Gelap, dingin dan sunyi, hanya itu yang bisa Aurora rasakan. Air mata gadis itu sudah berhenti mengalir. Dia di sana memejamkan mata seraya memeluk lututnya. Ia merasa percuma saja menangis atau ketakutan. Semua tidak akan bisa mengubah keadaan. Ia akan tetap terkunci di dalam ruangan pengap dan menyesakkan itu sampai pagi tiba.
"Tidak apa-apa, Rora! Semua akan baik-baik saja. Anggap saja aku sedang memejamkan mata hingga tidak dapat melihat apa-apa. Ini tidak ada bedanya dengan saat kamu tidur. Kamu hanya akan melihat kegelapan di mana-mana. Benar, tidak akan apa-apa. Aku hanya perlu memejamkan mata dan tidur. Esok saat aku membuka mata, semua tampak terang di mana-mana dan Kak Amayra akan datang membukakan pintu untukku," ucap gadis itu menghibur dirinya sendiri.
Meski berkata demikian, hati gadis itu tetap saja sakit saat mendapatkan semua perlakuan buruk mereka yang bukan hanya sekali dua terjadi. Aurora tidak habis pikir, mengapa mereka membedakannya. Mengapa kakak-kakaknya mengucilkan dirinya. Mengapa mereka selalu saja menganiaya dirinya secara lahir maupun batin.
"Kyaa!" Tiba-tiba Aurora berteriak histeris saat merasakan adanya sesuatu yang bergerak merambati tangannya. Aurora jadi takut karenanya. Ia sangat takut kalau-kalau itu adalah serangga berbisa.
"Oh, Tuhan. Lindungi aku. Aku sangat ketakutan. Oh kalian, serangga atau hewan apa pun itu, tolong jangan ganggu Rora. Rora takut. Hiks. Oh malam, lekaslah berganti pagi. Rasanya Rora tidak dapat bernapas di dalam ruangan yang gelap ini." Gadis itu memohon dalam ketakutannya. Tubuhnya bergetar hebat karena rasa takut.
Sambil terisak-isak gadis itu terus saja berdoa, memohon kepada Yang Maha Kuasa. Hingga pada akhirnya, ia kelelahan dan terlelap dalam mimpinya.
***
"Betapa kasihannya dirimu." Pria itu menyibak poni gadis itu dan menyelipkannya di belakang telinga. Lalu, disandarkannya tubuh kecil itu di dadanya yang bidang. Dilingkarkannya kedua tangannya memeluk gadis itu.
Ruangan yang semula sangat gelap itu berubah menjadi terang benderang berkat lilin merah yang pria itu bawa. Entah bagaimana caranya pria itu bisa mengetahui keberadaan Aurora. Entah bagaimana pula ia akhirnya bisa masuk ke dalam sana.
"Inilah alasan yang membuat aku harus segera mengajarkan ilmu bela diri. Meski sekedar ilmu dasar, aku yakin Kamu sangat membutuhkannya. Dan Kamu akan terbantu jika hal-hal genting seperti ini terjadi lagi," ucap Kai seraya menatap wajah sang kekasih hati yang terlelap. Pria itu mengeratkan tangannya semakin erat memeluk Aurora yang tampaknya semakin kedinginan. Kai juga membetulkan jubah miliknya yang ia gunakan untuk menutupi tubuhnya dan Aurora.
"Aku pastikan, Kamu tidak akan menderita lagi saat tinggal di istana nanti. Jika Kamu menjadi ratuku, akan selalu aku pastikan bahwa Kamu selalu bahagia. Aku tidak akan membiarkan air matamu ini mengalir, aku tidak akan membiarkan Kamu kelaparan dan kedinginan seperti ini," ucap pria itu seraya mengecup kening gadis itu dengan lembut.
"Eungghh ...." Tanpa lelaki itu duga, Aurora terbangun gara-gara kecupan bibirnya yang terasa dingin.
"Kamu ... kenapa Kamu ada di mana-mana? Kenapa otakku ini dipenuhi olehmu? Bahkan di saat aku tidur pun Kamu juga hadir," ucap Aurora setengah sadar. Gadis itu secara samar melihat wajah Kai, tetapi rasa kantuk bersamaan datang, membuat otaknya tak sepenuhnya bisa berpikir. Ia mengira keberadaan pria itu tidak nyata, ia mengira pria itu hanya datang dalam mimpi tidurnya.
"Iya, aku kan memang ada di mana-mana. Aku akan selalu ada di tempat, di mana Kamu berada," jawab Kai.
"Benarkah seperti itu? Kamu sungguh misterius. Aku kesulitan untuk mengerti kan dirimu," ucap Aurora seraya meletakkan tangannya di pipi Kai. Gadis itu menyentuh pria yang baginya seperti tidak nyata ada.
"Sudah, jangan pikirkan apa pun. Istirahatlah, jangan takut lagi. Sekarang tidak gelap dan ada aku di sini," hibur pria itu. Kai meraih tangan Aurora yang ada di pipinya, membawanya masuk ke dalam jubahnya yang hangat.
"Hehe, meskipun Kamu sangat menyebalkan, terima kasih sudah hadir dalam mimpiku. Terima kasih sudah menemaniku. Membuat mimpi buruk ini berakhir dan berganti dengan mimpi yang sangat indah. Ruangan yang gelap ini juga menjadi sangat terang. Kamu juga terasa sangat hangat. Aku jadi tidak kedinginan lagi," ucap Aurora lagi setengah mengigau.
"Iya, iya. Sudah, tidurlah," perintah pria itu seraya mencolek hidung Aurora.
"Bolehkah aku memelukmu? Bolehkan aku tidur di dadamu seperti ini? Sungguh, rasanya udara malam ini dingin sekali ...," rengek gadis itu terdengar sangat manja.
"Tentu saja. Bukankah, Kamu sudah melakukannya? Kamu sudah tidur di dadaku, Kamu juga sudah memeluk erat tubuhku. Bahkan, aku mau berbaik hati memeluk tubuhmu yang terasa sangat dingin ini," ucap Kai.
"Hehe, benar juga. Um, kenapa ini rasanya sangat nyaman sekali." Gadis itu mengusap-usapkan wajahnya di d**a Kai. Sesekali menghirup aroma wangi yang tercium dari tubuh pria itu. Seolah gadis itu tengah menggoda Kai. Membuat jantung pria itu berdetak dengan sangat cepat dan kencang.
"Tenanglah, Aurora! Berhentilah bergerak-gerak seperti itu! Atau aku tidak akan segan-segan untuk memakanmu," ancam Kai saat merasa semakin tak nyaman dengan posisi intim mereka.
"Kenapa suara dari dalam sini keras sekali? Adakah sesuatu yang akan meledak dari dalam sana?" Aurora mengabaikan ancaman Kai, malah berkata seperti itu dengan beraninya.
Blush!
Wajah pria itu memerah mendengar ucapan gadis yang setengah mengigau itu. Rasanya memalukan sekali saat gadis itu bisa mendengar detak jantungnya. Ingin sekali, Kai melepas pelukan Aurora dan pergi meninggalkan gadis tersebut untuk menyembunyikan rasa malunya tersebut. Sayang, ia tidak dapat melakukannya karena situasi yang tidak memungkinkan. Apalagi saat ini gadis yang sempat mengoceh panjang lebar itu telah kembali ke alam mimpinya.
"Huft! Beraninya Kamu berbicara seperti itu padaku. Untung saja aku mengasihimu, kalau tidak mungkin lidahmu harus dipotong untuk kekurangajaranmu itu." Pria itu bernapas lega, karena akhirnya gadis itu berhenti mengganggunya. Kai mengecup kepala Aurora yang terlelap tidur, sebagai ungkapan kasih sayangnya. Ia tidak berani mengecup kening atau pipi gadis itu, atau gadis itu akan berbuat ulah dan mempermalukan dirinya lagi.
Dalam hati, Kai berjanji akan memberikan balasan setimpal untuk saudara Aurora suatu hari nanti. Ia akan membalas kekejaman mereka pada gadis yang sangat ia sayangi.
"Tunggu saja, sampai Aurora bergelar puteri mahkota. Di saat waktu itu tiba, aku pastikan kalian tidak akan bisa tertawa lagi. Bahkan tersenyum pun tidak. Aku akan menghukum kalian atas perbuatan jahat kalian. Meskipun kalian adalah saudara Aurora, aku tidak peduli. Meski kalian menangis darah sekali pun, aku tidak akan mengampuni kalian," gumam pria itu penuh kebencian.