6. Hinaan Mertua

1020 Words
Langkah kaki Safia terhenti di dekat ruang makan. Menatap pada meja makan yang berserakan bekas makanan keluarga Arya. Bahkan Arya sendiri pun masih duduk di sana. Menoleh sekilas melihat pada kehadirannya. “Mas, kalian semua sudah makan?” tanya Safia dengan nada bergetar menahan rasa sesak di dalam dadanya. Capek-capek belanja, yang di rumah malah sudah makan semua. “Hem,” jawab pria itu malas, mengelap mulut dengan tisu lalu beranjak dari duduknya. “Mas!” panggilnya lagi, tapi sama sekali tidak direspon oleh Arya sebab pria itu meninggalkannya begitu saja dan masuk ke dalam kamar dengan sedikit bantingan pada pintunya. Safia menelan ludah kasar. Rasanya dia ingin marah, tapi pada siapa. “Fia! Bereskan meja makan dan cuci semua jangan sampai ada kotoran di meja makan. Saya mau tidur.” Fia menolehkan kepala pada keberadaan sang mertua. Brak! Sekali lagi, suara nyaringnya Bu Neni yang menutup pintu kamar membuat tubuh Safia terlonjak kaget. Mengusap dadanya dan hanya mampu berucap, “Astagfirullah, sabar Fia.” Meletakkan barang belanjaan di atas meja makan. Lalu satu per satu peralatan bekas makan mereka, Safia tumpuk menjadi satu dan membawanya ke wastafel pencuci piring. Sementara sampah-sampah yang berserakan, ia kumpulkan juga menjadi satu. Langsung dia buang ke bak sampah yang ada di depan rumah. Air mata yang sejak tadi dia tahan menetes tanpa dapat dicegah. Sakit sekali rasanya diperlakukan tidak manusiawi seperti ini. Bahkan perut Safia yang keroncongan berusaha tidak dia rasakan demi cepat-cepat selesai belanja lalu sampai rumah dan memasak. Namun nyatanya apa yang dia dapatkan? Justru sampai di rumah semua keluarga suaminya sudah selesai makan enak dan parahnya lagi sedikit pun tak menyisakan makanan untuknya. Oh Tuhan, cobaan macam apa ini. Safia tidak ingin meratapi kesedihannya malam ini. Segera mengepel lantai dan membereskan belanjaannya lalu menyimpan di dalam lemari pendingin. Untuk mengganjal perutnya yang lapar, Safia hanya meminum dua gelas air putih sampai perut terasa kembung. Rasanya sudah tidak ada tenaga untuk memasak makanan demi mengisi perutnya karena waktu pun telah menunjukkan pukul sebelas malam. Yang ingin Safia lakukan saat ini adalah mandi dan merebahkan badannya yang terasa begitu lelah. Ketika memasuki kamar Arya, Safia pikir pria itu sudah tidur. Ternyata perkiraannya salah sebab Safia melihat Arya masih duduk bersandar pada kepala ranjang dengan bermain ponsel. Safia menghela napas berat, mengalihkan pandangan dari sosok pria yang bisa-bisanya masih bertahta di dalam hatinya meski pun ia telah diperlakukan secara tidak baik dua hari menjadi seorang istri. Wanita itu tak bersuara bahkan tidak ingin melihat pada keberadaan Arya. Membuka lemari untuk mengambil baju ganti. Setelahnya memilih untuk segera membersihkan dirinya yang telah lengket oleh keringat yang membanjiri tubuh setelah aktifitas tiada henti yang dilakukannya hingga jam sebelas malam ini. Sekitar dua puluh menit yang Safia butuhkan untuk mandi dan juga keramas. Rasanya begitu segar. Rasa lelahnya hilang sudah. Melepas handuk yang melilit rambutnya. Mengusap-usap agar rambutnya cepat kering agar nanti tidak membasahi bantal. Jika untuk menghidupkan hair dryer, Safia takut suara berisiknya akan mengganggu waktu istirahat Arya dan membuat pria itu kembali murka. Namun, ketika Safia mendongakkan kepalanya, siapa sangka jika kedua netranya beradu dengan kedua manik hitam milik pria itu yang memandangnya dengan tatapan entah apa. Yang pasti bulu kuduk Safia begitu saja meremang hanya karena Arya tak berkedip menatapnya dengan pergerakan jakun yang naik turun. Safia menelan ludah ketika melihat Arya beranjak turun dari ranjang. Berjalan mendekatinya yang sialnya Safia malah tak mampu menggerakkan kakinya untuk menghindar. Terpaku di tempat dengan jarak yang makin terkikis dengan Arya yang sudah mengitari tubuhnya. Berhenti di belakang tubuh Safia, pria itu mengendus wangi tubuh istrinya yang sialnya membuat Arya tergoda. Tubuh Safia menegang, merasakan kecupan yang tiba-tiba mendarat di kulit lehernya.”Mas,” ucapnya lirih sembari memejamkan mata. Tak ada kata yang Arya lontarkan, hanya tarikan tangannya lah yang membawa tubuh Safia berpindah ke atas ranjang. Safia tak mampu menolak ketika malam ini Arya meminta haknya sebagai seorang suami. ••• Rutinitas pagi yang Safia lakukan di rumah mertuanya sudah mirip-mirip pembantu saja ketimbang seorang menantu. Mengabaikan tubuhnya yang capek dengan tulang-tulang yang serasa hampir lepas dari persendian akibat ulah Arya semalam. Safia masih juga memaksakan dirinya untuk memasak menu sarapan, mencuci pakaian dan juga membereskan rumah sang mertua. Tepat di saat menu sarapan pagi selesai ditata di atas meja, Arya keluar dari dalam kamarnya. Tatapan mereka sempat beradu meski setelahnya Arya membuang pandangan enggan bersitatap dengannya. Bahkan pria itu dengan santai menyeret kursi untuk dia duduki. Menyesap kopi hitam yang baru saja selesai dihidangkan oleh Safia. Tak ada obrolan sampai Bu Neni yang ikut bergabung di meja makan. “Arya, nanti mama mau ada pengajian dengan ibu-ibu kompleks. Bagi mama duit transport, ya?” “Memangnya uang yang aku kasih ke mama sudah habis?” “Masihlah. Tapi itu untuk belanja dan uang makan kita sampai kamu gajian lagi. Kalau mama gunakan untuk hal yang lainnya, nanti habis kamu marahi.” Tanpa banyak kata, Arya merogoh saku celananya mengambil dompet lalu membukanya. Mengambil lima lembar uang seratus ribuan untuk dia berikan pada sang mama. Wajah Bu Neni berbinar bahagia. “Terima kasih, Ya. Semoga rejeki kamu selalu lancar.” “Iya. Aku berangkat dulu, Ma!” Arya beranjak berdiri, berpamitan pada Bu Neni dan lagi-lagi mengabaikan Safia. Safia mendongakkan kepalanya. Sengaja memanggil suaminya, siapa tahu saja lelaki itu mau berbaik hati memberikannya tumpangan ke kantor. “Mas! Aku boleh bareng ke kantor nggak?” Arya menatap sekilas pada Safia, sebelum pria itu menjawab, “Aku buru-buru.” Melanjutkan langkah meninggalkan meja makan dan Safia dengan rasa kecewanya. Bu Neni mencibir menantunya. “Lagian kamu ini jadi istri jangan manja. Biasanya juga naik ojek, sok-sokan mau bareng Arya segala. Malu-maluin Arya saja. Anak saya itu Manager di kantornya. Nggak selevel sama karyawan rendahan kayak kamu. Jadi, jangan malu-maluin Arya, kamu! Sudah untung Arya mau menikahi kamu. Jadi … jangan ngelunjak!” Safia diam. Kenapa Bu Neni frontal sekali menghinanya. Bahkan almarhum Wila pun memiliki posisi yang sama di kantor. Staff biasa sepertinya. Akan tetapi yang Wila selalu ceritakan jika Bu Neni selalu bersikap baik dan menyayanginya selama sahabatnya itu menjalin hubungan asmara dengan Arya. Lantas, kenapa Bu Neni memperlakukannya berbeda dan malah menghinanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD