BAB 17

1001 Words
Pria itu berjalan menuju singgasana sang raja dengan langkah kaki yang panjang dan lebar. Ia terlihat sangat tidak sabar. Tatap matanya setajam elang, tak ada sedikit pun senyum yang biasanya selalu menghiasi di bibirnya. Sepertinya emosi tengah menyelimuti dadanya. Para pengawal hanya membungkuk sebagai bentuk memberi salam dan menyambut kedatangan calon raja yang akan memimpin mereka suatu hari nanti. Sementara sang raja sedang berbincang dengan sang ratu di singgasananya. Sampai-sampai mereka tidak menyadari kehadiran putra semata wayang mereka. "Ayahanda!" Suara lantang pria itu berhasil membuat pasangan penguasa Nirvana itu menoleh dan menatap putra mereka yang baru saja datang. "Putra Mahkota!" Ratu Selena berdiri dari duduknya, memberi kode pada sang putra kesayangan agar tetap sopan. Di hadapan para pengawal, harusnya Kai memanggil ayahnya dengan sebutan yang mulia raja. Akan tetapi, kali ini pria itu tak melakukannya. "Biarkan saja, Dinda." Raja meminta sang istri duduk kembali di sampingnya. "Wahai, Pemuda. Kemarilah!" panggil raja Philips. "Ada apa, Kai? Kenapa Kamu datang dengan wajah yang semasam itu?" tanya Ratu Selena akhirnya berbicara dengan bahasa non formal. "Apa yang Ayahanda dan Ibunda lakukan? Apa yang sebenarnya Ayahanda dan Ibunda inginkan dan rencanakan?" tanya pria itu tanpa basa-basi. Dada pria itu kembang kempis karena datang dengan tergesa-gesa, pun dengan emosi turut menjadi pemicunya. Ia tidak sabar mengetahui jawaban dari pertanyaannya. Sungguh, Kai sangat bingung dengan apa yang terjadi. "Apa maksud Kamu, Nak?" tanya raja Philips. Wanita itu memberi kode agar anaknya tidak menjawab dulu. Selena lantas berdiri lalu memberikan kode dengan tepukan sebanyak tiga kali. Para pengawal yang menjaga tempat itu segera meninggalkan tempat dan keluar dari sana. Pintu balai utama kerajaan pun tertutup rapat untuk pembicaraan mereka yang bersifat rahasia. "Kai sudah mendengar semuanya, Yang Mulia Raja, Bunda Ratu. Kai mendengar bahwa kalian telah membuat keputusan penting tentang pernikahan Kai," ucap pria itu tanpa basa-basi. "Oh, masalah itu. Memangnya kenapa, Nak? Bukankah dua bulan yang lalu, Kamu sendiri yang bilang pada ayah dan bunda kalau Kamu menyerahkan soal pernikahan sepenuhnya pada kami?" Kai mengingat kembali memori sebulan yang lalu di saat ia belum mengenal Aurora. Ia sendiri yang bilang menyerahkan semua pada ayah dan ibunya. Saat itu dia sama sekali peduli dan tertarik pada hal pernikahan maupun wanita. "Kamu sudah ingat? Siapa yang bilang kalau Kamu menurut saja?" tanya raja. "Tapi Ayah, biasanya pemilihan putri mahkota kan melewati seleksi yang panjang," protes pria itu. "Memang seharusnya seperti itu. Akan tetapi, apa salahnya jika kita mengambil menantu dari keluarga paling terhormat di negeri ini setelah keluarga kita? Lagi pula, ayah yakin putri Athura akan sama mulianya dengan sang ayah. Dengan tiadanya acara pemilihan putri mahkota juga akan menekan anggaran biaya kerajaan. Bahkan Kamu bilang setuju-setuju saja meski apa pun keputusan ayah dan bunda," ucap raja Philips menjelaskan. "Maafkan Kai, Ayah, Bunda." Kairos merasa kehilangan muka, karena memang kenyataannya semua salahnua sendiri karena pernah berkata demikian. Philips tertawa melihat putranya malu. Ia jadi mengingat bagaimana dirinya saat muda, yang sama persis dengan putranya. Namun, di saat bersamaan Philips juga sangat penasaran bagaimana putranya bisa tahu padahal keputusan tadi malam belum