Kedua wanita itu bergandengan tangan menuju ke tempat pemandian. Mereka begitu akrab hingga menimbulkan rasa iri bagi siapa saja yang melihatnya. Termasuk keenam putri Gaia yang lainnya. Mereka kesal melihat Gaia datang bersama Aurora sambil bercanda dan tertawa. Mereka sudah mengatakan hal-hal buruk tentang adiknya kepada sang ibu, berharap agar wanita yang melahirkan mereka akan memarahi gadis itu. Namun, kenyataannya tidak seperti yang mereka harapkan. Justru Gaia dan Aurora semakin terlihat dekat.
"Menyebalkan sekali gadis itu. Pasti dia sekarang besar kepala karena mendapatkan kasih sayang Bunda," ucap Amayra penuh emosi.
"Sabar, Kak. Kita harus menunjukan sikap baik kita. Jangan sampai terbawa emosi dan kita ketahuan telah menyakitinya. Lihat saja nanti, setiap ada kesempatan kita akan mengerjai dia. Kita buat hidupnya terasa sangat menderita," ucap Althea dengan seringaiannya yang menyeramkan.
"Huft, baiklah Thea. Aku akan menuruti ucapanmu yang memang benar adanya. Aku harus melupakan kebencianku pada dia saat ayahanda dan ibunda ada," ucap Amayra. Para putri pun segera menutup bibir rapat-rapat, berhenti membicarakan sang adik karena Gaia dan Aurora semakin mendekat.
"Amayra, apakah air untuk ibu mandi sudah siap?" tanya Gaia setelah berhadapan dengan anak-anaknya.
"Tentu saja sudah, Bunda. Bunda bisa mandi sekarang," ucap gadis itu dengan senyuman yang dipaksakan.
"Bagus, terima kasih. Kamu memang bisa diandalkan," puji Gaia. "Rora, ayo kita mandi."
"Sebentar, Bunda. Maksud Bunda?" Amayra bingung kenapa sang ibu justru mengajak si bungsu.
"Iya, Bunda mau mandi bersama Aurora. Lihatlah, wajahnya yang kusam ini. Sepertinya Ibu harus merawatnya agar jadi lebih cantik," ucap Gaia.
"I-iya, Bunda," jawab Amayra dengan wajah merah padam. Ia sangat kesal. Ia lelah menyiapkan air hangat berikut dengan bunga tujuh rupa untuk ibunya. Namun, pada kenyataannya yang akan menikmatinya justru si bungsu yang menyebalkan.
"Ya sudah, Kami mau mandi dulu," pamit wanita itu.
Gaia merangkul pundak sang putri bungsu dan mengajaknya masuk ke area pemandian meninggalkan anak-anaknya yang semakin merasakan kebencian. Sementara itu, hati Aurora menjadi gelisah saat mendapatkan tatapan kebencian dari sang kakak. Ia tahu, mereka tidak suka melihat kedekatannya dengan sang ibu.
***
Kedua wanita itu sedang berendam di dalam air mawar yang begitu hangat. Sang ibu tengah mengusap rambut putrinya dengan ramuan yang begitu harum. Mengoleskan ke seluruh bagian rambut panjang sang putri dengan penuh kasih sayang.
"Rasakan dengan jemarimu. Rambutmu jadi sangat lembut setelah memakai ramuan dari kerajaan ini," ucap Gaia seraya mengusap rambut sang putri dengan ramuan hingga menghasilkan begitu banyak busa.
"Iya, Bunda benar," ucap Aurora terlihat senang. Ia merasa sangat nyaman saat aroma wangi dari ramuan itu tercium di mana-mana. Ia juga merasa tenang saat pijatan demi pijatan tangan sang ibu begitu memanjakan kepalanya.
"Jangan katakan kalau selama ini Kamu malas memakainya," ucap wanita itu dengan wajah yang tak suka.
"Hehe, ibu selalu tahu tanpa Aurora mengatakannya," bohong gadis itu yang diiringi dengan tawa hambar. Padahal, kenyataannya memang tidak diizinkan untuk memakai barang-barang tersebut.
"Hm, inilah akibat kalau Kamu suka mandi di sungai," ucap Gaia.
"Memangnya kenapa, Bunda?" Gadis itu mendongak dengan kepala yang masih dipenuhi oleh busa.
"Mandi di sana mana bisa bersih, Nak."
