7. Kekesalan Arya

1029 Words
Dengan lesu Safia berjalan memasuki lobi kantor. Mengabaikan penampilannya yang berantakan karena tukang ojek yang mengantarnya harus menjalankan motor dengan kencang. Rambutnya berantakan tertiup angin saat perjalanan. Hanya dia sisir dengan menggunakan jari-jarinya lalu merogoh tali rambut yang ada di saku celana. Mengikat tinggi-tinggi rambut panjangnya sembari menuju lift untuk dapat sampai di ruang kerjanya. Siapa sangka jika di sana, depan pintu lift yang masih tertutup, Arya Mahendra sedang mengobrol dengan rekan kerjanya. Mereka sama-sama sedang menunggu lift terbuka, bersama beberapa orang karyawan yang lainnya. "Saf, sini!" Panggilan itu mengusik indera pendengaran Arya. Pria itu menoleh, melihat sekilas pada sang istri yang malah melengos seolah tidak mengenalinya. Yang Safia lakukan justru menghampiri seorang wanita yang tadi memanggil nama istrinya itu. Kania. Perempuan yang memiliki jabatan setara dengannya, dan Arya jadi tahu jika Kania mengenal dekat Safia. Selama ini, Arya tidak pernah peduli atau bahkan tidak mau tahu tentang Safia meski wanita itu dulunya bersahabat dekat dengan Wila, kekasihnya. Sementara Safia, wanita itu bersikap demikian karena ingat akan peringatan Arya, jika di kantor mereka hanyalah atasan dan bawahan. Tidak boleh juga sok akrab meski hampir seluruh karyawan tahu bahwa dia dan Arya baru saja menikah beberapa hari lalu. Lagipula, ada sedikit rasa malu yang Safia rasakan ketika harus bertemu pandang dengan Arya setelah apa yang mereka lakukan semalam. Bagaimana pun juga, semalam adalah pengalaman pertama bagi Safia. Tentulah rasa malu itu ada ketika mengingat bagaimana tubuhnya yang polos dikuasai oleh Arya. Safia tersentak akan lamunan kala mendengar perkataan Kania. "Saf, berantakan banget sih!" protes Kania yang juga sama-sama sedang menunggu lift. Bersama Arya dan rekan yang lainnya. Safia hanya nyengir. "Namanya juga naik ojek. Wajar kena angin," jawab Safia jujur. Perempuan itu melirik pada Arya yang berdiri tak jauh darinya. "Ngapain naik ojek. Kamu nggak bareng sama Pak Arya?" Arya yang mendengar namanya disebut, melirik tajam pada keduanya yang disadari Safia bahwa situasi ini akan sangat menyulitkannya. Beruntung, pintu lift terbuka. Perbicangan dengan Kania terjeda karena kini mereka berbondong-bondong untuk dapat masuk ke dalam lift. Tubuh Safia terdorong hingga tanpa sengaja punggungnya menubruk d**a bidang Arya. Safia mendongak, menelan ludah kasar tak berani berkata-kata begitu melihat tatapan Arya yang sama sekali tidak bersahabat. Safia pikir setelah apa yang ia berikan pada Arya semalam, maka suaminya itu bisa sedikit saja meluluhkan hatinya untuk dapat menerima kehadirannya. Namun, nyatanya apa? Safia lekas membuang pandangan dan tidak ingin timbul interaksi apapun dengan suaminya. Lift yang penuh sesak, membuat Safia kesulitan bernapas. Terlebih dengan adanya Arya. Jantung Safia berdetak begitu hebatnya. Entah kenapa Safia masih juga berdebar-debar acapkali menghirup dalam aroma parfum yang Arya pakai. Beginikah rasanya cinta sendiri? Mencintai seorang pria dalam situasi dan kondisi yang tidak tepat. Safia menghitung dalam hati berharap pintu lift segera terbuka, lalu dia terbebas dari rasa canggung ketika harus berdekatan dengan Arya. Dan ketika pintu lift benar-benar terbuka, Arya melenggang keluar begitu saja. Tanpa menyapa Safia. Hal itu membuat Kania mengerutkan keningnya. Makin menguatkan dugaan bahwa pernikahan di antara Safia dengan Arya, memang ada yang tidak beres. Mengingat bagaimana mereka berdua yang tiba-tiba