BAB 40

1674 Words
"Tuan, dia siapa?" Pertanyaan itu meluncur dari bibir seorang kasim saat Kairos sampai di kediamannya. "Jangan banyak tanya! Suruh saja penjaga membuka pintu," perintah Kairos dengan suara yang dingin. "Tapi, Tuan. Demi kehormatan Anda, sebaiknya kita bawa saja gadis ini ke istana putri biarkan tabib dan para dayang yang mengobatinya," ucap pria itu lagi. "Aku tidak peduli dengan kehormatanku. Buka pintunya sekarang atau aku harus pergi keluar istana dan membawa gadis ini ke penginapan," ucap Kairos dengan nada mengancam. "Ba-baiklah." Kasim itu akhirnya menyerah. Lebih baik Kairos tetap di istana daripada akan timbul berbagai gosip buruk di luar sana tentang tuannya tersebut. Para penjaga pintu segera membuka pintu, memberikan akses bagi Kairos untuk masuk ke dalam kamarnya. Dengan perlahan pria itu meletakkan Aurora di atas ranjangnya. Hatinya semakin tersayat melihat betapa lemahnya gadis itu. Kairos tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika ia terlambat datang. Mungkin ia akan kehilangan Aurora untuk selamanya. "Dayang!" Kairos berteriak memanggil dayang yang selalu melayaninya. Tanpa butuh waktu yang lama, para dayang telah datang. "Seorang dari kalian bawakan aku air hangat dan kain terbaik yang lembut," perintah Kairos. "Baik, Tuan." Seorang dayang yang berdiri di barisan paling belakang segera pergi, tidak mau tuannya terlalu lama menunggu. "Seorang lagi, pergi ke tabib dan minta obat untuk luka. Jangan membuang waktu. Kembalilah secepat mungkin." Seorang dayang lagi segera pergi untuk menjalankan perintah Kairos. "Dua orang di antara kalian tinggallah di sini. Bantu aku merawat gadis ini. Yang lainnya, bisa pergi ke dapur. Bantu koki kerajaan untuk menyiapkan makanan yang enak untukku. Aku sangat lembut perintah pria itu lagi. "Baik, Tuan." Para dayang segera pergi untuk menjalankan perintah dari putra mahkota, sementara dua orang yang lainnya tetap tinggal di sana. Tak lama kemudian, dayang yang bertugas mengambil air telah datang. Kairos segera mengambil alih air hangat dan kain itu dari tangan dayang tersebut. Lalu, Kai dengan lembut menyeka, membersihkan wajah wanita kesayangannya. "Bagaimana bisa Kamu terluka seperti ini saat aku hanya memalingkan wajahku sebentar darimu?" gumam pria itu seraya menyeka ujung bibir Aurora yang lebam, bekas penyiksaan. "Kamu sungguh membuatku selalu khawatir. Aku sangat mengkhawatirkan keselamatanmu jika berada di dekat mereka, tetapi ternyata di tempat ini pun tak ada bedanya. Kamu tetap saja terluka," gumam Kai lagi. "Dasar gadis bodoh! Padahal aku sudah mengajarimu berbagai jurus untuk bertahan. Kenapa Kamu tidak menggunakannya dan membiarkan tubuhmu terluka seperti ini?" Kai masih terus mengajak Aurora berbicara, seolah gadis itu akan menanggapi semua ucapannya. Para dayang yang masih tinggal merasa sangat iri saat Kairos memperlakukan Aurora dengan lembut dan penuh kasih sayang. Padahal selama mereka menjadi dayang istana, tak sekali pun mereka melihat putra mahkota dekat dengan wanita. Ini juga pertama kalinya, mereka melihat pria itu begitu perhatian pada wanita. Karena Kairos selalu bersikap dingin pada dayang-dayangnya. Bahkan untuk urusan mandi dan berpakaian, pria itu tidak mau ada seorang dayang pun yang membantu. Mereka mulai menduga, jika majikan mereka memiliki perasaan khusus pada gadis tak berdaya itu. Setelah Kai selesai membersihkan wajah Aurora, dayang yang bertugas mengambil obat sudah datang. Kairos merasa puas karena para dayangnya dapat diandalkan dan cekatan. "Buka pakaiannya. Ubah posisi tidurnya menjadi telungkup. Aku akan menunggu di depan. Kalau kalian sudah selesai, panggil saja aku." "Baik, Yang Mulia." Kairos segera keluar dari kamarnya dan menyerahkan tugas itu pada para dayang. Sementara itu para dayang segera melakukan tugasnya membuka pakaian Aurora dan membantu mengubah posisi tidur gadis itu. Para dayang membelalak tak percaya saat melihat punggung terbuka gadis yang mereka rawat penuh luka. Mereka jadi paham, mengapa putra mahkota sangat khawatir dan begitu perhatian. Rupanya kondisi gadis itu cukup memprihatinkan. "Tuan, kami sudah melakukan apa yang Tuan perintahkan," ucap seorang dayang melapor pada Kairos. "Baiklah, aku akan masuk." Kairos segera kembali masuk ke dalam kamarnya. Pria itu lantas duduk di tepi tempat tidur, menatap luka pada punggung terbuka Aurora dengan perasaan yang tercabik-cabik. Dalam hati, ia berjanji akan memberi pelajaran pada Hera yang telah membuat Aurora jadi seperti itu. Kairos tidak mau peduli tentang hubungan kekerabatan Hera dengan ibunya. Yang ia tahu, ia harus membalas Hera. Dengan lembut, Kairos membersihkan luka gadis itu dengan ramuan yang telah ia persiapkan. Pria itu sangat hati-hati, tidak mau Aurora sampai merasa kesakitan karenanya. Namun, tetap saja, sesekali gadis itu merespons dengan berjingkat saat rasa perih itu semakin menjalari punggungnya yang hampir mati rasa. Setelah punggung gadis itu bersih, Kairos segera mengoleskan obat yang tadi diambil oleh para dayang. Pria itu melakukannya dengan jemarinya sendiri tanpa rasa jijik sama sekali. Sesekali pria itu tampak menggigit bibirnya, saat Aurora menjerit kecil dalam pejamnya. Kairos yakin, gadisnya merasakan rasa sakit yang luar biasa dan ia tidak bisa membayangkannya. Baru setelah cukup lama, akhirnya Kairos selesai mengobati Aurora. "Biarkan punggungnya selalu terbuka seperti itu, agar lukanya cepat mengering. jika udara panas, tolong kipasi dia agar lukanya tidak terkena keringat. Kalian jaga dia, jangan biarkan sesiapa masuk ke dalam ruangan ini. Panggil aku saat dia membuka matanya nanti," perintah Kairos. "Baik, Yang Mulia," jawab para dayang itu. "Bagus! Aku berjanji akan memberikan bonus yang besar untuk kalian yang membantu aku hari ini," janji Kairos. "Terima kasih, Yang Mulia," jawab keempat dayang itu serentak. Kairos segera pergi dari tempat itu. Membiarkan Aurora di kamarnya dengan para dayang. Ia harus pergi ke istana utama untuk menuntut pertanggungjawaban Hera. *** "Apa yang Kamu lakukan, Kai? Seluruh istana gempar saat melihatmu menggendong seorang gadis," ucap raja saat putranya telah kembali. Kai tidak merespons, enggan untuk membicarakannya. "Siapa gadis yang Kamu gendong itu, Kai?" tanya ratu Selena dengan lembut. "Seorang gadis yang seharusnya memenangkan kompetisi ini. Gadis yang seharusnya mendapatkan penghargaan, tetapi kalian justru memberikannya hukuman," ucap Kai seraya menatap Hera yang sedang menyiapkan makanan ibunya dengan tatapan tajam tanpa berkedip. Hera tahu arti tatapan putra mahkota yang penuh kebencian. Nyali wanita itu menciut, ia merasa akan datang badai besar yang menerpa hidupnya. "Apa maksudmu?" tanya Selena. "Dinda, jangan pikirkan ucapan putramu ini," ucap raja Philips yang mengkhawatirkan keadaan istrinya. "Kai, berhenti bicara yang tidak-tidak! Keadaan ibumu saat ini adalah yang paling utama," bentak raja Philips. "Ayahanda sangat mengkhawatirkan Bunda, kan?" tanya pria muda itu tiba-tiba. "Tentu saja, karena ayahanda sangat mencintai ibunda," jawab sang raja. "Kai juga sangat mencintainya, Ayahanda. Jadi, Kai juga merasakan hal yang sama seperti yang ayahanda rasakan. Kai sangat mengkhawatirkannya," ucap Kai pilu. "Perlu kalian ketahui, gadis yang Hera berikan hukuman itu adalah gadis yang berhasil menyembuhkan sakit bunda ratu." "Hukuman? Hukuman apa, Hera?" tanya ratu Selena kebingungan. Raja Philips hanya bisa mengembuskan napas beratnya. Putranya memang sangat sulit untuk dihentikan. Ia ingin Kai membicarakan hal ini lain kali saat ratu Selena membaik. Namun, rupanya putranya itu sama sekali tidak memiliki kesabaran. "Begini, Yang Mulia. Sebenarnya, saya menghukum Aurora yang telah membuat ratu tidak sadarkan diri. Semua itu saya lakukan karena saya panik. Saya panik karena ratu tak kunjung membuka mata meski tabib telah dipanggil sekali pun." Pada akhirnya, Hera menjelaskannya. "Memangnya Kamu menghukum gadis itu dengan cara apa, Hera? Kenapa Kai sampai semarah itu?" tanya ratu Selena. "Sa-saya memasukkannya ke dalam penjara bawah tanah." Hera menggigit bibirnya, merasa bersalah. "Apa?" Ratu Selena sangat terkejut mendengar ucapan wanita kepercayaannya itu. Hukuman penjara bawah tanah hanya untuk pelanggaran berat seperti pengkhianatan dan konspirasi. "Bukan itu saja! Katakan apa yang telah Kamu lakukan!" bentak Kairos. "Sa-saya menyuruh penjaga untuk memberikan hukuman cambukan sebanyak seratus kali," ucap Hera dengan terbata-bata. Wanita itu tidak tahu apa yang akan terjadi padanya, saat ratu Selena mengetahui hal ini. "Apa?" Ratu Selena hampir syok mendengar ucapan Hera yang begitu mengejutkan. "Bunda bisa dengar sendiri. Apa yang orang ini lakukan dan Kai tidak terima. Karena Kai sangat mencintai Aurora. Kai tidak rela melihat kekasih Kai disakiti dengan cara seperti ini," ucap Kairos penuh emosi. Hera sangat terkejut. Ia tidak menyangka ada hubungan seperti itu di antara putra mahkota dan putri bungsu Athura. Pantas saja, Hera merasa ratu Selena seperti sangat menginginkan kemenangan Aurora. Rupanya, ini yang menjadi sebabnya. "Maafkan saya, Putra Mahkota. Saya sungguh tidak tahu kalau dia adalah wanita yang istimewa bagi Tuan." Hera berlutut di hadapan Kairos. "Jadi, jika gadis itu bukan gadis yang aku cintai, Kamu bisa semena-mena? Begitu?" Hera terdiam tak mampu menjawab. "Jangan nilai seseorang dari penampilan, Hera. Nilai dari hatinya. Jangan menggunakan kekuasaan karena Kamu berkuasa. Tapi bersikap adilah dengan mengetahui kebenarannya terlebih dahulu." "Saya akan terima hukuman dari Anda, Tuan." Hera pasrah dengan hukuman yang akan Kairos berikan padanya. "Baiklah, aku mau Kamu juga merasakan hukuman cambuk seratus kali seperti yang Aurora rasakan," ucap Kai dingin. Hera sangat terkejut. Wajah wanita itu memucat. Tidak menduga Kai akan menghukumnya dengan cara yang sama. Hera takut, ia tak yakin akan bisa bertahan jika mendapatkan hukuman seperti itu. "Tidak, Kai. Bunda tidak setuju. Bagaimanapun juga, Hera adalah bibi jauhmu," tolak ratu Selena "Benar, Kai. Jangan bersikap kejam seperti itu." Raja Philips ikut memberi respons. "Kejam? Aku kejam? Aku sudah tahu apa yang Hera lakukan pada Aurora selama kompetisi berlangsung. Aku tahu Kamu memandangnya sebelah mata. Aku tahu Kamu tidak suka padanya," tuduh Kai. "Maafkan saya, Yang Mulia. Saya bersedia menerima hukuman seperti yang Tuan inginkan." "Tidak Hera ...." Ratu Selena tidak rela. "Kai, Bunda mohon." Kairos tampak berpikir hingga akhirnya pria itu buka suara. "Baiklah! Aku akan mengampuni Hera. Dia tidak perlu menjalani hukuman apa pun. Tapi aku memiliki syarat." "Syarat apa lagi yang ingin Kamu ajukan, Nak?" tanya ratu Selena. Kai tersenyum dingin lalu berkata. "Aurora sudah memenangkan kompetisi ini. Dia yang sudah menyembuhkan ratu. Hanya saja karena pengaruh obat itu, ratu jadi tidur seperti orang pingsan. Jadi aku, ingin kalian bersikap adil dan menganggap kemenangan ini sah dan mutlak.* "Baiklah," ucap ratu Selena. "Karena ia sudah menang, maka tidak ada kompetisi lagi. Karena aku sang putra mahkota memilih dia secara langsung sebagai calon istriku." "Tapi Kai ... bagaimana dengan peserta lain?" tanya ratu Selena. "Terserah! Hera lah yang harus menyelesaikannya. Ia yang sudah membuat masalah, maka ia juga yang harus bertanggung jawab." Wajah Hera memucat, ia bingung bagaimana harus menyelesaikan semua ini. Karena pasti tidak akan mudah memberikan pengertian pada empat puluh sembilan gadis saat ia mengatakan kompetisi hanya ditunda untuk sementara waktu. Sementara Kai tersenyum puas, melihat wajah Hera yang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD