"Rei enggak sengaja kenalan karena Om itu bantuin Rei pas ada temen Rei yang nakal, Mbak." Reika menjawab pertanyaan Neni dengan mulai menceritakan mengenai bagaimana ia dan Reiner bertemu sambil menyantap burger dan kentang yang dibelikan oleh Reiner.
"Kamu sering ketemu sama bapak tadi?" Neni mulai menginterogasi Reika dengan wajah dan pandangan serius.
Reika menghentikan kegiatan makannya lalu menatap Neni sambil berpikir. Jelas Reika sedang mencoba mengingat-ingat "Enggak sih, Mbak. Aku ketemu kalo pas main ditaman. Itu juga jarang-jarang. Mbak tenang aja."
"Tapi Rei..."
"Aku juga gak kasih tau apapun sama Om tadi, Mbak. Om tadi hanya tau nama aku Rei. Dia juga mikir aku tinggal di tower sebrang," Reika berucap dengan nada santai berusaha membuat Neni tenang.
Neni bersedekap menatap Reika. "Jadi ini alasan kamu tadi masuk ke tower seberang, duduk di lobby sebrang beberapa terus pulang ke tower ini mengendap-endap tadi pas kita pulang?"
Reika mengangguk. "Aku gak akan kasih tau apapun sama Om tadi kecuali nama Rei. Karena aku gak tau Om itu benar-benar baik atau tidak."
Neni menghela nafas panjang. "Mama kamu minta kita berhati-hati sama orang asing, Rei. Jangan sampe kita malah ketemu orang yang salah."
Reika mengangguk, "Rei ngerti, Mbak. Maka dari itu Rei cuma kasih tau Om itu nama aku Rei."
Neni berhenti bersedekap lalu meletakan tangannya diatas meja. Neni lalu menyangga kepalanya menggunakan kedua telapak tangannya sendiri, "Kadang Mbak itu ragu kalo usia kamu sepuluh tahun."
Reika menatap Neni. "Inget jangan salah kasih tau orang Mbak. Usia aku sembilan tahun kalo ada yang tanya."
Neni mengangguk dan Reika kembali melanjutkan kegiatan makannya. Neni menatap Reika dengan pandangan ragu. Reika sendiri merasakannya. Jelas Neni ingat dan bingung saat bosnya menjelaskan mengenai umur Reika. Umur asli Reika itu sepuluh tahun namun semua yang bertanya diberitahu kalau umur gadis kecil itu sembilan tahun. Namun Neni tidak bertanya lebih lanjut karena merasa nanti suatu saat ia pasti akan tau juga.
"Mbak, jangan lapor ke mama. Kalo Mbak lapor ke mama pasti mama akan merespon secara berlebihan mulai dari ingin tau mengenai orangnya sampai akan mengekang kita keluar apartemen and the worst, dia bisa memberhentikan Mbak karena lalai," Reika menjabarkan apa yang ia pikirkan.
Neni tidak mengatakan apapun dan tidak berniat menanggapi karena Neni tau apa yang Rei ucapkan adalah sebuah kenyataan. Neni memang baru bekerja dengan Giska beberapa bulan namun beberapa bulan itu adalah waktu yang cukup untuknya mengenal sosok yang menjadi bosnya itu.
Neni pun menghela nafas panjang. Neni menatap Reika yang asik memakan makanannya. Reika sudah mengerti apa yang harus ia lakukan. Usianya memang masih sepuluh tahun namun cara berpikirnya tidak seperti layaknya anak berusia sepuluh tahun. Reika lebih dewasa dari usianya.
"Kamu yakin kalo bapak yang kemarin enggak akan sampe tau apapun tentang kamu selain nama kamu?" Neni bertanya dengan nada memastikan.
Rei mengangguk mantap.
Neni menghela nafas panjang menatap Rei. Neni ragu namun ia juga takut kalau sampai ia dipecat karena lalai. Neni membutuhkan biaya untuk kuliahnya. Di sisi lain Neni juga takut terjadi sesuatu pada Reika.
"Tapi kamu harus janji satu hal, kamu harus cerita sama Mbak kalo kamu ketemu sama bapak yang kemarin lagi. Mbak takut dia punya niat gak baik sama kamu. Apa lagi mama kamu peringatin kita untuk enggak dekat-dekat sama orang asing dan anehnya kamu malah baru aja kenalan sma orang asing setelah mama kamu peringatin kita? Kamu gak ngerasa aneh, Rei? Bisa aja bapak kemarin itu orang jahat yang mama kamu maksud," Neni berucap panjang lebar.
Reika menghentikan kegiatan makannya lalu menatap Neni sambil menyandarkan punggungnya pada kursi yang ia duduki saat ini, "Mbak Neni barusan udah nuduh orang tanpa bukti. Kita gak bisa main ambil kesimpulan kayak gitu cuma berdasarkan kebetulan. Bisa aja Om itu memang gak punya niat jahat apapun. Kami bener-bener kenalan gak sengaja bukannya ada niat jahat."
Neni menghela nafas panjang lagi entah sudah yang keberapa kalinya. "Kadang bicara sama kamu bikin Mbak ragu kalo kamu masih anak-anak."
Reika hanya menggendikan bahunya. "Pokoknya Mbak jangan bilang apapun sama Mama karena dia pasti akan berespon berlebihan dan kita akan jadi repot karena itu. Aku gak mau dilarang keluar apartemen. Selain itu aku janji akan cerita sama Mbak Neni kalo ketemu sama Om itu selain itu aku juga bisa jaga diri. Aku cuma main di sekitar sini jadi enggak mungkin dalam bahaya sendiri. Ada banyak petugas keamanan yang akan bantu. Aku cukup teriak kenceng dan pasti akan ada petugas keamanan yang denger."
Neni menyodorkan jari kelingkingnya pada Reika, "Janji akan cerita sama Mbak?"
Reika tersenyum lebar dan mengangguk sambil menyambut jari kelingking Neni dengan menautkannya dengan jari kelingkingnya. "Janji."
Reika memang baru berusia sepuluh tahun namun sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk Giska mengajarkan banyak hal pada Reika. Bagaimana bersikap, bagaimana berespon, bagaimana harus melihat situasi. Giska mengajarkan banyak hal pada Reika karena Giska tidak ingin Reika terjatuh saat ia tidak bisa berada disisi gadis kecilnya itu. Giska sadar bagaimana kerasnya kehidupan. Giska sudah merasakannya dan Giska tidak ingin Reika merasakannya juga.
Giska sama seperti orang tua lainnya. Ia tidak ingin anaknya merasakan hal pahit yang ia rasakan maka dari itu sedari dini Giska mengajarkan segala sesuatu pada Reika. Memberikan segala cara pandang logika yang benar agar Reika bisa memiliki pola pikir benar dan hasil didikan Giska tidak meleset. Reika pun tumbuh menjadi gadis kecil yang dewasa diusianya.
***
Giska masih dalam acara pertemuan ilmiah tahunan para dokter jantung. Giska mengikuti acara pertemuan ilmiah itu dengan fokus karena pertemuan ini menjadi wajah ilmu pengetahuan yang baru baginya. Giska akan fokus pada acara pertemuan ilmiahnya di siang hari dan di malam hari, ia akan fokus berkomunikasi dengan Reika melalui sambungan panggilan video.
"Rei, how's your day?"
Reika menatap layar laptop yang berada di hadapannya, "Nothing special. Sekolah, pulang, main, kerjain tugas rumah, makan."
Giska melihat wajah bosan Reika, "Kamu bosan, Rei?"
Reika spontan mengangguk. "Mama belum izinin Rei pergi ke mall? Mbak Neni bilang, Mama cuma khawatir kalau ada orang yang berniat jahat sama Rei. Memang mama punya musuh? Lagi pula Rei sama Mbak Neni bisa jaga diri kalau mama khawatir ada orang jahat."
Giska menghela nafas panjang, "Mama gak punya musuh, sayang. Mama cuma khawatir karena kamu jauh. Mama gak mau terjadi apa-apa sama kamu."
"Tapi aku juga pengen pergi ke mall. Temen-temen aku cerita kalau ada film barbie baru di bioskop. Aku pengen nonton juga, Ma."
"Kamu bisa nonton di tv kamar, Rei. Kita bisa nonton dengan cara kita biasanya. Kita beli film itu di googleee movie dan kamu bisa nonton sama Mbak Neni dikamar."
Reika memutar bola matanya, "Rasanya beda, Ma. Di bisokop layarnya lebih besar. Suaranya juga lebih keras."
"Rei..." Giska memanggil Rei dengan nada seakan memperingatkan bersamaan dengan gelengan kepala.
Reika menghela nafas panjang, Percakapan mengenai rencana ke mall selesai. Mamanya tidak akan merubah keputusannya jadi percuma memperpanjang pembahasan itu. "Mama masih lama disana?"
Giska menggelengkan kepala. "Lusa mama pulang. Mama berencana berkunjung ke tempat teman mama dulu. Kami satu tempat kuliah dulu siapa tau ada peluang untuk bekerja di sini. Beberapa hari di Bali, Mama rasa tempat ini cukup menyenangkan untuk menjadi tempat tinggal."
Reika nampak berpikir, "Kita akan pindah ke sana?"
Giska menggendikkan bahunya, "Mama pikir tidak buruk juga tinggal disini bukan berarti kita akan pindah ke sini, Rei."
Kini Giliran Reika yang menggendikkan bahunya, "Ucapan mama itu seperti sebuah tanda yang perlu aku perhatikan."
Giska tersenyum tipis. "Mama mulai suka pergi ke pantai setiap selesai acara. Mama pikir akan menyenangkan kalau bisa seperti itu setiap hari."
Reika hanya diam mendengarkan ucapan Giska yang mulai menceritakan mengenai apa yang ia lakukan selama di Bali. Giska menceritakan sedikit mengenai materi yang ia dapat tadi pada Reika.Reika mendengarkannya layaknya dongeng pengantar tidur.
"Mama tidak menceritakan semua ini untuk membuatku tertarik mengikuti jejak mama menjadi seorang dokter, kan?"
Giska tertawa kencang, "Mama mulai berpikir kalau kamu bisa membaca pikiran mama, Rei."
Reika memutar bola matanya. Pandangan Reika jatuh pada sebuah kalender yang berada di meja belajarnya. Reika pun teringat akan sesuatu, "Ma, beberapa hari lagi hari ayah.. Boleh aku tidak sekolah hari itu?"
Tawa Giska lenyap dalam sekejap. Giska memandang wajah Reika yang kini berubah murung, "Rei..."
Ingatan Giska pun melayang pada hari ayah yang dilalui Reika tahun lalu, kebetulan saat itu Reika baru beberapa hari pindah sekolah. Disaat semua anak datang bersama dengan ayah mereka, Reika datang bersama dengan mamanya. Hari itu memang tidak ada yang meledek Reika. Namun cara pandang teman-teman Reika jelas seakan meledeknya.
Mulai keesokkan harinya Reika mulai diledek teman-temannya. Reika tidak pernah menceritakan apapun pada Giska. Namun suatu hari Giska menemukan sebuah tulisan di buku Reika dan Giska tau betul itu bukan tulisan tangan Reika.
Anak haram.
Giska terdiam sesaat dan mencerna maksud tulisan itu dan memeriksa buku Reika lainnya, untungnya cuma ada satu namun Giska mendapati ada salah satu buku Reika yang rusak karena dirobek. Giska pun curiga dan bertanya pada Reika. Reika akhirnya mengaku bahwa teman-temannya meledeknya 'anak haram' karena ia datang tidak dengan ayahnya.
Saat itu Giska marah luar biasa bahkan sampai mendatangi wali kelas Reika, karena itu juga Giska memutuskan Reika pindah ke sekolah baru. Giska merasa sekolah itu tidak baik bagi pertumbuhan sosial Reika.
"Ma, aku gak mau berantem sama siapapun atau mendengarkan ledekkan apapun. Sungguh menyebalkan jika nanti mereka juga meledek aku kalau aku datang sama Mama. Aku gak mau kejadiannya sama seperti sekolah aku yang dulu. Mereka meledek ketika aku datang bersama mama sementara mereka datang bersama dengan ayah mereka."
Giska menghela nafas panjang. "Kamu gak mau datang ke sekolah sama Mama? Bagaimana dengan Om Albert? Mama bisa minta tolong Om Albert untuk temenin kamu ke sekolah. Kamu mau? Mama rasa Om Albert tidak akan keberatan kalau mama minta tolong untuk menemani kamu ke sekolah. Beberapa hari yang lalu Om Albert sempet nanyain kamu sama mama,"
Reika terdiam dan menunduk, "But, he is not my daddy. Rasanya pasti akan aneh dan gak nyaman. Kami gak punya ikatan apapun."
Keduanya terdiam sesaat hingga Giska membuka suara, "Rei..."
"I know, aku gak minta mama cerita soal daddy tapi cuma aku gak pengen sekolah hari itu," Reika ucap dengan nada pelan dan masih menunduk
Giska menghela nafas panjang. "Kalau kamu enggak mau, mama enggak akan maksa tapi jika itu menganggu kamu cara terbaik bukannya menghindar Rei tapi menghadapinya. Mama akan temenin kamu kalau kamu gak mau sama Om Albert."
Reika menghela nafas panjang.
"Kamu boleh pikir-pikir dulu dan kalau memang kamu tetap ingin tidak masuk, Mama tidak akan melarang. Kamu bisa memilih mana yang membuat kamu nyaman, Rei."
Rei mengangguk pelan. "I miss you, Mom."
"Miss you too, sweetheart."
Panggilan video antara keduanya berakhir. Giska menutup laptopnya dan kembali naik ke atas tempat tidurnya. Ia tinggal di hotel selama beberapa hari. Sebuah hotel yang cukup nyaman untuknya beristirahat. Kadang Giska merasa bersalah pada Reika, gadis kecil itu tidak tau apa-apa tentang ayahnya namun Giska merahasiakan itu bukan tanpa sebab. Giska hanya ingin melindungi Reika dari rasa kecewa. Gadis kecilnya pasti akan kecewa saat ia tau bahwa keberadaannya tidak diinginkan dan Giska tidak akan membiarkan gadis kecilnya itu terluka.
Ayah Reika mungkin tidak menginginkan kehadiran Reika namun ada Giska yang sepenuh hati mencintai Reika dan dengan seluruh hidupnya memperjuangkan Reika. Bagi Giska Reika adalah kehidupannya. Tanpa Reika, dunia Giska akan musnah. Tapi Reika semakin besar, cepat atau lambat Reika akan mulai bertanya tentang ayahnya, walau pun saat ini belum namun suatu hari nanti pasti Reika akan mulai bertanya. Apa lagi sekarang ada Reiner, Giska merasa ada dipersimpangan jalan, ia merasa bingung, entah apa yang harus Giska lakukan.