'Kyaaaa! Bagaimana aku bisa jadi seperti ini? Kenapa seluruh tubuhku jadi berbulu?' Si Hitam manis memekik saat melihat bayangan dirinya di air telaga.
Ucapan sang katak kembali terngiang di telinganya. Ternyata katak berwarna hijau itu tidak berdusta. Dirinya serupa dengan apa yang digambarkan katak. Dia adalah makhluk kecil berbulu hitam.
'Tapi, sepertinya tidak apa-apa. Kenyataannya, aku memang seperti ini. Tidak terlalu buruk juga, aku tampak imut dan menggemaskan. Tidak sejelek tuan katak yang tadi,' ucap si hitam manis setelah beberapa lama. Ia berpikir bahwa tidak ada gunanya menyesali wujudnya saat ini.
'Kenapa aku sama sekali tidak bisa mengingat tentang masa laluku? Apa yang harus aku lakukan setelah ini?' Kucing kecil dan manis itu berjalan tanpa tenaga meninggalkan telaga yang sangat luas itu.
'Aduh, perutku sangat lapar. Tapi apa yang bisa aku makan? Dedaunan tidak akan bisa masuk di perutku, gumam hitam manis.
Si Hitam terus saja berjalan, menurut pada langkah kakinya membawa. Sepanjang jalan, Hitam menyaksikan berbagai pemandangan hutan yang cukup mengerikan baginya. Di mana hewan yang lebih kuat memangsa yang lemah. Ia juga menyadari bahwa ia berada dalam susunan mata rantai tersebut. Ia seekor kucing, mau tidak mau harus memangsa hewan-hewan kecil atau serangga di tempat itu. Selain itu, ia juga harus mempertahankan diri dari serangan hewan yang lebih besar yang mungkin saja akan memangsanya.
Seekor capung kecil tiba-tiba saja melintas di atas kepalanya. Nalurinya tumbuh begitu ia melihat makhluk kecil itu, apalagi saat ini ia sangat lapar. Air liur Hitam tiba-tiba menetes saat melihatnya.
'Aku ... aku ... maafkan aku capung kecil.
Hap.
Hitam melompat dalam satu gerakan, seluruh bagian di tubuhnya seolah bergerak sendiri menangkap capung itu. Berhasil, Hitam sangat senang bisa menangkap mangsanya.
Bau capung itu terasa sangat enak di penciumannya. Rasa lapar yang mendera, perut yang tidak di isi selama beberapa hari, membuat Hitam tak perlu menunggu waktu yang lama untuk melahap makhluk itu.
'Ya ampun, ternyata ini enak sekali, ucap Hitam. Tak dapat ia pungkiri bahwa mulai sekarang mungkin ja akan memakan capung dan hewan kecil yang lainnya untuk bertahan hidup.
***
Sore itu, hujan kembali turun dengan begitu derasnya. Keadaan sekitar menjadi gelap seketika karena sang surya bersembunyi di balik awan hitam.
Hitam sedang memikirkan nasibnya. Bagaimana nanti ia akan menjalani hidup, bagaimana ia harus bertahan di tempat yang penuh dengan kompetisi, bagaimana ia harus bertahan dari hewan yang lebih kuat.
Tiba-tiba saja hatinya merasa sangat sedih, ia merasa bahwa tempat itu begitu asing. Ia merasa tempat itu bukanlah tempat tinggalnya sebelumnya. Namun, berapa kali ia mengingat, ia tak bisa mengingat apa-apa tentang kehidupannya yang sebelumnya. Justru ia hanya bertambah bingung dan sedih.
Bruk!
Terdengar suara yang cukup kuat saat Hitam masih melamun. Makhluk kecil itu terkejut dan mulai penasaran dengan suara tersebut.
'Suara apa, ya?' ucap Hitam.
Hitam ingin melihatnya, mencari tahu sumber suara itu. Akan tetapi, rasa takut mulai menyelimuti hatinya. Ia jadi membayangkan jika suara yang terdengar begitu kuat itu adalah suara hewan besar yang akan memangsanya.
"To ... long." Suara lirih menyapa telinga Hitam.
Ketakutan dalam diri kucing itu lenyap. Ia lantas menajamkan pendengarannya, mendengarkan suara itu dengan sungguh-sungguh.
'Tolong ...." Suara itu kembali terdengar lirih.
"Apa itu?" Rasa penasaran dalam diri Hitam muncul kembali mendengar suara minta tolong.
Dengan langkah hati-hati, Hitam berjalan mencari sumber suara tersebut.
"Tolong ...." Suara itu semakin jelas terdengar di telinga Hitam.
'Kyaaaa!' Pekik Hitam saat tiba-tiba ia terjatuh entah ke mana.
Bruk.
Kini suara terjatuh itu ia ciptakan sendiri. Namun, Hitam merasa aneh. Ia tak merasakan kesakitan meski ia terjatuh dari tempat yang cukup tinggi. Justru ia merasa tempatnya berpijak begitu lembut dan empuk.
"Meong!" Hitam sangat terkejut saat merasakan sesuatu yang hangat dan basah. Juga mau yang sangat familier ... bau anyir darah!
"Meong!" Tubuh Hitam bergetar saat melihat dengan jelas sosok yang meringkuk penuh darah itu. Dan di pipi pria itu kini ia berdiri.
'Astaga! Apa yang terjadi? Dia makhluk apa? Kenapa dia terluka seperti ini?' Tubuh yang penuh luka itu mengingatkannya pada situasi yang terasa seperti pernah ia rasakan.
Hitam merasa pernah merasakannya. Tubuh penuh luka, berdarah-darah dan sakit di mana-mana. Namun hanya sekelebat bayangan saja, tak jelas dalam ingatannya.
Hitam turun dari pipi pria itu, ia lantas berdiri di hadapannya. Ia memberanikan diri untuk mendekat, lalu memeriksa napas pria tak berdaya itu.
'Masih hidup! Hitam bernapas lega. 'Sekarang bagaimana caranya aku menolong dia?'
Hitam sangat bingung, juga sedih melihat penderitaan orang itu. 'Kasihan sekali, Kamu ...."
Drap drap drap.
Tiba-tiba saja terdengar suara langkah kaki di atas sana, Hitam langsung bersikap waspada. Takut-takut jika yang datang adalah hewan pemangsa atau bahaya yang lainnya. Apalagi kondisi pria itu penuh luka dan berdarah. Yang memungkinkan untuk memancing hewan liar untuk mendekat.
Tiba-tiba saja sebuah cahaya yang sangat terang melingkupi lubang itu. Mata hitam sampai silau dibuatnya.
"Sepertinya dia sudah mati. Kalau tidak pun, dia tidak akan bisa bertahan dengan luka itu." Suara seorang pria terdengar.
"Bagaimana kalau kita turun dan pastikan dulu. Apa dia mati atau belum? Kita sudah sejauh ini memburunya. Jangan sampai kita gagal lagi," ucap seorang pria bertubuh besar lainnya.
"Kamu gila? Heh! Lubang ini cukup dalam. Kalau aku tidak mau bersusah payah turun ke bawah. Lagipula, dengan luka dan bau darah di tubuhnya pasti akan mengundang ketertarikan hewan buas. Aku yakin sembilan puluh persen, dia tidak akan selamat," ucap pria menyeramkan itu.
"Tapi, makhluk apa yang ada di sampingnya itu?" Pria itu mengarahkan senternya ke arah Hitam. Jantung hitam berdebar kencang karenanya, takut ia akan menjadi sasaran mereka kali ini.
"Hanya kucing kecil. Apa yang perlu kita takutkan? Biar kucing malang itu menemani tuannya pergi ke akhirat." Pria itu tertawa terbahak-bahak. Puas melihat pria yang bersama hitam itu tak berdaya. Tak lama kemudian, dua pria itu pergi meninggalkan tempat itu. Membiarkan pria malang itu menderita kesakitan seorang diri di sana.
'Kami memangsa makhluk lain demi mempertahankan hidup, demi mengganjal perut kami yang terasa lapar, dengan perasaan bersalah yang cukup besar. Sedangkan kalian, menghilangkan nyawa sesama kalian tanpa rasa bersalah. Bahkan kalian tampak menyukai perbuatan kalian itu, kalian bahkan menertawakan keadaan yang sama sekali tidak lucu. Dasar makhluk kejam!' Hitam memandang kepergian dua orang yang keji itu dengan penuh kebencian.