15. Kekejaman Mertua

1002 Words
Dari lokasi proyek, Arya tidak kembali ke kantor, tapi entah ada dorongan dari mana yang membuatnya ingin pulang lalu makan siang di rumah. Dua hari Safia sakit dan hal itu juga membuat Arya sedikit khawatir. Dia takut andai sakitnya Safia karena letih telah disuruh banyak hal oleh mamanya. Tapi, biarlah. Jika semisal Safia tidak betah, wanita itu bisa menyerah saja dan pergi meninggalkannya tanpa harus repot-repot dia mengusir dari kehidupannya. Belum juga pria itu sampai rumah, ponselnya berdering dan ketika Arya meraihnya, nomor Ridwan--kakak iparnya-- yang kini menelpon. Takut terjadi apa-apa, Arya lekas menjawabnya. "Halo, Mas." "Kamu di mana, Ya?" "Lagi perjalanan pulang." "Pulang ke rumah, kan?" "Iya. Kenapa, Mas?" "Safia barusan pingsan." "Hah! Kok bisa? Sebentar lagi aku sampai." Arya menutup panggilan secara sepihak. Menambah kecepatan laju mobilnya. "Apa lagi yang diperbuat wanita itu. Terus saja merepotkan!" Sepuluh menit kemudian, mobil Arya sudah parkir di depan pagar. Dengan gerakan cepat, pria itu melompat turun. Meski tidak mencintai Safia, tapi Arya masih memiliki sedikit rasa tanggung jawab pada wanita itu karena Safia adalah istrinya. "Mas! Kenapa lagi dia?" tanyanya ketika berhasil masuk ke dalam ruang tamu. Di sana nampak Chika--keponakannya-- sedang mengoleskan minyak kayu putih di hidung Safia. Mata wanita itu sudah terbuka dengan wajah terlihat pucat. "Maaf sudah merepotkan semua," ucap Safia lirih yang sukses memunculkan decakan dari sela bibir Arya. Ridwan yang duduk di samping Chika buka suara. "Tadi Chika nangis-nangis telpon aku. Katanya Tante Safia lemas lalu pingsan. Aku buru-buru datang. Beruntung Safia tidak kenapa-kenapa." "Om Arya, maafkan Chika ya. Tadi sungguhan Chika takut sekali." Safia memaksakan senyuman. "Chika, maafkan Tante ya sudah membuat Chika ketakutan." Arya langsung menyela. "Lagian, kamu ini kenapa bisanya menyusahkan saja!" "Maaf." Ridwan lekas menengahi. "Sudah ... sudah, Ya. Jangan dimarahi. Lebih baik kamu bantu Safia masuk ke dalam kamar. Dia butuh istirahat." Arya mengangguk. Lalu membantu Safia untuk berdiri dan memapah wanita itu masuk ke dalam kamar. "Maaf, Mas, karena aku selalu menyusahkan. Jujur, aku masih trauma membawa motor tapi karena terpaksa harus jemput Chika, jadi aku nurut saja ketika Kak Alya meminta agar aku menaiki motornya." "Apa! Kenapa Kak Alya nyuruh kamu buat jemput Chika? Ke mana Kak Alya dan Mama?" "Mereka sedang pergi. Tapi untung saja aku pingsannya sudah sampai di rumah. Tapi tetep aja aku kasihan sama Chika. Sudah kutahan-tahan agar kuat sampai rumah. Tapi cuaca panas, ditambah kepala pusing dan badan gemetar karena masih takut bawa motor, jadinya aku pingsan." "Lagian sudah tahu kamu nggak becus bawa motor, kenapa harus memaksakan diri, hah! Apa kamu mau menghilangkan nyawa Chika seperti kamu merenggut nyawa Wila!" "Mas! Kenapa kamu ngomong kayak gitu?" "Masih untung kamu tidak kenapa-kenapa di jalan. Kalau semisal tadi kamu celaka di jalan dan membahayakan Chika, bisa habis kamu sama Kak Alya. Lagian sok sok an kuat. Kalau nggak sanggup, kamu tidak perlu memaksakan diri jika ujung-ujungnya akan menimbulkan celaka. Cukup Wila saja yang kamu korbankan." Safia menunduk dalam. Arya masih begitu benci padanya karena mengira dia lah penyebab kematian Wila. "Mas, kamu masih saja menuduh aku sebagai penyebab kecelakaan itu. Padahal, semua bukan atas kehendakku." "Tapi kalau kamu bisa lebih berhati-hati, kecelakaan itu tak akan pernah terjadi." Arya tidak lagi mau membalas tentang Wila karena hanya akan menambah kesedihannya. Meninggalkan Safia keluar dari dalam kamar. Ia temui kakak ipar bersama keponakannya. "Arya, Mas bawa pulang Chika dulu, ya?" "Kak Alya sama mama ke mana sih, Mas?" "Kata Safia tadi mereka keluar. Mas sudah telpon tapi nggak diangkat. Chika tadi juga telepon mamanya nggak bisa makanya dia ngehubungin Mas." "Maaf ya Mas sudah ngerepotin." "Seharusnya Mas yang minta maaf karena sudah merepotkan Safia. Mana Safia katanya sakit malah disuruh Alya jemput Chika." Ridwan meminta pada putrinya agar bersiap-siap. "Kami pulang, Ya." Sepeninggalan keduanya, Arya kembali masuk ke dalam kamar. Melihat Safia yang meringkuk di atas ranjang sembari memejamkan matanya. "Aku balik kantor. Kamu jangan bikin ulah lagi!" Safia tidak menjawab karena apapun yang dia lakukan, pasti tetap salah di mata Arya. ••• "Safia! Safia!" teriakan Bu Neni mengejutkan Safia yang tengah tertidur. Kepalanya pusing dan makin pening karena teriakan melengking mertuanya. Ya, Tuhan. Bagaimana dia bisa sembuh jika mertuanya saja terus membuat masalah seperti ini. Brak! Pintu kamar terbuka dan Bu Neni lah pelakunya. Wanita berusia setengah abad itu mendekati ranjang. Menarik kasar selimut yang membungkus tubuh Safia. "Bagus ya kamu bisa enak-enakan tidur setelah membuat kekacauan. Bangun kamu!" Tidak puas memaki, Bu Neni menarik lengan Safia dan memaksanya bangun. Tubuh Safia terhuyung hampir terjungkal dari atas ranjang. "Ma!" "Apa yang sudah kamu lakukan sama Chika, hah! Kenapa Ridwan sampai marah-marah sama Alya?" "Saya tidak tahu, Ma." "Dasar menantu nggak guna. Padahal Alya hanya meminta bantuan kamu untuk menjemput Chika. Tapi apa yang kamu lakukan! Malah ngadu yang bukan-bukan sama Ridwan. Puas kamu membuat anak saya bertengkar dan disalahkan sama suaminya. Dasar wanita tidak tahu diri, tidak berguna." Tidak hanya mulut Bu Neni yang mengomel, tapi kedua tangan Bu Neni juga tak mau tinggal diam. Memukul bahkan mencubit dan menjambak rambut Safia saking geramnya dia dengan sang menantu yang dianggap tidak berguna karena sukses mengadu yang bukan-bukan pada Ridwan--suami anak perempuannya. "Ma! Aku nggak ngadu apa-apa sama Mas Ridwan. Mama salah paham." "Masih berani kamu menjawab mama. Sudah tahu salah masih saja melawan!" Bu Neni mendorong Safia hingga jatuh telentang di atas ranjang. Telunjuk Bu Neni menuding ke arah Safia yang terisak karena merasa nyeri di hati dan kulit tubuhnya yang terasa perih. "Awas saja saya tidak akan tinggal diam karena kamu sudah berani membuat masalah dengan keluarga saya!" Bu Neni balik badan. Tanpa rasa iba juga tanpa belas kasihan, wanita itu meninggalkan kamar Safia. Membiarkan menantunya itu menangis sesenggukan. Sungguh rasanya tidak kuat menghadapi sang mertua yang makin ke sini makin berani melakukan kekerasan fisik padanya. Keputusan Safia untuk mulai merutinkan meminum pil pencegah kehamilan adalah sudah tepat. Jangan sampai dia memiliki keturunan yang akan hidup di keluarga penuh kekerasan. Apakah dia sanggup bertahan untuk tetap menjalani pernikahan ini. Bahkan rasa cinta yang dia miliki untuk Arya, hanya mampu dia rasakan tanpa berani ia ungkapkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD