8. Harapan Safia

1052 Words
Sebagai seorang Manager Marketing, Arya memang dituntut untuk selalu loyal pada klien sebab sudah menjadi konsekuensi pekerjaannya. Pun halnya ketika malam ini Arya dan beberapa rekan kerjanya tengah menghadiri undangan dari perusahaan mitra, Arya tak dapat menolaknya. Pulang malam sudah biasa terlebih jika target yang ditentukan belum tercapai sehingga dia dan timnya harus bekerja ekstra. Malam ini bertempat di sebuah pusat hiburan malam, Arya melampiaskan kekacauan hidupnya melalui minuman keras. Arya yang kesal pada Safia, serta mengingat bagaimana wanita yang merupakan istrinya itu bercengkerama dengan pria lain di depan matanya, membuat Arya geram luar biasa. Bukan karena rasa cemburu tapi karena Arya benci dengan wanita yang tidak bisa menjaga martabat serta harga dirinya. Wajar saja jika Safia pun tega merebutnya dari Wila dengan cara yang sungguh diluar dari pemikiran Arya. Pria itu kembali meneguk minuman dalam sekali tarikan nafas. Mencengkeram erat gelas di tangan. Ada kerinduan pada sosok Wila yang kemudian berubah dengan rasa benci pada Safia. "Sialan kau, Safia!" makinya yang disertai dengan satu kali tegukan minuman gelas kesekian. Arya yang setengah mabuk masih waras dan masih sadar untuk membawa kendaraannya pulang setelah beberapa kali mengabaikan telepon dari mamanya. Iya, Bu Neni memang sedang cemas menunggui sang putra yang tak kunjung pulang di pukul sebelas malam. Wanita itu mondar mandir dari ruang keluarga ke ruang tamu. Sesekali juga menyingkap tirai mengintai apakah putranya sudah pulang. Ditelpon pun, Arya tidak mengangkatnya membuat Bu Neni makin cemas dibuatnya. Menggerutu seorang diri. "Ke mana Arya perginya. Kenapa belum pulang juga." Ketika kepala Bu Neni mendongak menatap pada jam dinding yang terus bergulir menuju waktu hampir tengah malam, saat itulah deru mesin mobil mengejutkan beliau. Buru-buru Bu Neni menuju pintu lalu membukanya. Matanya terbelalak mendapati Arya sedikit sempoyongan keluar dari dalam mobil. "Safia! Safia! Keluar kamu. Lihat suami kamu!" teriak Bu Neni lalu menghampiri putranya. "Astaga, Arya! Kamu minum?" Bu Neni mengibaskan tangan di depan wajah ketika mencium aroma minuman beralkohol dari napas Arya. Safia yang sejak tadi sebenarnya juga belum tidur karena menunggu Arya, lekas keluar dari dalam kamar begitu mendengar teriakan mama mertuanya. Sengaja Safia mengurung diri di dalam kabar karena malas berdebat dengan Bu Neni acapkali mereka dipertemukan. Safia melihat Bu Neni yang kesusahan membawa Arya masuk ke dalam rumah. Mereka berdua sempoyongan karena beban tubuh Arya yang tidak sepadan dengan tubuh kecil mamanya. Sigap Safia membantu mengambil alihnya. Merangkul lengan Arya untuk dia bawa ke kamarnya. "Puas kamu Safia membuat anakku jadi pemabuk!" Safia menghela napas berat. Arya yang mabuk kenapa dia yang disalahkan? Begitulah pikir Safia yang tidak berani membantah mertuanya. "Bawa ke kamar dan urus Arya." "Iya, Ma." Bu Neni menutup kembali pintu rumah, sementara Safia dengan kesusahan berhasil juga membawa Arya masuk ke dalam kamar. "Hati-hati, Mas." Dengan pelan dan sedikit kesusahan Safia mendudukkan Arya di pinggiran ranjang. Namun, ketika Safia hendak bangkit berdiri untuk menutup pintu kamar, Arya menahan dengan menarik lengannya hingga Safia jatuh terduduk di paha Arya. "Mas Arya!" pekik Safia terkejut dengan sikap suaminya. Pria itu malah terkekeh. Mendekatkan wajah di ceruk leher Safia. "Wangi," ucapnya lalu mengecup kulit leher Safia. Safia menahan napas karena aroma alkohol yang menguar. Safia mencoba bangun dan mendorong dadaa Arya. "Kamu mabuk, Mas?" "Aku tidak mabuk. Aku hanya minum sedikit tadi." Safia menjauhkan dirinya. Tapi lagi-lagi tangannya dicekal oleh Arya. "Mau ke mana kamu, Safia!" "Nutup pintu," jawabnya berhasil menepis tangan Arya. Safia gegas menutup pintu kamar. Saat berbalik badan, Safia menelan ludah kesusahan karena kini Arya yang bangkit dari duduknya malah mendekatinya. Safia panik. Ingin menghindar tapi terlambat karena Arya berhasil mengurung tubuhnya dengan kedua lengan. "Mas!" Safia melengos kala Arya ingin mencium sehingga bibir Arya malah meleset di pipi mulus Safia. "Kenapa? Kamu menolakku, hem? Bukankan ini yang kamu inginkan sejak dulu, Safia! Bisa menikah denganku. Bahkan kamu tega menyingkirkan sahabat kamu sendiri demi bisa menikah denganku." "Mas! Itu fitnah. Aku memang menyukaimu dan mencintai kamu. Tapi aku sadar jika yang lebih kamu pilih adalah Wila. Lagipula aku tidak pernah berbuat kotor apa lagi sampai berniat menyingkirkan Wila. Itu tidak benar. Apa yang menimpa Wila murni kecelakaan." "Bullshit!" Arya menggeram. Menarik lengan Safia dan menghempaskan di atas ranjang. Arya menindih tubuh Safia. "Sekarang terima apa yang kamu inginkan dariku, Safia!" "Mas!" Safia tak mampu mengelak karena Arya mencengkeram dagunya. Menjatuhkan bibirnya di atas bibir Safia. Menciumnya dengan brutal. Bahkan tak mengindahkan permohonan Safia yang telah kehabisan napas akibat ciuman yang memburu dan menuntut. Yang Safia rasakan tak hanya perih pada bibirnya yang dicumbu oleh Arya. Tapi hatinya pun ikut sakit dengan perlakuan Arya. Ciuman di bibir terlepas. Safia meraup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-parunya. Arya tidak mau diam. Ciumannya merambat dari leher hingga ke dadanya. Bahkan dengan brutal dan tidak sabaran merobek baju yang Safia kenakan. Safia tak mampu mengelak apalagi menghindar. Tubuh besar Arya tentu saja bukan lah tandingannya. Tangisan pun tak Arya pedulikan karena yang pria itu kejar hanyalah kepuasan diri sendiri. Di pelepasan terakhirnya, Arya melenguh puas sembari bergumam. "Argh, Wila! Kau sungguh luar biasa nikmatnya." Tubuh Arya terguling di sisi tubuh Safia. Matanya terpejam dalam posisi tengkurap. Tak menghiraukan tubuh polosnya, Arya langsung tertidur setelah mendapatkan pelepasannya. Dan Safia, perempuan itu menangis dalam diam. Tak hanya tubuhnya yang remuk redam. Tapi hatinya juga. Tak ingin menyalahkan Arya yang masih juga belum bisa move on dari Wila. Begitu besarnya rasa cinta Arya pada Wila. Dengan tertatih, Safia menarik dirinya. Menyeret langkah kakinya memasuki kamar mandi. Membersihkan dirinya dari jejak kekasaran Arya. Menahan rasa perih pada area kewani_taannya karena Arya melakukan semua tanpa pemanasan. Sungguh, sampai di titik ini ingin sekali Safia menyerah. Tapi rasanya akan sia-sia jika dia menyerah untuk sekarang ini. "Ya, mungkin masih ada harapan untukku membuat Mas Arya jatuh cinta padaku," ucap Safia pada dirinya sendiri. Dalam hati Safia bertekad, jika sampai satu tahun usia pernikahan, Arya masih juga belum bisa menerima kehadirannya dengan sepenuh hati, maka Safia barulah akan pergi. Keluar dari dalam kamar mandi. Memandangi tubuh berotot Arya yang membuatnya makin jatuh cinta pada pria itu. Bahkan Safia membiarkan rasa cinta itu mengakar dalam dirinya. "Sesulit inikah untuk membuatmu jatuh cinta sama aku, Mas!" Safia mendekat. Menarik selimut lalu membungkus tubuh polos Arya. "Wila, maafkan aku jika aku tak bisa mengenyahkan rasa cinta pada priamu." Safia tersenyum. Ada sedih mengingat kepergian Wila, tapi ada juga secerah harapan untuk dia mencoba membahagiakan Arya seperti apa yang Wila minta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD