“Tuan, ada tamu,” bisik Leon di telinga Raja yang tengah memakan makan siangnya yang tertunda akibat perbuatan Hitam.
“Ck!” Pria itu berdecak kesal, wajahnya menghitam. Ia benar-benar tidak suka jika makan siangnya diganggu.
“Tuan dan Nyonya ....” Leon ingin menjelaskan.
“Baiklah ...," potong Raja.
Raja bangkit, sedikit membanting sendok dan garpu yang ia pegang. Nafsu makannya menghilang seketika. Kehadiran dua orang itu membuat suasana hatinya semakin buruk.
Leon hanya bisa menundukkan kepala. Pria itu tahu majikannya marah. Dalam situasi biasa saja, Raja akan marah tiap dua orang itu datang. Apalagi sekarang mereka berdua mengganggu waktu makan siangnya. Namun, Leon tak dapat berbut apa-apa. Sebab dua orang itu tidak akan pergi sebelum berhasil menemui Raja.
“Selamat siang, Nak.” George, paman Raja langsung menyambut begitu pria itu keluar dari lift. Raja diam saja, tak menjawab sapaan pamannya itu.
“Kamu baik-baik saja, Nak?” Kate, bibi Raja hendak menghambur memeluk pria itu.
“Berhenti, Bibi. Maaf, Raja tidak nyaman!” Pria itu menolak sentuhan sang bibi.
“Ah, maaf. Baiklah ....” Kate tersenyum kikuk karena penolakan Raja.
“Silakan duduk, Paman, Bibi.” Raja mempersilakan kedua orang itu untuk duduk. Sementara dirinya duduk di sebuah sofa yang jaraknya cukup jauh dari mereka berdua. “Langsung saja, apa maksud kedatangan Paman dan Bibi ke mari? Apa uang yang Raja berikan bulan lalu telah habis?”
Wajah George dan Kate langsung berubah menjadi pucat saat Raja meluncurkan kalimat pedasnya. Mereka tahu pemuda itu memang tidak pernah bisa berkata-kata baik. Akan tetapi, sindiran raja kali ini begitu melukai harga diri mereka.
“Aih ... bukan begitu, Nak. Kami kemari karena kami dengar Kamu baru saja mengalami kecelakaan,” ucap Kate dengan lembut. Wanita itu tersenyum teduh, bersikap seolah benar-benar peduli.
“Kecelakaan? Raja tak merasa memberi tahu siapa pun perihal kecelakaan yang Raja alami. Lalu bagaimana Kalian bisa tahu tentang kecelakaan itu?” tanya Raja penuh curiga. Dunia luar memang tidak ada yang tahu tentang kecelakaan yang ia alami.
“Begini, tentu saja kami tahu. Kami kan paman dan bibimu. Bagaimana caranya kami harus tahu keadaanmu, Nak. Kami datang karena mengkhawatirkanmu, Nak. Kami ingin memastikan kalau Kamu baik-baik saja dan tidak terluka ....” Kini, giliran George yang berbicara manis pada Raja.
“Benarkah? Ah, aku sangat tersanjung. Awalnya aku mengira kalau Paman dan Bibi datang karena ingin memastikan aku sudah mati atau belum.”
Gluk. Kate dan George menelan salivanya dengan susah payah. Keringat dingin mulai membasahi tubuh keduanya.
“Kenapa kalian seperti gugup begitu? Ah, kalian pasti sangat mengkhawatirkan aku ya? Tenanglah, Paman, Bibi. Keponakanmu ini baik-baik saja, tanpa kekurangan apa pun. Lihatlah, bahkan oraang yang merencanakan kecelakan itu pasti akan kecewa melihat tubuhku yang tak tergores sedikit pun.” Raja berbicara dengan sangat tenang dan tersenyum santai.
“Ah, ya. Kebetulan saya sedang makan siang. Apa Bibi dan paman mau makan siang bersama saya? Kita bisa sekalian membicarakan orang-orang yang berkemungkinan ingin mencelakakan saya. Bagaimana?” tawar Raja.
“Ka-ami sudah makan tadi, Nak. Kamu saja yang makan. Sepertinya, kami harus pulang dulu. Maaf karena datang di waktu yang tidak tepat dan mengganggu acara makan siangmu,” ucap Kate dengan bibir bergetar.
“Ah, ya. Ini ada sedikit buah-buahan dari kami. Kamu makan ya, Nak? Ingat, jaga kesehatanmu. Jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja.” George mendorong keranjang buah ke hadapan Raja.
“Terima kasih, Paman. Paman perhatian sekali. Tapi kalau Raja tidak memaksakan diri, siapa yang akan mencukupi kebutuhan bibi Kate dan paman George? Juga paman Billy dan bibi Anna,” ucap Raja terdengar begitu mengesalkan.
“Ah, baiklah. Yang penting jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, segera hubungi Paman. Kami pergi dulu,” ucap pria itu dan istrinya berpamitan.
Akhirnya kedua orang itu pergi juga dari rumah itu. Raja bernapas lega dan langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang empuk dan nyaman seraya memijat keningnya. Akting dua orang itu benar-benar membuatnya sangat muak.
“Leon!” teriak Raja memanggil Leon yang berdiri sekita sepluh meter darinya.
“Iya, Tuan.” Leon datang tergopoh-gopoh menghampiri tuannya.
“Buang buah ini ke tong sampah. Ingat buang! Jangan biarkan siapa pun memakan buah ini. Lalu, siapkan disinfektan untuk membersihkan sofa ini. Aku benci pada kuman-kuman yang mereka bawa masuk ke dalam rumah ini," perintah Raja.
“Baik, Tuan.” Setelah berkata demikian, Raja segera bangkit dan pergi dari tempat itu. Leon segera memanggil anak buahnya. Memberi perintah yang serupa dengan apa yang raja perintahkan. Juga memperingatkan para anak buahnya agar tidak memakan buah yang akan dibuang itu.
“Semprot ruangan ini, tanpa terkecuali. Harus bersih, jangan sampai membuat Tuan marah. Ah ya, buang buah ini. Semua! Jangan berani ada yang menyentuhnya. Kalian paham?’ tanya Leon.
“Paham Tuan.” Mereka bersepuluh segera melakukan tugas yang Leon berikan. Sementara itu, Leon berdiri di tepi, mengawasi pekerjaan mereka,
***
"Untung saja, Mama tidak jadi bawa karangan bunga," ucap Kate kesal.
"Kalau kita bawa. Akan kelihatan sekali kalau kita menginginkan kematiannya."
"Tapi, mulutnya itu benar-benar pedas, Pa. Dia secara langsung berani menuduh kita."
“Sialan berani-beraninya dia!” George menendang bebatuan yang ada di hadapannya karena kesal.
“Aku jadi semakin tidak sabar untuk melenyapkan tikus kecil itu, Pa. Lihat saja dia begitu angkuh karena harta orang tuanya,” ucap Kate.
“Lihat saja, Ma. Papa tidak akan menyerah begitu saja. Papa akan membuat bocah kurang ajar itu menangis darah seperti kedua orang tuanya dan papa akan merebut kembali harta milik orang tua papa dari tangannya. Karena Papa yang lebih berhak memilikinya,” ucap George seraya mengepalkan kedua tangannya karena marah.
“Bagus, Pa. Mama akan dukung Papa sepenuhnya. Ah ya, coba Papa hubungi orang-orang suruhan Papa. Bagaimana bisa mereka menerima uang itu sementara pekerjaan mereka sama sekali tidak beres. Bocah itu bahkan tidak terluka sama sekali,” ucap Kate dengan kesal.
“Mama benar.” George meraih ponsel dari aku celana lalu menelepon anak buahnya.
“Bagaimana pekerjaan kalian?” tanya George
Pekerjaan kami bukannya sudah selesai sejak tiga hari yang lalu, Bos? Kami sudah mengirimkan fotonya pada Anda, sahut seseorang di seberang sana.
“Tapi kenyataannya dia baik-baik saja. Bahkan luka tergores pun tidak,” ucap George penuh kemarahan.
Mustahil, Bos. Kami sendiri yang memastikan kalau dia terluka parah.
"Buktinya dia baik-baik saja di rumah itu. Masih menguasai semua kekayaan kami dengan begitu bangga," ucap George.
Maafkan kami kalau begitu, Bos. Tapi kami berani bersumpah jika dia memang tidak baik-baik saja waktu itu. Kami akan bertanggung jawab, Kami akan berusaha untuk memburunya lagi.
"Jangan sekarang! Saat ini dia tentu akan sangat waspada setelah apa yang terjadi. Kita tunggu sampai keadaan mereda dan ia lengah. Baru setelah itu kita mulai pergerakan," perintah George.
Baiklah.
George segera mematikan panggilan telepon. Ia sangat kesal karena usahanya yang kesekian kalinya harus gagal lagi.
***
"Sayang sekali jika buah sebagus ini harus dibuang," ucap salah seorang pengawal yang bertugas membuang buah dari George.
"Kalau aku makan pun tidak akan ada yang tahu, kan?" Pria itu celingukan melihat ke sana kemari.
"Aman!" Dia segera mencari tempat yang aman di dekat gudang belakang. Lalu dengan rakusnya memakan semua buah itu.
"Aakk ... akkk ...." Leher pria itu terasa dicekik, ia mulai kesulitan bernapas. Dalam hitungan detik, tubuh pria itu ambruk ke tanah. Mata pria itu melotot, tubuhnya kejang-kejang. Dari mulutnya keluar busa. Beberapa detik kemudian, matanya tertutup dan napas telah meninggalkan tubuhnya.