Wanita cantik yang memiliki tujuh gadis cantik itu tersenyum teduh saat menerima semua pelayanan dari putri-putrinya. Saat ini ia ada di kamarnya, menerima semua bukti bakti dari anak-anak yang telah ia lahirkan. Ada yang sedang memijat pundaknya, ada yang sedang mencuci kakinya, ada pula yang sedang menyuapinya dengan makanan. Gaia jadi merasa lebih beruntung jika dibandingkan dengan ratu Selena. Jika Ratu Selena dilayani oleh para dayang, ia dilayani oleh putri-putrinya yang cantik jelita.
"Cukup! Kalian akan kelelahan jika terus memanjakan ibu seperti ini," ucap Gaia setelah meminum teh yang Alora berikan.
"Tidak akan, Bunda. Kami justru sangat menyukainya. Kami beruntung bisa melayani Bunda seperti ini," jawab Apsara.
"Ya ampun, ibu merasa sangat beruntung memiliki kalian." Gaia benar-benar terharu. Sementara mereka berenam merasa bangga karena dipuji oleh sang ibu. Tanpa Aurora, memang dunia ibunya hanya milik mereka.
"Ya ampun, pantas saja ibu merasa ada yang kurang. Rora, mana Aurora?" tanya Gaia. Wanita itu baru sadar kalau putri kesayangannya belum tampak sejak kedatangannya di rumah itu tadi.
"Ck! Ibu seperti tidak tahu saja. Dia tentu saja masih tidur nyaman di ranjangnya. Apalagi udara sedingin ini, pasti dia sedang bermalas-malasan," jawab Amayra dengan nada sinis. Gadis itu kesal saat ibunya kembali peduli pada Aurora. Mereka yakin, setelah ini kasih sayang Gaia hanya akan berpusat pada adik bungsu mereka.
"Benarkah seperti itu? Tapi Ibu yakin, kalau Rora anak yang rajin. Eum, sepertinya ibu harus melihatnya. Ibu khawatir jika sesuatu terjadi padanya. Tak biasanya dia masih tidur di waktu seperti ini." Gaia menurunkan kakinya dari bekas yang berisi air mawar untuk merendam kakinya.
"Tapi Bunda, nanti dulu. Biar kami saja yang melihat dia. Bunda nikmati saja pelayanan dari kami," ucap Althea mencoba menghentikan langkah ibunya.
"Ini sudah cukup, Nak. Ibu sudah tak merasa penat lagi." Usaha Althea sia-sia, mereka tidak dapat menghentikan ibunya. Mereka berenam hanya mampu memandangi kepergian ibunya dengan kesal.
"Aurora lagi!" geram Amayra berkata seraya mengeratkan kedua baris giginya.
"Benar-benar menyebalkan! Lihatlah, kasih sayang ibu kembali padanya setelah apa yang kita lakukan. Sepertinya, hanya ada satu cara agar masih sayang bunda hanya tertuju pada kita. Yaitu saat Aurora benar-benar lenyap dari dunia ini," ucap Althea penuh kebencian.
"Kamu benar, Thea!" ucap Amayra.
"Kak Thea benar, dia memang sangat menyebalkan. Alangkah senangnya jika ia menghilang dari dunia ini," ucap Agni membenarkan. Lantas saudara Amayra yang lainnya juga mendukung ucapan kakak-kakaknya.
***
Gaia tersenyum lega saat melihat anak gadisnya terlelap di atas ranjang yang nyaman. Sepertinya putri bungsu yang selalu ia khawatirkan itu baik-baik saja. Setelah mendekat, Gaia tidak dapat menahan tawanya saat melihat wajah sang putri bungsu kotor seperti terkena sesuatu.
"Astaga! Dia benar-benar seperti bayi yang murni." Wanita itu duduk di tepian ranjang, tangan kanannya terulur mengusap pipi gadis itu dengan penuh kasih sayang.
"Apa saja yang Kamu lakukan hingga Kamu tidur dengan wajah sekotor ini," ucap Gaia merasa geli. Tangan wanita itu masih setia mengusap pipi cabi putrinya. Usapan lembut sang ibu itu membuat Aurora kembali ke alam nyatanya. Perlahan, bulu mata Aurora bergetar diikuti membukanya kelopak mata gadis itu.
"Astaga!" Aurora sangat terkejut saat melihat sang ibu duduk di dekatnya begitu ia membuka mata.
"Ma-afkan Rora, Bunda. Rora tertidur sampai tidak menyadari kehadiran Bunda," ucap gadis itu segera duduk dan menunduk karena malu. Ternyata ia benar-benar ketiduran saat Amayra menyuruhnya tidur di kamar setelah ia kembali dari gudang.
"Tidak apa-apa, Sayang," jawab wanita itu dengan suara yang begitu lembut.
"Bunda, apakah Bunda perlu sesuatu? Ataukah Bunda mau Rora buatkan secangkir teh?" tanya gadis itu.
"Tidak perlu, Sayang. Bunda hanya mau lihat Kamu. Bunda rindu, itu saja," jawab Gaia. "Ya ampun, Kamu dari mana saja, Nak? Kenapa Kamu jadi kotor dan dekil seperti ini?"
"Hehehe, tadi malam Rora bermain dengan Kakak sampai wajah Rora jadi seperti ini. Maafkan Rora, Bunda," bohong gadis itu.
"Wah, pasti sangat menyenangkan, ya? Bunda senang sekali melihat kalian rukun dan saling menyayangi seperti ini," ucap Gaia.
"I-iya, Bunda. Tentu saja sangat menyenangkan," ucap Aurora sedikit gugup.
"Hmm, tapi anak Bunda ini kan sudah jadi seorang gadis, harusnya Kamu lebih menjaga diri, Sayang. Rawat dan jaga agar jangan sampai Kamu terlihat dekil seperti ini. Kalau penampilanmu seperti ini, bisa-bisa para pria yang ingin mengenalmu akan lari," gurau Gaia.
"Ah, Bunda. Mana ada pria yang semacam itu." Tiba-tiba saja, wajah Aurora memerah saat ia ingat pada Kai yang selalu hadir dan mengganggu akhir-akhir ini.
"Tapi, matamu tidak berkata demikian. Apakah benar telah ada seorang pria di hatimu?" tanya Gaia.
"Tidak, Bunda. Mana mungkin ada hal yang seperti itu. Aurora hanya tahu anak tetangga dan saudara kita. Mana mungkin ada hal seperti yang Bunda katakan," sangkal Aurora malu-malu.
"Tapi sepertinya ada. Hmm, tak apa Bunda akan setia menunggu sampai Kamu bercerita nanti," ucap Gaia seraya tersenyum.
"Ah, Bunda ...." Aurora semakin malu karena sang ibu seolah dapat menebak isi hatinya.
Gaia tertawa melihat Aurora tersipu. Wajah memerah anak gadisnya terlihat begitu menggemaskan.
"Oh ya, Ayah dan Bunda bawa kabar baik dari istana," ucap Gaia dengan wajah berseri.
"Apa, Bunda? Apakah Ayahanda mendapatkan hadiah dari raja? Ataukah ayahanda mendapatkan penghargaan?" tanya Aurora.
"Lebih dari itu, Nak. Ini kabar bahagia yang sudah ayah dan bunda tunggu-tunggu." Ucapan Gaia membuat Aurora semakin penasaran.
"Apa itu Bunda? Ayo katakan jangan buat Rora mati karena penasaran," pinta gadis itu.
"Jangan tanyakan hal itu, tak adil jika Bunda merahasiakan dari kakak-kakakmu tapi malah memberitahumu," ucap wanita itu.
"Baiklah ... Rora akan menunggu sampai ibu mengatakan kepada kami semua," ucap Aurora.
"Kalau begitu, ayo lekas mandi. Setelah itu kita makan bersama-sama," perintah Gaia.
"Rora cuci muka saja ya, Bunda. Udara sangat dingin," tolak gadis itu.
"Hm, mana boleh anak gadis malas-malasan seperti itu. Mandi agar tubuhmu segar," perintah Gaia lagi.
"Aaa, Bunda. Udara benar-benar dingin. Nanti saja, Rora mandi di sungai," ucap gadis itu.
"Tidak! Harus mandi! Para saudaramu sudah rapi semua. Tidak mungkin Kamu berpenampilan seperti ini. Lagipula ada air hangat kok. Eum, bagaimana kalau kita mandi bersama? Atau mungkin kita bisa berendam sebentar," tawar Gaia.
"Benarkah kita mandi bersama? Wah, sepertinya sangat menyenangkan." Mendengar ucapan ibunya, Aurora menjadi sangat bersemangat.
"Tunggu sebentar, Bunda. Rora akan mengambil baju ganti. Lalu kita mandi bersama," ucap Aurora dengan wajah berseri.
Gaia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan sang anak gadis yang sangat manja. Wanita itu jadi tak rela jika suatu hari nanti Aurora menikah dan pergi darinya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya tanpa putri bungsunya tersebut.