"Bisa kok, Bunda. Air sungai mengalir begitu jernih. Di sekitar sungai tumbuh bermacam tanaman yang bisa Rora gunakan untuk membersihkan diri," ucap gadis itu.
"Hm, iya lah. Bunda selalu kalah jika bicara denganmu. Tapi tetap saja, gunakan ramuan yang ibu bawa dari kerajaan untuk merawat diri kalian. Lebih praktis dan tidak menyusahkan. Baunya juga sangat harum, kan?"
"Iya, Bunda. Akan Rora lakukan," ucap Aurora seraya tersenyum manis. Padahal dalam hati, gadis itu ingin menangis. Selama ini, para saudarinya tidak pernah mengizinkan ia memakai ramuan apa pun yang ibunya berikan. Jika sampai tercium bau wangi barang seikit saja, mereka akan memberikan hukuman berat pada gadis itu.
"Hm, dasar gadis licik! Jangan memperdaya Bunda dengan senyumanmu itu," ucap Gaia seraya tertawa.
"Kapan Rora melakukannya?"
"Tadi, Kamu tersenyum ...."
"Tidak, Bunda!" elak gadis itu.
"Tadi Kamu sengaja tersenyum karena tahu Bunda mudah luluh karenanya," ucap Gaia.
"Tidak, Bunda. Rora tidak melakukannya. Lalu, apa salahnya jika Rora tersenyum?"
"Dasar gadis licik!"
Pyuk! Gaia menyipratkan air pada sang putri. Membuat gadis itu terkejut.
"Apa yang Bunda lakukan?" tanya gadis itu.
"Tentu saja sedang memberimu pelajaran. Memangnya apa lagi?" Gaia kembali menghujani putrinya dengan air.
"Kyaa! Bunda!" Tak terima, Aurora lantas membalas perbuatan sang ibu.
Perdebatan kedua wanita itu juga masih terus berlanjut. Begitu juga dengan perang air. Mereka berdua saling membalas seraya bercanda dan tertawa. Sementara itu di luar ruangan itu, enam orang tampak menguping dengan kesal. Mereka benci melihat kemesraan sang ibu dan adik bungsu mereka. Kemesraan yang sama sekali tidak pernah mereka dapatkan lagi.
***
"Cantik sekali anak ayah," puji Athura saat Gaia datang bersama Aurora dengan diikuti keenam putri yang lainnya. Mereka berdelapan menghampiri Athura yang telah menunggu di meja makan.
"Tentu saja, Kanda. Kan Dinda yang mendandaninya," ucap Gaia dengan bangga.
"Hm, benarkah seperti itu?" Athura tersenyum mendengar ucapan sang istri.
"Tentu saja."
"Anak-anak ayah yang lainnya juga tak kalah cantik. Ayah bangga pada kalian semua," ucap pria itu saat menyadari wajah tak suka putri-putrinya yang lain saat ia memuji si bungsu.
"Kalian duduklah! Mari kita segera makan," ajak Athura.
Mereka semua segera mengambil tempat masing-masing dan acara makan pagi yang terlambat itu segera dimulai. Mereka makan dengan tenang, baru setelah makanan habis, Athura mulai buka suara.
"Ayah membawa kabar baik untuk kalian," ucap Athura dengan senyuman lebar.
"Apa itu, Ayahanda?" tanya Althea.
"Katakan, Ayahanda. Jangan membuat kami penasaran," desak Agni pula.
"Amayra harap Ayahanda jangan membuat Kami tersiksa karena penasaran," ucap gadis itu dengan sopan, berbeda dari gadis yang lainnya.
"Baiklah, ayahanda akan mengatakannya. Kabar baiknya adalah ... Pangeran Kairos ingin menikahi Amayra," ungkap Athura.
"Apa? Pangeran Kairos memilihku?" tanya Amayra dengan d**a yang berdegup kencang. Senyum di bibirnya tidak dapat ia sembunyikan. Ia sangat bahagia. Apa yang ia impikan selama ini akhirnya menjadi kenyataan. Menjadi puteri mahkota adalah mimpi besarnya.
Tak tergambarkan rasa di dalam hati gadis itu saat mendengar kabar dari
bibir sang ayah.
"Iya, Nak. Benar. Ayahanda dan ibunda datang ke istana untuk membicarakan tentang pemilihan putri mahkota. Namun, di luar dugaan mereka malah menawarkan pernikahan padamu tanpa seleksi dan hanya akan mengadakan pemilihan selir di kemudian hari."