BAB 58

1009 Words
Hitam memandang kepergian dua orang itu dengan penuh kebencian. Ingin rasaya hitam mencabik-cabik kedua orang yang tidak memiliki hati tersebut. Orang-orang yang tega menyakiti orang lain hanya demi memuaskan kesenangan pribadi mereka. Entah mengapa, situasi yang ia hadapi saat ini sangat familier untuknya. Hitam merasa seolah pernah merasakan hal yang sama seperti yang pria malang itu alami. Astaga! Benar! Yang paling penting, saat ini aku harus menyelamatkan orang ini. Tapi, apa yang harus aku lakukan dengan tubuhku yang kecil ini. Bahkan untuk melompat keluar dari lubang ini saja, aku tidak yakin akan sanggup, ucap si Hitam. Hitam menjulurkan kaki depannya menyentuh kening pria itu yang penuh dengan darah. Di saat itu pula, cahaya yang sangat terang muncul. Bersinar dari kening pria tersebut, beberapa detik kemudian, setelah keadaan telah normal, Hitam terkejut melihat pemandangan di depannya. Pria yang tadinya penuh dengan luka parah di kepala, kini baik-baik saja. Luka itu menghilang secara ajaib. Bahkan setetes darah pun tidak ada. Astaga! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa bisa jadi seperti ini? Hitam sendiri tidak menyangka apa yang ia lakukan akan berhasil menyembuhkan luka di tubuh pemuda itu. Hitam memandangi kakinya yang berbulu dengan takjub, baru kali ini ia bangga pada kaki kecil penuh bulu yang sangat tidak ia sukai itu. Tak mau percaya, Hitam lantas menjulurkan kakinya lagi, menyentuh punggung tangan pemuda itu yang tergores. Ajaib, luka itu sembuh tak berbekas seperti saat Hitam menyentuh kening pemuda itu. Ternyata ini sungguhan, aku ... aku bisa menyembuhkan luka orang ini. Hitam bertambah bangga dengan dirinya. Ia sangat senang saat ada hal yang bisa ia lakukan dengan tubuhnya saat ini. Bruk! Namun saat hati Hitam masih bahagia karena kemampuannya. Pandangan kucing kecil itu menggelap. Ia jatuh pingsan tak sadarkan dii di samping pria itu. Hitam sempat merasakan bagaimana kesadarannya memudar. Hitam menyesal, harusnya ia bisa lebih waspada, ada harga yang harus ia bayar setiap hal yang ia terima. Mungkin ini yang harus ia bayar demi menyelamatkan pria tersebut. *** “Euhhh!” Pria itu mulai membuka mata, saat ia mulai merasakan dinginnya tetesan air hujan terus membasahi pipinya. Ia merasa sangat tidak nyaman, seluruh tubuhnya terasa basah dan lembab. Aroma tanah basah pun, menguar dengan begitu tajam di indera penciumannya. "Kenapa semuanya gelap dan tak terlihat apa pun?” gumam pria itu dengan suara lemah. “Aku di mana?" Sebentar kemudian, rentetan kejadian yang ia alami muncul di kepala. Ia masih ingat jelas apa yang terjadi kepadanya. Saat sebuah mobil orang asing mengikutinya, memepet dirinya hingga mobilnya jatuh berguling ke jurang dan akhirnya membuat ia celaka. "Apakah aku sudah ada di surga?” gumamnya. “Tapi kata orang, surga itu indah dan penuh cahaya. Kenapa sekarang sangat gelap?” Ia bangkit dan duduk memegangi kepalanya yang masih terasa sedikit pusing. Akan tetapi, pria itu sangat terkejut saat menyentuh keningnya. Kening yang tadinya mengeluarkan banyak sekali darah, kini bersih. Bahkan tak ada sedikit pun luka di sana. “Bagaimana bisa?” tanyanya seraya memegangi seluruh tubuhnya yang baik-baik saja. Ia ingat betul bagaimana ia terluka. Bagaimana sakitnya seluruh tulangnya seperti diremukkan. Ia juga menyangka bahwa ia akan mati dan tak terselamatkan mengingat bagaimana darah itu tidak mau berhenti mengalir dari kepalanya. Pria itu sangat bersyukur, karena ia masih bisa selamat setelah apa yang ia alami. Ia merasa ini seperti mukjizat untuknya. Setelah ke sekian kalinya hal ini terjadi lagi dan lagi, ia masih bisa selamat dan baik-baik saja. “Sampi kapan kalian akan memburuku seperti ini? Apa salahku? Apakah aku berdosa terlahir dari rahim ibu?” "Jika aku bisa meminta, aku ingin ikut ayah dan ibu saja. Biar tidak ada lagi yang memiliki niat buruk padaku. Sungguh, aku sangat lelah." Pria itu memeluk lutut, menenggelamkan wajah di sana. Ia memejamkan matanya seraya menangis, menumpahkan air matanya. Pria itu tampak sangat kesepian, hatinya terluka mengingat bagaimana ia hidup selama sepuluh tahun belakangan ini. Kehidupannya sangat orang lain impikan, tetapi tidak untuknya. Baginya, kehidupannya tak lebih dari sesuatu yang sangat mengerikan. *** Crip crip crip. Suara burung kecil yang bertengger di atas pohon membangunkannya dari tidur. Ia membuka mata, lalu menatap ke sekeliling. Rupanya, pagi yang cerah telah datang menggantikan malam yang gelap. Hujan pun telah reda, tak lagi menyirami bumi. Keadaan sekitar terang benderang oleh cahaya sang surya. Kini, pria itu bisa melihat dengan jelas tempat macam apa yang ia tinggali selama semalam. Pria itu mengedarkan pandangan, ia sangat terkejut saat melihat seekor kucing kecil teronggok, meringkuk tak jauh dari tempat ia duduk. Pria lantas itu beringsut mundur, wajahnya pucat tampak ketakutan. “Jadi semalaman aku berada di sini, bersama dia?” gumamnya tak percaya. Keadaan yang gelap membuatnya tidak dapat melihat apa pun. “Tapi dari mana datangnya dia? Kenapa dia diam saja? Apa dia mati? Aku tidak menyangka di hutan seperti ini ada seekor kucing,” gumamnya lagi dengan suara yang tak jelas. Lama pria itu memandangi kucing tak berdaya itu, ia sangat penasaran apakah kucing itu masih hidup atau tidak. Akan tetapi, ia tidak berani untuk memeriksanya. Sedari kecil, ia memang takut pada makhluk lucu tersebut. "Tapi kasihan sekali dia."Timbul rasa iba dalam hati pemuda itu saat Hitam tak kunjung membuka mata. Bertolak belakang dengan apa yang ia lakukan tadi, ia mulai berani mendekat ke arah kucing itu. Tangannya bergerak sendiri, menyentuh bulu lembut itu. ‘Astaga! Tubuhnya sangat dingin. Apa dia sudah mati.” Tangan pemuda itu meraih tubuh si hitam, membawa makhluk kecil itu di pangkuannya dengan ragu-ragu. “Syukurlah, dia masih hidup ....” Pria itu merasa sangat lega saat merasakan napas si Hitam yang sangat lemah. Entah mengapa ia begitu peduli pada mahkluk yang biasanya sangat ia takuti itu. Lama pria itu memandangi si Hitam, memperhatikan kucing itu dengan seksama. Tak ada luka di tubuh kecil itu, tapi pria itu dapat merasakan jika kucing itu sangat lemah. "Meong ...." Hitam menggeliat, lalu membuka matanya. "Huwaa!" Pria itu ketakutan melihat mata emas Hitam yang menatap dirinya. Saat itu juga, pria itu refleks melemparkan Hitam ke segala arah karena ketakutan. Aduh! erang Hitam saat tubuhnya terbanting ke tanah. Sialan! Aku sudah menolongmu. Inikah balasanmu? Dasar makhluk kurang ajar! umpat Hitam kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD