Pria yang biasanya sangat ramah dan selalu menampilkan senyuman itu sangat marah. Tak ada kesan ramah sedikit pun dari wajahnya. Wajahnya menggelap, sangat menyeramkan. Ia berjalan seperti angin. Tak memedulikan apa pun yang ada di sekitarnya.
Dadanya semakin bergemuruh kala melihat tempat tahanan di depan sana. Segera ia mempercepat langkah kakinya. Ia sangat menyesal, menyesal karena membiarkan gadis itu sendirian di dalam lingkungan yang begitu berbahaya.
"Pu-putra mahkota!" sapa penjaga tahanan bawah tanah dengan suara gemetar. Mereka membungkukkan badan memberi hormat dengan ketakutan. Mereka dapat merasakan aura gelap yang tengah menyelimuti calon pemimpin mereka suatu hari nanti.
"Berikan kuncinya padaku!" perintah Kairos dengan suara yang teramat dingin.
"I-ini, Yang Mulia." Penjaga penjara bawah tanah itu menyerahkan dengan tangan gemetar. Seluruh tubuhnya mendadak mengeluarkan keringat dingin. Pria itu belum pernah melihat wajah pangeran yang menyeramkan seperti itu.
Kai segera berjalan, melihat satu per satu isi sel tahanan. Hingga akhirnya pria itu sampai di sel tahanan paling ujung. Tempat paling gelap dan menyeramkan. Juga tempat paling kotor di antara yang lainnya.
Di tempat itu seorang gadis tampak tak sadarkan diri dengan kedua tangan terikat oleh rantai. Wajah gadis itu acak-acakan dan penuh lebam. Pakaian yang ia kenakan penuh noda darah yang telah mengering. Sungguh, kondisi gadis itu sangat memprihatinkan.
Setetes bulir bening mengalir begitu saja dari mata pria tampan itu. Dia yang semula seperti seekor singa yang siap menerkam siapa saja, menjadi lemah saat melihat kondisi kekasih hatinya.
Dengan kasar, Kai mematahkan rantai yang mengikat pintu sel. Padahal di tangannya terdapat kunci yang ia pinta dari penjaga penjara. Namun, pria itu seperti kehilangan akal sehat saat melihat kondisi Aurora yang seperti itu hingga kehilangan kesabaran.
Setelah pintu terbuka, pria itu masuk ke dalam ruang tahanan tanpa segan. Segera dilepaskannya kedua rantai panjang yang digunakan untuk mengikat tangan gadis itu. Kai membawa Aurora ke dalam pelukannya. Sekali lagi, Kai menangis melihat tubuh kurus itu penuh luka. Tubuh ringkih itu benar-benar dalam kondisi yang sangat buruk dan tak berdaya.
Para penjaga tidak berani menegur atau melakukan apa pun. Mereka sangat ketakutan dan hanya bisa memerhatikan dalam diam. Bahkan sampai sang putra mahkota pergi membawa Aurora mereka hanya bisa terdiam membisu. Dalam hati mereka berdoa, agar setelah ini mereka tak tertimpa masalah apa pun. Karena apa yang mereka lakukan pada gadis itu juga atas perintah orang yang lebih berkuasa.
***
Kai terus saja berjalan dengan menggendong gadis yang tak sadarkan diri itu. Menyusuri jalan kecil menuju istananya sendiri. Semua orang yang menyaksikan bagaimana gagahnya pria itu membawa Aurora jadi meleleh dibuatnya.
Pasalnya, para peserta kompetisi masih ada di tempat itu, menunggu kejelasan. Namun, kini mereka justru terpana saat menyaksikan kehadiran pria tampan yang tidak mereka ketahui siapa. Tentu saja, tidak ada gadis yang pernah melihat wajah pangeran Kairos selain Althea.
Althea, gadis itu diam-diam tersenyum saat melihat wajah tampan itu lagi. Wajah yang membuat ia bersemangat mengikuti kompetisi periode ini. Pria yang membuat jantungnya berdetak kencang dan tak bisa ia kendalikan.
Namun, senyum di wajah Althea menghilang saat melihat wajah yang ia kenali berada di dalam pelukan pria itu. Entah apa yang terjadi, Althea sangat penasaran kenapa Aurora bisa berakhir di pelukan pria pujaan hatinya. Althea terbakar cemburu apalagi saat gadis-gadis di sekelilingnya mulai membicarakan mereka.
"Eh, siapa gadis itu?" tanya seorang gadis. "Aku iri sekali. Andai aku bisa menggantikan posisinya."
"Hei, Bodoh! Gadis itu sepertinya terluka parah. Kamu mau jadi seperti itu?" ucap yang lainnya.
"Eh, eh ... tentu saja aku tidak mau." Gadis itu memerhatikan secara seksama, bergidik ngeri saat menyadari gadis yang pria itu gendong penuh luka dan bekas darah.
"Makanya jangan bicara macam-macam!" ucap gadis yang satunya lagi.
"Aku tidak peduli pada gadis itu. Yang aku pedulikan hanya pria itu. Aku sangat penasaran. Sebenarnya siapa pria tampan itu? Aku baru sekali ini melihatnya, tapi sungguh aku sepertinya sudah jatuh cinta," ucap gadis yang lainnya.
"Iya, dia sangat tampan. Andaikan saja putra mahkota kita juga rupawan seperti itu," ucap seorang gadis seraya tersenyum-senyum sendiri.
"Kalaupun aku tidak bisa menjadi putri mahkota, sepertinya aku akan rela menjadi istri pria tadi." Gadis cantik yang lainnya bahkan mulai berangan-angan.
"Kalian jangan mimpi! Lihat saja, pria itu bahkan tidak merasa jijik menggendong gadis tadi. Itu artinya ada sesuatu di antara mereka. Mungkin saja mereka adalah sepasang kekasih. Lebih baik menyerah saja. Fokus pada tujuan kita semula, kita harus berjuang untuk menjadi putri mahkota."
Para gadis itu pada akhirnya membubarkan diri dan pergi dari tempat itu. Mereka dengan cepat melupakan kekaguman mereka pada Kai. Ambisi mereka untuk menjadi putri mahkota lebih besar dibandingkan ambisi untuk mendapatkan pria tampan itu.
Ucapan para gadis itu berhasil menyulut amarah dan rasa cemburu di dalam hati Althea. Ia menilai bahwa si bungsu sangat licik. Althea tak menyangka jika Aurora begitu pandai hingga bisa mendapatkan simpati dan perhatian dari putra mahkota.
"Kak Thea! Kakak kenapa? Kakak kenal pada pria tadi?" tanya Apsara.
"Tidak, Sara," jawab Althea dingin.
"Lalu kenapa sepertinya kakak kesal saat melihat pria itu?" tanya Apsara masih penasaran.
"Sara! Berhenti bertanya! Apa Kamu tidak lihat siapa yang berada di pelukan pria tadi?" tanya Althea penuh emosi. Apsara menggelengkan kepala. Karena ia benar-benar tidak tahu dan tidak peduli.
"Dia si bungsu, Sara. Dia Aurora. Bagaimana bisa dia bersama seorang pria seperti itu? Bahkan dia masih berada di lingkungan istana. Bagaimana jika timbul gosip atau kabar tak baik? Sungguh memalukan!" ucap Althea.
"Bungsu? Bagaimana dia bisa terluka seperti itu?" Seolah tak mendengar ucapan Althea yang menjelekkan Aurora, Apsara justru lebih tertarik pada sebab mengapa adiknya bisa terluka seperti itu.
Apsara sangat penasaran dengan apa yang terjadi. Ia hanya melihat sekilas wajah gadis yang berada di gendongan pria yang mencuri perhatian semua gadis itu. Namun, ia tidak dapat mengenali wajah penuh luka tadi. Apsara tak menyangka jika gadis itu adalah Aurora.
"Aku tidak peduli dia mau terluka atau bagaimana. Aku hanya takut dia akan membawa masalah untuk keluarga kita. Dilihat dari kondisinya tadi sepertinya ia sedang tertimpa masalah. Semoga saja kita tidak terbawa-bawa," ucap Althea untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya ia rasakan.
"Kakak benar! Dia itu hanya bisa membuat masalah untuk kita. Ya sudahlah, mari kita abaikan saja. Lebih baik kita kembali ke kamar kita saja. Kita harus fokus pada kompetisi ini." Apsara melingkarkan tangannya di lengan sang kakak lalu membawa gadis itu pergi dari sana. Althea menurut, meski dalam hatinya terus saja mengumpati Aurora yang berada selangkah lebih depan dari dirinya.