Safia memasuki kamar setelah selesai dengan pekerjaan dapur dan bersih-bersihnya. Rutinitas yang bagi Safia sudah biasa, meski pun di rumah mertuanya ini lebih berat pekerjaannya. Semenjak ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu, Safia memang terbiasa hidup mandiri sekalipun dia adalah anak bungsu perempuan satu-satunya dalam keluarga. Terlebih setahun terakhir ini Safia juga memutuskan tinggal sendiri di sebuah rumah kosan yang membuatnya terbiasa mengurus diri sendiri.
Pandangan mata Safia mengarah pada Arya yang sedang memasang celana kerja dengan terburu-buru. Pria itu menoleh sekilas pada kedatangan sang istri. "Ambilkan dasi dan kaos kakiku!"
Perintah itu tentu saja ditujukan untuk Safia karena di dalam kamar ini hanya ada mereka berdua.
Safia yang melihat bagaimana Arya memakai pakaiannya dengan serampangan hanya geleng-geleng kepala. "Dasi dan kaos kakinya di mana memangnya, Mas?"
"Di dalam lemari lah. Gitu saja pakai nanya."
"Tapi kan Mas Arya sendiri yang melarangku untuk membuka lemari bajunya Mas."
Mata Arya mendelik. Bukan Arya namanya jika tidak mau kalah omongan dengan Safia. "Jangan banyak bicara kamu, Safia. Aku terburu-buru begini juga karena kamu!"
Mata Safia membulat. Kali ini apalagi salahnya sampai Arya kembali menyalahkannya. "Loh, kok aku Mas?"
"Gara-gara kamu yang tidak mau membangunkan, aku jadi kesiangan bangun."
"Aku sudah membangunkan Mas Arya tadi. Tapi Mas Arya sendiri yang memang susah bangun."
"Halah jangan banyak alasan. Buruan ambil dasi dan kaos kakiku. Aku sudah terlambat."
"Ini juga masih belum ada jam tujuh Mas. Masih ada waktu satu jam lebih."
"Aku ada pertemuan dengan klien diluar pagi ini."
"Oh," jawab Safia lalu melangkah menuju lemari. Mengabaikan peringatan Arya karena ternyata pria itu sendiri yang malah menyuruhnya membuka lemari baju.
Safia meneliti beberapa dasi yang tergantung di sana lalu mencocokkan warnanya dengan kemeja yang Arya gunakan. Setelahnya tak lupa Safia juga mengambil kaos kaki yang hampir semuanya berwarna hitam. Jadi Safia asal ambil saja satu di antaranya.
"Ini, Mas."
Arya merebutnya begitu saja lalu lekas memakainya.
Tanpa berkata apapun lagi Arya mengambil tas kerja dan ketika hendak keluar kamar, Safia berkata dengan lumayan lantang.
"Sarapan dulu Mas sebelum berangkat. Sudah aku siapkan di meja makan."
"Aku terburu-buru."
Hanya itu jawaban Arya sebelum pergi meninggalkan kamar dan Safia. Perempuan itu menghela napas panjang. "Suka-suka kau lah Mas," gerutunya lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajah yang berminyak karena selesai masak tadi.
***
Wanita cantik berbalut kemeja rapi dan rok sepanjang atas lutut, melangkah dengan anggun keluar dari dalam lift. Siang ini dia sedang ingin pergi keluar sebentar menghabiskan waktu istirahatnya untuk ngopi sekalian mendinginkan pikiran lantaran beban pekerjaan.
Begitu langkah kakinya memasuki lobi, Kania mengernyit melihat punggung seorang lelaki yang menuju resepsionis. Matanya memicing melihat sosok yang dia kenal.
"Fiq!" panggilnya, membuat si pria menolehkan kepala. Senyum pria itu mengembang. Berpamitan pada resepsionis setelah mengembalikan visitor card.
"Kania!" Lelaki bernama Safiq menghampiri Kania. Keduanya saling berjabat tangan.
"Kok bisa ada di sini?"
"Oh, tadi ada pertemuan dengan CEO-mu."
"Wow, jangan katakan jika perusahaanmu akan bekerja sama dengan perusahaan ini?" tebak Kania.
"Lebih kurangnya seperti itu," jawab si pria lalu pandangannya mengedar mencari seseorang. Hal itu jelas diketahui oleh Kania.
"Cari siapa?"
Bukannya menjawab, Safiq malah bertanya. "Dia baik-baik saja, kan?"
Kania mengedikkan bahunya. "Mungkin," jawabnya ambigu membuat Safiq mencurigai sesuatu.
"Eum ... kamu ada waktu? Ayo kita ngobrol diluar."
"Kebetulan aku sedang ingin ngopi. Let's go!"
Safiq tersenyum. Mengikuti Kania keluar dari dalam lobi kantor.
Keduanya memilih menaiki satu mobil yang sama yaitu lebih tepatnya Kania yang menumpang di mobil milik Safiq, setelah pria itu bersedia mengantar kembali ke tempat ini begitu mereka selesai nanti.
Sementara itu, Arya yang siang ini baru saja selesai meeting dan mengunjungi salah satu mall yang memang menjalin kerjasama dengan perusahaan garmen tempatnya bekerja.
Pria itu tidak jadi turun dari dalam mobil. Memperhatikan lekat-lekat sosok Kania yang masuk ke dalam sebuah mobil bersama seorang pria yang sudah pernah dia temui satu kali.
"Pantas saja Kania dekat dengan Safia," ujarnya seorang diri menerka-nerka jika Kania dan pria tersebut memang menjalin sebuah hubungan.
•••
Waktu bergulir begitu cepat hingga tanpa terasa setelah seharian sibuk bekerja, tiba-tiba sudah sore saja. Apalagi pekerjaan Safia sebagai seorang staff administrasi yang mengharuskannya duduk seharian menekuri komputer. Jarang keluar ruangan jika tidak sedang ingin ke pantry atau ruang fotokopi. Tidak juga pernah keluar kantor karena pekerjaan yang dis geluti tidak berhubungan dengan orang dari luar kantor mereka.
Di ruang kerjanya, beberapa kali Safia memijit tengkuk yang terasa berat. Tubuhnya terasa begitu lelah. Bahkan matanya juga turut merasakan berat. Memilih meninggalkan ruangannya untuk menuju pantry.
Wanita itu menyeduh teh hangat lalu duduk sendirian di dalam pantry yang tumben sekali tak ada sesiapapun di pukul tiga sore ini. Menikmati cairan hangat yang terasa nyaman ketika melewati tenggorokannya. Safia meyakinkan diri agar tidak tumbang karena bagaimana pun dia tidak ingin terlihat lemah di mata Arya dan keluarga suaminya. Safia mengembuskan napas lelah. Sekelebat bayangan Wila merasuki pikirannya. Entah Safia harus sedih atau bahagia. Yang pasti karena Wila, kehidupannya berubah jauh menjadi lebih berat.
Untuk kedua kalinya wanita itu mengembuskan napas lelah, tepat di saat pintu pantry terbuka. Kepala Safia memutar pada arah keberadaan pintu. Lega ketika melihat sosok Kania di sana.
"Saf, ternyata kamu di sini."
"Hai, Kan. Kamu mau ngopi?" tebaknya karena Safia tahu betul bahwa Kania adalah pecinta kopi.
"Sepertinya ngeteh anget kayak punya kamu enak," ucap Kania mengintip pada isi cangkir Safia.
"Mau dibuatin?"
"Enggaklah. Nanti saja aku bikin sendiri," jawab Kania lalu menyeret kursi dan duduk di samping Safia. "Saf, wajah kamu pucat. Kamu sakit?" tanya Kania sembari memperhatikan wajah temannya.
"Lagi kurang enak badan."
"Rutin minum vitamin, Saf! Apalagi kalau aku lihat setelah menikah sepertinya kamu sangat lelah. Apa Arya yang membuatmu seperti itu?"
"Seperti itu apa?"
"Ya itu namanya pengantin baru aku tahu lah. Saf, kalau kamu ada masalah, cerita saja karena jujur aku melihat kamu seperti orang yang tertekan. Jika kamu memang tidak bahagia dengan pernikahan itu, kenapa nggak kamu lepaskan saja. Toh, pernikahan yang kamu jalani bukan karena keinginan kamu sendiri. Yang penting, kamu sudah menjalankan amanat Wila."
"Nggak bisa gitu juga, Kania!"
"Kenapa?"
Safia menggigit bibir dalamnya. Ragu untuk berterus terang karena yang tahu tentang perasaannya, hanyalah dia seorang dan Arya tentunya karena dulu Safia pernah mengungkapkan isi hatinya pada pria itu.
Tidak dengan Kania yang bahkan tak tahu apa-apa, mengira Safia menerima pernikahan itu hanya karena menyayangi almarhum sahabatnya saja.
Karena Safia tak kunjung menjawab, Kania kembali berucap, "Saf!"
Wanita itu tersentak, menghela napas panjang sebelum ia mengungkapkan sesuatu yang mungkin akan membuat Kania terkejut. "Aku mencintai Arya, Kan."
Benar saja. Kania mengerjab-ngerjabkan matanya demi mendengar sesuatu yang tidak dia sangka-sangka sebelumnya. "Saf! Kamu serius?"
Anggukkan kepala Safia, sudah mewakili jawaban wanita itu. Kania menelan ludah. "Tapi, apakah Arya memiliki perasaan yang sama untukmu?"
Safia hanya menggeleng. Kania kembali bertanya, "Arya tahu kamu mencintainya?"
Safia mengangguk. Bibirnya sungguh kelu untuk menjawab semua pertanyaan Kania.
"Lalu ... selama pernikahan kalian, apakah Arya memperlakukan kamu dengan baik?"
Safia belum siap bercerita banyak. "Kan, aku dan Mas Arya masih membutuhkan waktu untuk bisa saling menerima dan mengenal dengan baik."
"Tapi yang aku lihat dari interaksi kalian berdua, sepertinya ada yang janggal. Maaf Saf jika aku terlalu ikut campur. Karena tidak hanya aku saja yang khawatir padamu. Tapi juga Safiq."
Safia sontak menatap penuh tanya pada Kania yang kemudian sahabatnya itu kembali berucap, "Tadi aku baru saja bertemu dengan Safiq."