menikah setelah calon istri Arya meninggal dunia di tiga hari sebelum pernikahan. "Saf!". panggil Kania. Safia yang masih menatap punggung Arya yang menjauh, menolehkan kepala. Keduanya melangkah bersama meninggalkan lift untuk dapat menjangkau ruangan masing-masing yang kebetulan berada di satu lantai yang sama. "Ya?" "Apa kamu bahagia dengan pernikahanmu?" Safia menghela napas panjang sembari mengedikkan bahunya. "Entahlah. Mungkin aku dan Mas Arya memang masih membutuhkan waktu saja untuk saling menjajagi satu sama lain." Kania tak lagi membahas. Karena mereka memang harus berpisah di persimpangan menuju ruang kerja masing-masing. ••• “Nyonya Arya masih doyan juga makan di kantin? Aku pikir setelah menjadi istri manager, levelnya akan lebih tinggi satu tingkatan setidaknya.Ternyata masih tetap sama,” celetuk salah satu karyawan perempuan yang berpapasan dengannya ketika siang ini, di jam istirahat Safia ingin makan siang di kantin kantor. Biasanya dia juga seperti ini. Lebih suka makan di kantin. Safia terlalu malas bepergian ke luar. Maklum saja cuaca di luar sangat panas dan Safia tidak ingin sinar matahari membakar kulit putihnya. Tak menjawab sindiran rekan kerjanya tersebut, Safia melewatinya begitu saja. Tidak ingin juga mencari keributan di kantor dan salah satu caranya adalah dengan diam dan menghindar. Safia paham jika tidak semua orang menyukainya terlebih setelah apa yang terjadi di antara dia, Wila dan juga Arya. Makin banyak saja yang membicarakannya. Terutama terkait pernikahannya dengan Arya. Ada yang mengatainya tega merebut Arya bahkan menikah di saat tanah kubu_ran Wila masih basah. Ada juga yang menyalahkannya terkait kecelakaan yang terjadi hingga merenggut nyawa Wila. Ya, Tuhan. Andai Safia mampu, dia juga tidak menginginkan kematian Wila. Dia juga tidak menginginkan pernikahan itu jika tidak karena amanat Wila, sahabatnya. Meski Safia akui dia memang mencintai Arya sejak sebelum dia tahu jika Arya dan Wila adalah pasangan kekasih. Tak mau meladeni siapapun juga mereka-mereka yang tidak menyukai kehadirannya, Safia gegas mengambil nasi, sayur dan juga lauk seperlunya. Membawa nampan menjauhi meja prasmanan untuk mencari tempat duduk yang kosong. Sedikit sulit untuk bisa menyendiri di bangku kosong karena beberapa kursi memang telah diduduki oleh para karyawan yang juga sedang makan siang. Kepala Safia menoleh ke kiri dan ke kanan. Di saat itulah tanpa sengaja pandangan matanya bersiborok dengan Arya yang duduk tak jauh darinya. Pria itu tidak sendirian, melainkan bersama rekan sesama manager. Kali ini Arya lah yang lebih dulu melengos dan membuang pandangan. Safia hanya geleng-geleng kepala saja melihat buruknya sikap Arya padanya. Baiklah, Safia tidak perlu ambil pusing dengan Arya yang mengabaikannya. “Safia! Duduk sini.” Panggilan itu berasal dari salah satu meja yang sudah diduduki oleh seorang lelaki yang merupakan karyawan di bagian IT. Safia tersenyum karena memang telah mengenal baik sosok Bian. Selain Kania, Bian adalah teman baiknya. Sebenarnya beberapa di antara para karyawan di perusahaan ini juga berhubungan baik dengannya. Tapi itu dulu sebelum semua berubah dan seolah menjauh darinya. Rupanya, teriakan Bian yang lumayan lantang menarik perhatian Arya. Pria itu hanya melirik sekilas pada Safia yang tersenyum lalu berjalan menuju meja Bian. Arya mendengus kesal merasa jika Safia sangatlah murahan. Di dalam benak pria itu berucap, apa dia tidak malu makan semeja dengan pria lain sementara semua karyawan tahu bahwa aku lah suaminya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD