Keadaan sekitar begitu hening. Hanya terdengar suara burung yang berkicau merdu. Juga suara gemericik air sungai yang terus mengalir di sela-sela bebatuan. Di bagian tepi, bagian yang airnya lebih tenang, memantulkan bayangan dua insan berdiri di tepian. Mereka berdua tampak sibuk berbicara dan kelihatannya serius.
"Aku minta maaf karena selalu menjahilimu. Semua aku lakukan karena aku begitu tertarik padamu. Sepertinya aku menyukaimu. Eum, kali ini aku serius soal aku menyukaimu, itu bukan lelucon. Aku sungguh tidak main-main dan tidak sedang mengerjaimu." Kai memegang tangan Aurora, kedua muda-mudi itu saling bertatapan mata menyelami diri masing-masing.
Aurora tampak gugup dan salah tingkah. Ia memalingkan wajah, mengakhiri kegiatan saling tatap mereka lalu melepaskan tangannya yang digenggam oleh pria itu. "Kai! Berhenti bergurau!"
"Aku tidak bergurau, Rora. Aku sangat serius. Aku menyukaimu, ah tidak! Aku mencintaimu. Aku akan segera menyiapkan acara pernikahan kita," ucap pria itu tanpa ragu.
"Per-nikahan?" Aurora sangat terkejut. Belum genap sebulan mereka saling mengenal dan pria itu langsung mengajaknya menikah. Aurora juga belum mengenal betul sosok di hadapannya itu. Bagaimana latar belakangnya, sifat aslinya. Entah pria dari mana ia berasal, hingga terkesan sembrono seperti itu.
"Ah, mak-sudku ... aku akan melamarmu." Dengan terbata-bata Kai menjawab.
Pria itu lupa kalau Kai yang saat ini Aurora kenal adalah Kai pria biasa. Kai yang sangat berbeda dengan identitasnya yang sebenarnya. Pria itu juga terbiasa mendapatkan sesuatu tanpa melalui prosesnya, terbiasa mengambil sesuatu tanpa harus izin atau apa pun itu. Segala keinginannya adalah perintah bagi setiap orang untuk menurutinya.
"Tapi ...." Pipi gadis itu bersemu merah dengan jantung yang berdegup sangat kencang. Ia sangat kesulitan untuk mengungkapkan apa yang tengah ia rasakan.
"Kamu tidak menyukaiku?" Pertanyaaan Kai sangat sulit dijawab oleh gadis itu. Betapa ingin Aurora mengatakan bahwa ia juga tertarik pada Kai, tetapi ia sangat malu untuk mengatakannya.
"Oh, jadi Kamu tidak menyukai aku? Jadi semua ini hanya salah paham?" Pria itu tampak emosi saat Aurora tak kunjung memberikan jawaban. "Baiklah, aku akan berkeliling negeri saja, mencari wanita yang sekiranya mau menikah dengan pria buruk rupa seperti aku."
Gadis yang semula menunduk itu mendongakkan kepala. Lalu dengan cepat ia menggelengkan kepala dan nenatap Kai dengan tatapan yang tidak biasa. "Aku ... aku, sebe-narnya ...."
"Sebenarnya kenapa?" tanya Kai dengan wajah yang dingin.
"Aku ... sebenarnya juga menyukaimu." Aurora memejamkan mata lalu mengigit bibir bawahnya. Terasa sangat memalukan mengungkapkan perasaan kepada pria.
"Benarkah?" Suara pria itu terdengar ramah kembali. Masih dengan memejamkan mata, Aurora mengangguk dengan cepat.
"Katakan sekali lagi!" Pria itu tanpa ragu memeluk Aurora dan memerintah gadis itu. Aurora terkejut karena pria itu tiba-tiba memeluk. Dadanya semakin berdetak kencang tetapi ia tidak dapat melakukan apa pun. Pria itu terlalu erat memeluknya.
"Sudahlah, Kai. Ini sangat memalukan!" ucap Aurora.
"Tidak! Aku ingin mendengarnya sekali lagi!" paksa pria itu.
"Aku menyukaimu, Kai. Aku menyukai Kai yang menyebalkan," ucap Aurora seraya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Kai melerai tangan Aurora, membebaskan wajah gadis tersebut. "Jangan tutupi wajahmu yang cantik ini! Aku suka jika Kamu mengatakannya dengan wajah yang memerah. Sungguh, Kamu seperti bunga mawar yang baru mekar."
"Kai berhenti menggodaku! Atau aku bisa pingsan di sini," ucap gadis itu.
"Hahaha, baiklah. Aku tidak akan menggodamu lagi." Pria itu mengusap kepala gadis itu dengan sayang.
"Tapi Kai mengenai pernikahan, aku merasa hal itu terlalu cepat. Kita belum saling mengenali satu sama lain. Kamu juga belum tahu betul segala keburukanku. Kamu akan menyesal jika Kamu salah pilih," ucap Aurora.
"Terlalu cepat? Tidak! Salah pilih? Tentu juga tidak! Pilihanku tidak pernah salah. Aku sudah cukup mengenalimu saat pertemuan pertama kita. Aku bahkan sudah merencanakan pernikahan kita sejak pertemuan kita yang pertama kalinya," ucap pria itu seraya tersenyum teduh.
"Apa? Saat itu kita kan baru berjumpa, bagaimana bisa?" Aurora hampir tak dapat mempercayainya. Pria macam apa yang langsung ingin menikah dengan gadis yang baru pertama kali ditemuinya.
"Tidak ada yang tidak bisa untuk seorang Kai ... " Pria itu tak melanjutkan kata-katanya. Hampir saja ia keceplosan menyebutkan identitasnya.
"Eh, tunggu. Sepertinya aku merasa ada yang aneh, lain dari hari biasanya," ucap Kai mengalihkan pembicaraan. Pria itu celingukan melihat keadaan sekitar, seolah tengah mencari sesuatu.
"Hm, apa?" tanya Aurora.
"Tempat ini sepi sekali. Memangnya di mana saudara-saudaramu yang sangat sombong itu?" tanya pria itu.
"Mereka tidak datang kemari. Aku di sini sendirian saja," jawab Aurora. "Kai, jangan berkata seperti itu. Tidak baik! Bagaimanapun juga, mereka adalah saudaraku."
Kai memutar bola matanya karena Aurora terus saja membela kakak-kakaknya. Pria itu lantas mengembuskan napas kasar, lalu bertanya saat merasa ada hal yang tidak beres. "Apa ada masalah?"
Aurora menggeleng. "Sepertinya tidak! Justru ada kabar baik yang baru saja kami terima. Mungkin Kak Amayra sedang berbahagia hingga tidak mau datang ke sini."
"Wah, kabar apa itu?" tanya Kai antusias.
"Eum, sebentar lagi Kakak sulung akan menikah. Dia mendapatkan pinangan dari pria yang ia idamkan," cerita gadis itu dengan wajah yang berseri.
"Wah, benarkah? Jadi akan ada pesta besar ya di rumahmu?" tanya Kai.
'Mendengar pernikahan kakakmu saja Kamu sebahagia ini. Bagaimana jika nanti aku mempersembahkan pernikahan megah dan mewah untukmu?" batin pria itu.
"Kamu salah! Bukan hanya pesta di rumahku. Tapi pesta di seluruh negeri. Karena calon suami kakak adalah pangeran Kairos, putra mahkota kerajaan Nirvana," ucap Aurora dengan bangga.
Ucapan Aurora seperti petir bagi Kai. Senyum di wajah pria itu menghilang, digantikan wajahnya yang gelap dan suram. Pria itu tidak suka mendengar apa yang Aurora katakan.
Aurora menyadari ekspresi tak suka Kai, lalu gadis itu bertanya. "Kenapa Kai? Kamu tidak suka mendengarnya? Aku tidak bermaksud untuk membandingkanmu ...."
"Dari siapa Kamu mendengar kabar itu?" tanya Kai dengan wajah yang datar.
"Mak-maksudnya?" Gadis itu bingung dengan pertanyaan Kai.
"Siapa yang bilang kalau putra mahkota negeri Nirvana akan menikahi kakak sulungmu?" tanya pria itu dengan nada meninggi.
"Ayahku!" jawab Aurora jujur. Kai mengepalkan jemarinya penuh amarah mendengar Aurora menyebut nama ayahnya.
"Se-sebenarnya kemarin ayah dan ibu pergi ke istana untuk membicarakan pemilihan putri mahkota dengan raja dan ratu. Namun, di luar dugaan, mereka tidak menginginkan pemilihan putri mahkota. Raja dan ratu langsung memilih kak Amayra sebagai calon putri mahkota. Yah, tentu saja pasti itu pilihan putra mahkota, kan?" ungkap Aurora. Kai semakin terkejut mendengar hal itu.
"Sialan! Kenapa jadi begini? Aku tidak pernah bilang menginginkannya!" gumam pria itu. Kai tampak gusar.
"Menginginkan apa, Kai?" tanya Aurora kebingungan.
"Rora, sepertinya aku harus pergi dan tidak bisa menemanimu di sini. Ada hal penting yang harus aku urus dan aku luruskan," ucap pria itu dengan gelisah. Ia tidak menjawab pertanyaan Aurora.
"Apa ada masalah?" tanya Aurora saat Kai tidak terlihat seperti biasanya.
"Iya, sedikit. Tapi ... aku akan segera menyelesaikannya," jawab pria itu.
"Tapi, Kai ...." Gadis itu kecewa, karena pria itu telah lenyap sebelum ia melanjutkan ucapannya. Aurora merasa ada yang mengganjal di hatinya. Namun, ia tidak tahu apa.
"Kai, Kairos ...." Gadis itu tampak berpikir. " Astaga! Tentu saja tidak mungkin. Tidak ada pangeran yang sikapnya liar seperti dia. Lagipula, mana ada putra mahkota yang mau memakai pakaian biasa rakyat seperti yang Kai pakai."
Gadis itu memilih untuk tidak memikirkannya lagi. Ia segera melanjutkan pekerjaannya dan bersiap pulang ke rumah.