa?" Reiner mencoba mencerna cerita istrinya barusan.
Istrinya pun menceritakan apa yang terjadi padanya hari itu dan bagaimana ia bertemu dengan seorang dokter di rumah sakit dan dokter itu yang menangani dirinya. Reiner dengan kecepatan penuh meminta Reno mencari tau mengenai cerita istrinya. Reiner bersumpah akan mencari tau dan membuat dokter itu bertanggungjawab.
Reiner merasa selama tiga puluh tahun ia hidup di dunia ini, ia tidak pernah merasakan kemarahan sebesar ini dan kebencian yang sedalam ini. Reiner dengan cepat mencari tau mengenai cerita istrinya dan sialnya teman dekat sang istri yang turut pada waktu kejadian pun membenarkannya. Reiner mencengkram foto seorang dokter wanita muda yang tersenyum bersama para suster didekatnya. Giska Hartawan. Reiner bersumpah akan membuat wanita itu merasakan apa yang ia dan istrinya rasakan.
Reiner masih ingat betul bagaimana pekatnya duka kehilangan dalam keluarganya. Reiner masih menangisi sebuah gundukan kecil yang menjadi tempat janin calon bakal anaknya itu dikebumikan. Janin yang baru ia dengar sekali detak jantungnya. Janin yang usianya baru memasuki enam minggu itu menjadi korban dari seorang dokter. Reiner berduka. Ia bahkan belum mengetahui jenis kelamin si janin. Namun janin itu sudah terkubur disana.
Reiner masih ingat betul bagaimana pengakuan istrinya. Pengakuan itu layaknya kaset kusut yang berputar-putar dalam kepalanya. Reiner pun ingat betul bagaimana ia meminta Reno mencari tau mengenai orang yang katanya membantu tapi justru melenyapkan calon anaknya. Ia pun akhirnya mengetahui identitas wanita yang melenyapkan janin yang berada dalam kandungan Eliza. Wanita yang katanya jenius itu malah merenggut nyawa bakal calon anaknya. Reiner pun memperkarakan hal itu melalui pengacaranya namun sialnya wanita itu berhasil membela diri dan lepas dari gugatannya. Sejak saat itu Reiner pun menyimpan bara dendam pada dokter yang sudah menghancurkan kebahagiaan keluarganya. Dokter itu sudah membuat Eliza, istrinya menangis sepanjang hari selama beberapa hari padahal selama ini Reiner tidak pernah mengizinkan satu tetes air mata jatuh dari mata cantik Eliza.
Ditengah duka yang ia dan istrinya rasakan, Reiner seakan merasa diejek ketika melihat wanita itu masih bisa tersenyum dan menjalani aktivitas sehari-harinya. Reiner menguntit wanita itu diam-diam. Ia melihat bagaimana Giska itu masih bisa tertawa disaat setiap malam Eliza menangis.
Reiner pun merencanakan hal gila. Reiner berencana membuat wanita itu merasakan apa yang ia dan Eliza rasakan. Reiner akan membuat Giska merasakan bagaimana dunianya runtuh dalam sekejap mata. Wajah penuh senyum itu akan berubah menjadi tangis. Langkahnya yang penuh semangat itu akan layu. Reiner bersumpah akan membuat dokter itu merasakan perasaan hidup segan, mati pun ia tak mau.
Reiner menunggu kesempatan itu datang layaknya macan yang mengintai mangsanya. Reiner menguntit Wanita itu dari kejauhan. Mengabaikan aktivitasnya sehari-hari demi membalaskan dendamnya. Reiner memikirkan cara yang halus untuk mendekati dokter itu. Satu cara ia dapatkan dan ternyata semesta berpihak padanya. Rencananya itu berhasil mendekatkan wanita itu dengannya dan disitu semua rancananya berawal.
***
Sepuluh tahun kemudian - Jakarta, Indonesia.
Ingatan mengenai masa lalu selalu berhasil membangkitkan rasa frustrasi dan semua emosi negatif yang Reiner miliki dan seperti biasanya Reiner akan melakukan kehidupan bebasnya sebagai distraksinya. Kini Reiner baru selesai melakukan aktivitas malamnya dengan wanita yang ia sendiri tidak kenal. Reiner pindah ke kamar hotel lain untuk menikmati kesendiriannya dan meninggalkan wanita yang menjadi objek pelampiasannya itu dikamar lain tentunya dengan uang kompensasi atas kepuasan yang ia terima.
Reiner menghisap dalam-dalam rokok yang sedang ia nikmati itu. Asap rokok mengepul di udara. Dari kamar hotel yang ia sewa, ia memandang langit malam yang begitu kelam. Ingatannya kembali pada masa lalunya. Hari terakhir ia bertemu dengan wanita yang selalu menjadi objek balas dendamnya. Wanita itu berwajah kuyu karena kelelahan katanya. Sialnya hari itu ternyata adalah hari terakhir ia bertemu dengan wanita itu padahal rencananya belum selesai dengan sempurna. Wanita itu belum hamil dan ia belum membuat wanita itu merasakan bagaimana hancurnya saat ia ditinggalkan anak yang bahkan belum sempat ia peluk. Anak yang bahkan belum sempat ia lihat bagaimana wujudnya.
Nyatanya saat itu wanita itu sudah mengetahui semua rencananya. Saat itu wanita itu tersenyum padanya padahal wanita itu sudah tau kalau ia merencanakan sebuah rencana untuk menghancurkan hidupnya. Kenyataan ini membuat hatinya merasakan perasaan campur aduk.
Ingatan Reiner kembali berkelana saat ia bertemu dengan Giska di rumah sakit tadi sore. Reiner sudah menunggu wanita itu sedari pagi. Reiner benar-benar seperti penguntit. Reiner melihat bagaimana sibuknya Giska seharian itu. Bagaimana Giska hanya mengisi tubuhnya dengan sepotong roti karena kesibukannya dan saat wanita itu senggang. Wanita itu tidak keluar dari ruangannya membuat berbagai hal masuk ke dalam pikirannya dan tiba-tiba impulsif masuk ke dalam ruangan itu karena takut wanita itu kembali sakit seperti beberapa malam yang lalu.
Saat masuk ke dalam ruangan wanita itu, nyatanya wanita itu baik-baik saja. Wajah terkejut wanita itu melihat kehadirannya membuat Reiner sadar akan tindakan impulsifnya yang berakibat bodoh. Ia duduk dan berusaha mengintimidasi Giska. Sialnya Giska nampak tenang namun ketika Reiner mendapati Giska mulai tertekan dengan pertanyaannya mengenai masa lalu mereka, sebuah senyum mengembang di bibirnya. Reiner berhasil membuat Giska merasa tertekan mengenai pembahasan masa lalu.
Sayangnya senyum Reiner itu tidak bertahan lama. Giska berhasil membalikkan situasi. Giska membuat Reiner justru terkejut dengan sebuah kenyataan yang baru ia tau. Terlebih luka yang mengintip di mata Giska. Semua itu membuat Reiner mendadak frustrasi. Seharusnya ia merasa senang akan pengakuan kehancuran Giska tapi kenapa malah hatinya malah tidak karuan melihat kehancuran wanita itu?