BAB 38

1545 Words
Seorang pria berpakaian seperti layaknya rakyat biasa tampak berlari tergesa-gesa menuju rumah paling besar di kampung itu. Napas pria itu kembang kempis, wajahnya pucat tak bermaya, bahkan tubuhnya tampak gemetar. Tok tok tok. Menggunakan tangan kurusnya, pria itu mengetuk pintu rumah pria paling terhormat di kampungnya. "Tuan! Tuan!" teriaknya memanggil si empunya rumah. Tak lama kemudian seorang pelayan datang membukakan pintu dan mempersilakan masuk. Lalu, pelayan itu membawa pria itu ke ruang kerja majikannya. "Tuan, ada yang ingin menemui Anda," ucap pelayan itu dengan hati-hati karena majikannya tampak sedang sibuk. Pria itu menghentikan pekerjaannya. Meletakkan kuas yang ia gunakan untuk menulis lalu melihat siapa yang datang. "Masuklah!" perintah pria pemilik rumah. "Tutup pintunya." Pria biasa itu lantas masuk ke dalam ruangan yang cukup luas tersebut. Lalu, menutup pintu seperti apa yang pemilik rumah itu perintahkan. "Ada apa?" Pertanyaan itu meluncur begitu pintu ruangan itu tertutup rapat. "Tuan Athura! Gawat Tuan! Gawat!" Pria itu berbicara dengan suara yang terdengar bergetar. "Ada apa, Res? Katakan dengan jelas, jangan membuat aku kebingungan," ucap Athura. "Begini, Tuan. Nona Aurora saat ini sedang berada di ruang tahanan kerajaan. Tepatnya beliau ada di penjara bawah tanah," ucap pria itu. Athura dengan cepat bangkit dari duduknya. Wajah pria itu tampak menegang saat mendengar kabar buruk itu. Dia tampak terkejut, juga khawatir. "Ceritakan padaku! Apa yang sebenarnya telah terjadi!" perintah Athura. Pria itu lantas menceritakan apa yang ia ketahui dari awal sampai akhir. Ares, begitu nama pria itu. Pria yang sengaja Athura letakkan sebagai mata-mata di kerjaan. Pria yang menyamar sebagai tukang sapu di istana. Untuk mengetahui jika terjadi sebuah konspirasi dari pejabat kerajaan. Juga untuk memberikan informasi jika kerajaan Nirvana sedang berada dalam keadaan bahaya. Namun, apa yang kali ini Athura dengar dari mata-matanya, justru membuat pria itu sangat terkejut. Pria itu datang membawa kabar buruk dari putri kesayangannya. "Tadi, Nyonya Hera memerintahkan penjaga penjara bawah tanah untuk mencambuk Nona Aurora sebanyak seratus kali," ucap pria itu ragu-ragu. "Apa?" Athura sangat terkejut karenanya. Sungguh, pria itu semakin khawatir. Hukuman seratus cambukan adalah hukuman yang cukup berat. Yang biasa diterima oleh seorang pengkhianat sebelum dieksekusi. Athura tidak menyangka, mereka akan memperlakukan putrinya seperti seorang pengkhianat. "Rora-ku!" Pria itu tampak sedih. "Haruskah kita pergi ke istana sekarang, Tuan?" tanya Ares. "Tidak, Res. Sesuai peraturan kerajaan. Aku tidak boleh datang sampai kompetisi selesai. Karena akan dinilai sangat tidak adil, jika aku datang saat para putriku sedang mengikuti kompetisi. Takut peserta lain menganggap aku membantu putriku dalam kompetisi itu," ucap Athura dengan nada kecewa. Bagaimanapun juga, ia adalah seorang ayah. Ia sangat ingin menemui putrinya. Ia ingin melihat putri kesayangannya. Namun, apalah daya, ia tidak bisa melakukannya. Ia terikat oleh jabatan yang ia pegang. "Tapi, Tuan. Keadaan telah menjadi seperti ini. Apakah Tuan tidak mengkhawatirkan keadaan Nona? Bagaimana kalau ratu benar-benar tak bangun lagi dan Nona akan dieksekusi?" tanya Ares. "Jaga mulutmu, Res! Jangan katakan apa pun lagi. Ratu akan segera bangun dan putriku, Aurora tidak mungkin bersalah. Dia akan baik-baik saja," ucap Athura. "Satu lagi, Res! Jangan katakan hal ini kepada orang lain, termasuk kepada istriku." "Baik, Tuan. Tuan, saya sepertinya memiliki ide bagus." "Ide apa, Res? Katakan dengan jelas!" bentak Athura karena perasaannya sedang kacau. "Gunakan keadaan ratu agar Tuan bisa pergi ke istana. Tuan bisa datang dengan dalih mengkhawatirkan keadaan ratu. Siapa tahu, kedatangan Tuan bisa menyelamatkan nona Aurora." Athura tampak berpikir. Menimbang ide yang Ares berikan. Athura masih sangat bingung. Di satu sisi, ia harus menjaga nama baiknya. Di sisi lain, ia sangat mengkhawatirkan keadaan putrinya. *** Dengan tergesa dua orang pria berbeda usia itu berjalan menuju istana ratu. Banyak yang menunduk, memberikan penghormatan, tetapi mereka berdua tidak menghiraukannya. Fokus mereka terpaku pada kamar yang dijaga oleh beberapa orang di depan sana. Penjaga pintu langsung membuka pintu kamar ratu, memberikan akses bagi dua orang penguasa yang baru datang itu. Tak lupa mereka membungkukkan badan, memberi penghormatan untuk raja dan putra mahkota yang baru kembali dari perjalanan jauhnya. "Bagaimana keadaan ratu?" Suara bariton itu menyapa telinga Hera yang masih setia menunggu ratu Selena bangun. Hera berjongkok, memberikan penghormatan pada pria itu. "Maafkan saya, Yang Mulia. Ratu belum juga membuka matanya. Maafkan keteledoran saya hingga kejadian seperti ini terjadi." "Ceritakan dengan jelas!" Hera lantas menjelaskan tentang apa yang terjadi. Raja dan putra mahkota mendengarkannya dengan seksama. "Kenapa Kamu sangat gegabah hingga membiarkan hal seperti ini terjadi? Kamu tahu sendiri bagaimana kondisi ratu yang lemah belakangan ini. Kenapa justru menjadikannya bahan percobaan dalam kompetisi ini?" tanya raja Philips dengan d**a yang kembang kempis menahan amarah. Raja dan putra mahkota yang seharusnya berada di sebuah kerajaan kecil untuk menjaga perdamaian terpaksa harus kembali ke istana setelah merpati pembawa pesan menyampaikan surat untuknya. Mereka bergegas kembali sebelum perjanjian kerja sama diputuskan, karena mengkhawatirkan keadaan ratu. "Maafkan saya, Yang Mulia. Saya pantas dihukum." Hera menundukkan kepala dalam-dalam. "Lalu bagaimana dengan gadis itu?" tanya raja. "Kami telah memasukkannya ke dalam penjara bawah tanah dan memberikan hukuman seratus cambukan," jawab Hera. "Bagus! Jika terjadi sesuatu pada ratu, aku tidak akan membiarkan dia dan keluarganya hidup dengan tenang. Berikan informasi tentang keluarga gadis tersebut!" perintah raja Philips. "Di-dia adalah putri bungsu panglima perang, Yang Mulia," ucap Hera ragu-ragu. Hanya satu kalimat saja yang Hera ucapkan. Namun, mampu membuat raja dan putra mahkota sangat terkejut. Wajah putra mahkota yang berdiri di dekat sang raja tampak pucat mendengar kabar tersebut. Bukan karena ia mengkhawatirkan keadaan sang ibunda. Justru ia mengkhawatirkan keadaan gadis yang ada di dalam sel tahanan. "Apa? Putri Athura?" Raja pun sama terkejutnya dengan putra mahkota. Raja jadi bingung harus bersikap bagaimana. Karena ia tahu, Kairos sangat menyukai gadis tersebut. "Iya, Yang Mulia. Gadis bernama Aurora itu yang telah membuat keadaan ratu jadi seperti ini," jelas Hera. "Apakah sudah ada tabib yang datang?" tanya raja Philips mengalihkan pembicaraan. "Sudah, Yang Mulia." "Lalu apa yang tabib katakan?" "Kondisi tubuh Yang Mulia Ratu baik-baik saja. Namun, mereka tidak dapat mengetahui penyebab hingga ratu jadi seperti ini," ucap Hera. Setelah mendengar ucapan Hera, Kairos segera menghampiri ibunya yang terbaring di atas ranjang. Pria itu lantas memeriksa sang ibu layaknya seorang tabib. Membuat raja dan Hera sangat keheranan. "Apa yang Kamu lakukan, Kai?" tanya sang raja. Putra mahkota tak menjawab. Terus saja fokus memeriksa keadaan sang ibu dengan teliti. Dengan tangan gemetar, pria itu lantas memejamkan matanya, membaca sebuah mantra lalu membuka aliran darah di pergelangan tangan ibunya. "Ambilkan aku air!" perintah putra mahkota. "Ambilkan air cepat!" perintah Hera kepada para dayang. Dengan cepat dayang istana mencari air seperti yang putra mahkota perintahkan. Hanya perlu waktu beberapa menit saja mereka telah kembali dengan wadah berisi air. Kai menerima air tersebut, lalu mengambilnya sedikit dan mengusapkannya sedikit pada kening sang ibu. Perlahan, kelopak mata sang ratu yang masih tertutup mulai bergerak. Wanita yang membuat seluruh penghuni istana gempar itu akhirnya mulai membuka matanya. "Ratu!" Sang raja sangat senang melihat istrinya akhirnya membuka mata. Amarah yang menyelimuti dadanya sejak menerima surat dari merpati, menghilang seketika. Hatinya sejuk melihat sang istri akhirnya sadarkan diri. "Ada apa ini? Kenapa Kalian berkumpul di kamarku?" tanya ratu kebingungan. "Tidak ada apa-apa. Aku bahagia akhirnya Kamu bangun." Raja membantu ratu Selena duduk dan bersandar pada kepala ranjang. "Astaga! Bukankah aku sedang berada di aula utama untuk memberikan tugas kompetisi?" Ratu bertambah kebingungan. "Iya, Yang Mulia. Tapi, Anda pingsan saat meminum ramuan dari peserta kompetisi." Kini Hera ikut memberikan jawaban. "Apa? Lalu sekarang di mana gadis itu?" Ratu mencoba mengingat, samar ia mulai mengingat saat Aurora memberikannya ramuan. "Dinda, jangan pikirkan apa pun dulu. Mengenai hal itu bisa kita bicarakan lain kali," perintah raja. "Apa yang Bunda rasakan?" tanya Kairos memotong pembicaraan. "Maksudmu? Bunda tidak merasa apa-apa. Bunda hanya merasa lebih segar dan rasanya sangat mengantuk. Mungkin ini adalah tidur ternyaman yang pernah aku rasakan setelah akhir-akhir ini aku kesulitan tidur," jawab ratu. Semua orang yang ada di tempat itu sangat terkejut mendengar jawaban sang ratu karena mereka mengira ratu kesakitan. "Hera! Apakah Kamu yang telah memasukkan gadis itu ke penjara?" tanya Kairos penuh amarah. "Iya, Yang Mulia. Saya yang memberikan hukuman pada gadis kurang ajar itu," jawab Hera. "Gadis kurang ajar? Dari mana Kamu menilainya seperti itu? Lihatlah, ibuku baik-baik saja. Tabib juga bilang kalau ratu baik-baik saja. Dan aku yakin, tabib mengatakan kondisi bunda lebih baik dari sebelumnya," ucap Kairos dengan nada meninggi. Hera sangat heran, karena putra mahkota mengetahui sampai sedetail itu. "Ma-afkan saya, Yang Mulia. Saya panik karena ratu tak juga membuka mata," ucap Hera ketakutan. Wanita itu belum pernah melihat Kairos yang marah seperti itu. Selama ini Hera hanya melihat senyum ramah dari pria yang berdiri di hadapannya itu. "Aku tidak mau tahu! Kalau sampai terjadi apa-apa padanya, Kamu tidak akan aku ampuni!" ancam Kairos. Hera jadi bingung dengan situasi yang tengah ia hadapi. Siapa Aurora hingga semua orang sangat peduli. Bahkan putra mahkota juga terlihat sangat mengkhawatirkannya. "Panggil tabib untuk memeriksa," perintah Kairos dengan nada yang sangat dingin. Pria itu lantas segera pergi dari kamar sang ibu. "Kanda, sebenarnya ada apa?" tanya ratu Selena semakin kebingungan. "Tidak apa-apa. Hanya kesalahpahaman kecil. Tidak perlu Kamu pikirkan," ucap raja Philips. "Hera ...." Kini ratu bertanya pada orang kepercayaannya. "Ratu, nanti kita bicarakan kembali. Kita tunggu saja dulu tabib. Oh ya, Kamu pasti merasa lapar kan? Aku akan menyuruh dayang membuatkan makanan," ucap sang raja mengalihkan pembicaraan. Pria itu tidak mau membuat ratu terkejut jika mendengar apa yang telah terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD