Aurora membuka matanya perlahan, saat merasakan cahaya yang Surya yang melewati celah dinding menyapa wajahnya. Gadis itu menggeliat kecil dan merenggangkan tubuhnya, menarik otot-otot di tubuhnya yang terasa sedikit kaku karena ia tidur dengan posisi duduk.
Tiba-tiba saja, ingatannya kembali pada peristiwa tadi malam. Kejadian yang gadis itu anggap hanyalah sebuah mimpi dan tidak nyata. Wajah Aurora memerah karena di dalam mimpinya dia begitu berani. Ia tanpa ragu menyentuh wajah pria itu, bahkan ia tanpa malu memeluknya. Bahkan, rasa hangat pria itu begitu nyata. Ia merasa pria itu memeluknya erat-erat. Masih teringat di kepala Aurora, sikap pria itu begitu hangat.
"Astaga! Apa yang sebenarnya aku pikirkan? Kenapa dia jadi muncul di dalam mimpiku?" gumam gadis itu seraya mengetuk keningnya dengan kepalan tangan. "Tapi kenapa, rasanya begitu nyata? Bahkan aku seperti masih merasakan bau Kai yang ada di mana-mana."
"Rora! Aku mohon! Sadarlah! Tidak mungkin pria itu datang dan memelukmu! Lagipula, dia mau masuk mana jika pintu pun tertutup rapat." Ia mengusap kasar wajahnya, merasa telah gila karena terus saja memikirkan Kai.
"Lebih baik aku berhenti memikirkannya. Pikirkan saja Kak Amayra yang sebentar lagi datang membukakan pintu untukku dan aku bisa segera bebas dari tempat yang pengap ini," ucap gadis itu penuh harap.
Aurora berharap para saudaranya tidak akan lupa membuka pintu untuknya.
***
Keenam putri sudah berpakaian rapi dan bersih menyambut kepulangan orang tua mereka. Dari para warga, mereka mendengar bawa arak-arakkan ayah dan ibu telah sampai di ujung desa. Jadi, mereka berlomba untuk mempercantik diri dan menunjukkan kelebihan masing-masing. Mereka akan menunjukkan segala kebaikan yang mereka miliki di depan kedua orang tuanya.
Mereka dengan cekatan mengembalikan keadaan rumah seperti semula, seperti saat sebelum orang tuanya pergi. Semuanya segera bersikap seperti biasa seolah tidak ada apa pun yang terjadi. Selalu begitu, keenam putri Athura pintar mengambil hati ayah dan ibunya. Mereka dengan mudah mengubah diri seperti seekor bunglon.
"Bibi! Bereskan cepat! Jangan ada sedikit pun yang janggal atau membuat ayahanda dan bunda curiga," perintah Althea.
"Baik, Nona," jawab pelayan dengan patuh.
"Alodia!" panggil Amayra kemudian.
"Iya, Kakak sulung!" jawab gadis itu berlari seraya mengikat rambutnya.
"Dia, bukakan pintu untuk Aurora! Suruh Aurora kembali ke kamarnya dan tidur," perintah Amayra.
"Tapi ... tidak bisakah Kakak menyuruh kak Lora, Dia sedang ...."
"Kamu mau melawan?" tanya Amayra emosi.
"Tidak Kak!" Alodia mengerucutkan bibirnya, ia sangat kesal karena ia selalu saja disuruh jika Aurora tidak ada. Alodia, atau yang sering dipanggil Dia itu merasa nasibnya kurang beruntung karena menjadi anak ke-enam.
Meskipun dengan menggerutu, Alodia mau tak mau harus pergi ke tempat kumuh itu untuk memanggil Aurora. Karena sebentar lagi, orang tua mereka pulang. Jika mereka ketahuan mengurung Aurora di gudang belakang rumah, bisa habis riwayat mereka dan para gadis itu tidak mau hal itu terjadi.
"Ck! Aku mau jadi Kak Althea saja. Tidak pernah disuruh-suruh oleh kakak sulung. Dia juga sangat tegas dan pemberani," keluh Alodia seraya berjalan ke luar rumah. Sesampainya di depan gudang, Alodia segera membukakan pintu.
"Kakak! Akhirnya Kakak datang!" Wajah Aurora tampak berseri saat Alodia membukakan pintu untuknya. Tak ada sedikit pun kesan sedih atau ketakutan di wajah gadis itu, membuat kening Alodia berkerut keheranan. Bagaimana bisa Aurora terlihat biasa bahkan terlihat segar setelah terkurung di tempat dingin itu semalaman.
"Kembali ke rumah! Kak Amayra memintamu pulang dan kembali ke kamar. Jangan mandi sebelum Kak Amayra mengizinkan," ucap Alodia memeringati. Sikap gadis itu begitu angkuh, memandang jijik ke arah adiknya dengan tangan tersilang di depan d**a.
"Tapi, Kak. Badan Rora kotor. Bagaimana mungkin Aurora kembali ke kamar dengan tubuh seperti ini?" tanya gadis itu.
"Terserah Kamu! Aku hanya menyampaikan pesan dari Kak Amayra. Kalau Kamu berani membantah, itu artinya Kamu siap mendapatkan hukuman dari kami lagi," ucap gadis itu penuh ancaman.
Aurora bergidik ngeri membayangkan hukuman demi hukuman yang akan ia terima. Jika hukuman yang dimaksud seperti semalam, mungkin ia tidak akan sanggup lagi untuk menjalaninya. Akhirnya, gadis itu memilih untuk patuh dan tidak menyulut kemarahan sang kakak lagi.
"Baiklah, Kak. Rora akan melakukannya. Rora akan kembali ke kamar dan hanya akan mandi setelah Kak Amayra mengizinkan," ucap Aurora mengiyakan.
"Bagus, pintar. Pilihan yang tepat daripada Kamu terus menderita," ucap Alodia seraya tersenyum mengejek. "Lagipula, tampang seperti ini kelihatannya lebih cocok untukmu. Ah ya, ingat satu lagi. Seperti biasanya, jangan berani mengadu atau berbicara yang macam-macam pada ayahanda dan ibunda, atau Kamu akan mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada ini."
Aurora mengangguk cepat. Ia tidak ingin mencari gara-gara lagi. Sementara itu, Alodia segera membalikkan tubuhnya dan kembali ke rumah. Meninggalkan Aurora yang termenung di sana.
***
"Bunda!" Amayra menghambur memeluk sang ibu yang baru datang.
"Sayang, sulungku yang paling dewasa. Bagaimana putri ibu ini masih sangat manja dan kekanakan?" tanya Gaia seraya mengusap wajah putrinya.
"Amayra memang harus bersikap dewasa di depan adik-adik. Tapi, Amayra adalah Amayra yang sama seperti dulu. Amayra, putri kecil Ibunda yang sangat manja," jawab Amayra bijak.
"Iya, Sayang." Gaia mencium pipi putrinya pertanda sayang.
"Bunda ... Agni mau juga!"
"Sara juga mau!"
Semua putri Gaia merengek minta dicium dan dipeluk. Meski lelah setelah perjalanannya dari istana, Gaia tetap memberikan kasih sayang pada satu per satu putrinya. Alhasil wanita itu kewalahan menghadapi mereka. Bahkan wanita itu sampai tidak sadar kalau si bungsu tidak ada di antara mereka.
"Alora! Hentikan!" Athura memeringati putrinya saat melihat istrinya kewalahan menghadapi sikap manja sang anak. "Ibu lelah. Biarkan Ibu masuk ke dalam rumah. Sebagai putri harusnya kalian berusaha membuat ibu kalian nyaman. Kalian bisa membuatkan minuman untuknya atau apa pun itu."
"Baik, Ayahanda!" jawab mereka semua serentak. Mereka berenam bergegas masuk ke dalam rumah, mempersiapkan entah apa.
"Aku bangga pada putri-putri kita, Kanda. Mereka begitu rajin dan pengertian. Sungguh, Gaia merasa seperti tidak membutuhkan apa pun selain mereka," ucap wanita itu dengan senyumannya yang begitu teduh.
"Aku juga sama, Gaia. Meskipun keinginanku untuk memiliki seorang putra tidak pernah terpenuhi. Rasanya cukup saat melihat kebahagiaan dan tawa yang mereka tebarkan di rumah ini," ucap Athura seraya merangkul bahu sang istri.
"Tapi, Kanda ... mengapa Dinda merasa ada sesuatu yang kurang ya? Tapi apa?" Wanita itu berpikir merasa ada sesuatu yang ganjil, tetapi tidak dapat ia temukan keganjilan tersebut di mana.
"Alah, paling itu hanya perasaanmu saja. Karena Kamu terlalu lelah setelah pekerjaan yang kita lakukan di istana," ucap Athura menenangkan istrinya.
"Iya, Kanda. Sepertinya memang begitu ya. Aku terlalu lelah tetapi juga sangat bahagia. Aku tidak sabar untuk mengatakan kabar gembira ini pada anak-anak," ucap Gaia dengan wajah berseri.
"Iya, Dinda. Amayra tentu akan jadi gadis yang paling bahagia di dunia ini," ucap Athura.
"Iya, Kanda. Aku berharap, anak-anak kita akan mendapatkan kebahagiaan yang sama seperti yang Amayra dapatkan," ucap wanita itu dengan penuh harapan.