“Lapor, Tuan. Ris ditemukan meninggal di dekat gudang belakang.” Seorang pengawal datang untuk melapor kepada Leon.
Leon tampak terkejut. Seketika pria berusia dua puluh sembilan tahun itu memasang sikap waspada. Ia mengira jika musuh mereka telah datang. “Apakah ada penyerang?”
“Bu-bukan, Tuan. Tak ada sesiapa pun yang datang. Sepertinya Ris meninggal karena keracunan. Bukti yang menguatkannya adalah keranjang berisi buah-buahan yang Tuan Leon suruh buang itu ada di dekatnya,” ucap pengawal itu menjelaskan dengan tubuh gemetar..
Leon mengembuskan napas kasar. Dengan jemarinya yang biasa menarik pelatuk pistol ia memijit pangkal hidungnya. “Kalian sdudah berapa lama bekerja padaku?”
“Su-sudah lama sekali, Tuan. Lebih dari delapan tahun. Paling muda pun paling tidak lima tahun,” jawab pengawal itu lagi.
“Okay. Lima tahun, apakah lima tahun adalah waktu yang sebentar?’ tanya Leon lagi.
Pria itu menggeleng cepat. “Tidak, Tuan. Kami sudah lama bekerja pada Anda, tuan.”
“Kalau begitu, kenapa Kalian masih juga mengabaikan peerintahku. Kalian bertingkah seolah kalian adalah anak baru yang masih gegabah. Kalian sudah punya banyak sekali pengalaman loh. Kalau aku suruh buang ya buang. Kalau aku suruh jangan makan ya jangan makan. Ini tidak! Kalian meremehkan aku, mengabaikan ucapanku. Lalu sekarang apa yang terjadi? Ris telah kehilangan nyawa karena ceroboh. Lalu siapa yang bisa disalahkan? Kalian ini seperti tidak pernah makan enak saja. Hanya buah seperti itu saja membuat Kalian begitu rakus dan mengorbankan nyawa,” ucap Leon.
“Maafkan saya, Tuan.” Pengawal itu menundukkan kepala ketakutan. Meski ini bukan pertama kalinya ia melihat Leon marah, tetap saja cara marah Leon sungguh menakutkan bagi mereka. Leon memang sangat jarang marah, akan tetapi jika ia sudah marah maka apa pun yang ada di hadapannya akan hancur.
“Ya, sudah. Bereskan. Berikan kompensasi yang pantas untuk keluarganya,” perintah Leon.
“Ada apa, ini?” Kedatangan Raja yang tiba-tiba membuat Leon dan yang lainnya cukup terkejut.
“Kenapa Kalian diam saja? Apa Kalian tuli? Atau kalian sengaja mengabaikanku?” tanya Raja penuh emosi.
“Bukan begitu, Tuan. Begini ... Eza baru saja melaporkan bahwa Ris telah meninggal gara-gara keracunan.”
“Keracunan? Bisa ada orang keracunan di tempat yang dijaga ketat ini?” tanya Raja dengan nada meninggi. Pria itu kesal saat kediamannya tidak aman meski telah mendapatkan pengamanan yang sangat ketat.
“Bukan begitu, Tuan. Ternyata Ris memakan buah yang Tuan Leon suruh buang dan akhirnya ia keracunan,” jawab pengawal itu.
“Astaga!" Raja tampak terkejut, karena seharusnya dirinyalah yang menjadi sasarannya. "Baiklah, kebumikan dengan baik. Jangan lupa beri kompenssasi besar pada keluarganya,” ucap Raja.
“Ternyata keputusan Tuan untuk mmbuang buah-buahan itu sudah tepat," ucap Leon dengan bangga.
“Kamu lihat sendiri betapa bernafsunya mereka ingin segera melenyapkanku. Mereka bahkan berani melakukannya secara terang-terangan,” ucap Raja. “Tapi tidak heran melihat bagaimana gigih mereka berusaha mencelakaiku selama ini.
“Tuan, sepertinya ada satu jalan yang bisa membuat Tuan lebih aman,” ucap Leon memberi saran.
“Apa itu?” Raja sendiri sudah kehabisan akal bagaimana cara menghadapi para manusia jahat itu. Ia jadi penasaran saat Leon berkata mempunyai cara agar dirinya lebih aman. “Jangan bilang aku harus pergi ke luar negeri. Aku tidak akan pernah melakukannya karena aku tetap mau dekat dengan Mama dan Papa.”
“Bukan itu, Tuan. Maksud saya ....” Leon ragu-ragu untuk mengatakannya.
“Kenapa Leon? Katakan saja!" Raja jadi penasaran saat Leon tak mau mengatakannya.
“Alangkah lebih baik kalau Tuan menikah. Jadi ada wanita yang akan menjaga Anda, setidaknya ....” Leon menggantung ucapannya saat menyadari perubahan air muka Raja. Leon tahu, majikannya itu tidak suka jika ia membicarakan soal pernikahan.
“Cukup Leon! Menurutmu itu ide yang bagus? Iya? Kalau menurutku itu hanyalah ide yang sangat konyol. Dengan menikah para musuh semakin mudah menemukan kelemahanku. Belum lagi, jika hadir anak kecil di rumah ini. Entah berapa orang lagi yang akan merepotkan aku karena harus menjaga mereka,” ucap Raja.
“Tapi Tuan ... tidak mungkin Anda terus hidup melajang,” Ucap Leon.
“Aku tahu. Masalah itu bisa aku pikirkan belakangan. Saat ini aku harus fokus mengusut masalah ini. Karena mereka tak segan lagi, maka aku juga tidak akan segan pada mereka. Aku akan jebloskan mereka semua ke penjara.” Raja mengepalkan tangan karena marah.
“Ah ya, Leon. Sekarang juga batasi akses keuangan mereka. Setiap orang terbatas sepuluh juta per bulan,” ucap Raja. "Ambil juga semua mobil mewah yang aku berikan pada mereka. Tukar dengan mobil yang biasa saja, biar mereka tahu rasa apa yang namanya kejam itu.”
“Baik, Tuan.” Leon segera undur diri dan melakukan apa yang Raja perintahkan.
“Paman, Bibi. Jangan salahkan aku kalau aku melakukan semua ini. Salahkan saja diri kalian yang telah berani mengusikku. Lagipula, mungkin situasi akan sedikit mereda jika aku menghentikan dana untuk kalian. Karena kalian tidak akan mungkin bisa berbuat apa- apa tanpa uang.
Sepuluh tahun yang lalu.
Seorang pemuda tampan menangis tersedu-sedu di depan makam kedua orang tuanya. Beberapa jam yang lalu, kecelakaan tunggal yang diakibatkan kerusakan rem telah membuat kedua orang tuanya tiada. Raja hampir tak bisa percaya mengingat bagaimana telitinya sang ayah dalam mengurus segala sesuatunya,
Raja yang baru berusia delapan belas tahun berharap bahwa semua yang ia alami saat ini hanyalah mimpi, yang akan menghilang saat ia membuka mata nanti. Namun, berapa kali pun ia berharap apa yang menimpanya adalah sebuah kenyataan. Kenyataan pahit bahwaa sekarang dirinya adalah seorang yatim piatu. Kedua orang tuanya telah tiada dan ia tidak memiliki saudara karena ia adalah anak tunggal.
Pemuda itu merasa belum siap kehilangan segalanya. Mengingat bagaimana limpahan kasih sayang dicurahkan untuk dirinya. Mengingat bagaimana kedua orang tuanya memanjakannya dengan kasih sayang.
“Mama! Papa ....” tangisnya pecah lagi. Suaranya serak karena terlalu lama menangis, matanya bengkak karena air mata terus saja mengalir.
“Huhuhu ... Kakak! Kakak!” Tiba-tiba saja dua orang wanita muda dan dua orang pria yang seumuran dengan ayah Raja datang dan menangis di makam kedua orang tuanya. Raja sangat kebingungan tentang siapa mereka. Pemuda itu baru pertama kali ini melihat mereka berempat.
”Ka-kalian siapa?” tangis Raja terhenti seketika saat ia merasa pelik melihat orang asing yang menangis di pusara sang mama dan papa.
“Ka-kamu pasti Raja, ya?” tangan lembut wanita itu menangkup pipi Raja, mengusapnya dengan lembut. "Ini Bibi Kate, Nak. Saudara Papa Kamu, ini Paman George, Paman Kamu.”
“Aku Anna, Sayang. Bibi Kamu juga. Ini Paman Billy, paman Kamu juga,” ucap wanita yang satunya lagi memotong pembicaraan.
“Anna! Hentikan! Aku sedang bicara dengan keponakanku,” ucap Kate tersinggung.
“Menurutmu aku bukan Bibinya? Aku adalah istri Billy, Billy adalah paman Raja juga jadi aku adalah bibinya.”
Kedua wanita itu lantas terus bertengkar memperebutkan siapa yang akan menjadi bibi Raja.
“Cukup! Raja tidak mengenal siapa kalian. Jangan bertengkar di depan makam mama dan Papa. Pergi kalian!" Pemuda itu bangkit dan pergi begitu saja dari makam karena marah.