diumumkan. "Tapi Kai, dari mana Kamu mengetahui keputusan itu? Kami bahkan belum mengumumkan apa pun. Hanya ayah, bunda, Athura, dan istrinya yang tahu mengenai hal ini," ucap raja. "Eh, itu ... itu ... karena putri panglima perang yang memberi tahu aku," ucap Kai dengan wajah memerah. "Wah, bagus sekali. Bahkan kalian sudah dekat sebelum kami menjodohkan kalian berdua. Lalu apa masalahnya? Kamu hanya tinggal menerima perjodohan, bukan?" tanya raja Philips sedikit bingung. "Masalahnya, Kai tidak mau menikah dengan putri sulung Tuan Athura," jawab pria itu tanpa ragu. "Bukankah Kamu bilang kalian dekat? Lalu ...." Sang raja mengernyitkan kening, benar-benar tidak paham bagaimana jalan pemikiran sang putra. "Kai mencintai putri bungsu Tuan Athura, Ayahanda. Kai ingin putri bungsunya yang menjadi istri Kai, bukan putri sulungnya," ucap Kai memotong ucapan sang ayah. Ratu Selena sangat bahagia mendengar kabar bahwa sang putra jatuh cinta kepada wanita. Hal itu menandakan bahwa Kairos semakin beranjak dewasa. Sementara itu, raja Philips tampak berpikir tentang bagaimana cara ia menarik kata-katanya kembali tentang pernikahan itu. Bagaimanapun juga, ia ingin menjadi raja yang bijaksana. "Kai, mengenai pernikahan itu bisakah Kamu pikirkan kembali? Akan sangat sulit untuk membicarakannya. Bagaimana aku harus mengatakan pada Athura? Bukankah itu bukan masalah besar? Setahun lagi Kamu bisa meminang gadis itu saat Kamu memerlukan seorang selir." Akhirnya raja Philips buka suara setelah beberapa waktu terdiam dan berpikir. "Apa? Tidak, Ayahanda. Kai mau dia jadi wanita satu-satunya dalam hidup Kai. Kai hanya menginginkan seorang ratu tanpa selir yang lainnya. Dia adalah wanita yang sangat Kai cintai. Bagaimana bisa Kai menduakan cinta Kai?" "Kai, pahamilah posisi Kami. Akan sangat memalukan jika kami harus membicarakan dengan tuan Athura. Ini adalah ucapanmu karena belum dewasa. Saat Kamu menjadi raja nanti, Kamu pasti akan memiliki dua atau tiga orang selir," Kini sang ratu ikut berbicara. "Tidak Bunda Ratu. Kai hanya ingin memiliki dia sebagai ratu. Jika bukan putri bungsu tuan Athura, Kai tidak mau. Pokoknya, Kai tidak mau tahu. Seumur hidup, Kai tidak meminta apa pun pada kalian. Kai mohon kali ini paduka dan ratu mengabulkan keinginan hamba," ucap pria itu keras kepala. "Baiklah, ayahanda akan memikirkannya terlebih dahulu," jawab raja seraya memijat keningnya. "Kalau begitu Kai permisi, Yang Mulia. Raja, Yang Mulia Ratu." Pria itu membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan, lantas ia segera undur diri dari tempat itu dan kembali ke kediamannya. Raja Philips dan ratu Selena tampak murung. Mereka berpikir keras bagaimana caranya mengubah keputusan yang sudah terlanjur diambil. Semua serba salah, karena mereka tidak ingin Athura tersinggung atau menganggap mereka mempermainkannya. "Bagaimana Kanda, apakah ada cara yang terpikirkan?" tanya Ratu Selena. Pria itu menggelengkan kepala. "Tidak, Dinda. Sungguh, kali ini Kai membuat kepala Kanda sangat pusing. Kanda tidak ingin mengabaikan Kai karena ini adalah permintaan pertamanya selama ia menjadi putraku. Di sisi lain, aku sangat menghormati Athura dan tidak ingin membuatnya kecewa. Kanda takut, dia mengira kita mempermainkannya." Tiba-tiba saja, senyum di bibir Ratu Selena terbit. Sepertinya ia memiliki ide yang bagus untuk mengubah rencana pernikahan. "Kanda, bagaimana kalau kita menggunakan rakyat kita?" "Maksud Dinda?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD