Dua hari sudah Safia hanya mampu mendekam di dalam kamar. Dia gunakan juga sakitnya ini sebagai alasan untuknya tidak melakukan pekerjaan rumah karena beneran tubuhnya terasa pegal dan sakit semua di mana-mana. Safia benar-benar membutuhkan waktu untuk istirahat cukup agar kondisinya pulih dan sehat kembali seperti sedia kala.
Dan baru Safia tahu jika sebenarnya selama ini Bu Neni memang sering memanggil orang untuk bersih-bersih sekaligus masak. Semacam ART yang tidak menginap. Safia tahu ketika dia sempat bertanya-tanya pada sosok wanita yang berusia sekitar empat puluh tahunan yang beberapa hari ini juga memasakkan dia bubur dan juga soup. Ternyata sakit bisa membuat Arya sedikit luluh dan mau peduli padanya,. Tapi tidak dengan Bu Neni yang masih juga kerap mengomel dan juga menyindirnya dengan berbagai macam kata-kata pedas yang tidak mau Safia dengar.
“Sudah Mbak jangan didengar. Ibu itu ya begitu. Sudah menjadi wataknya sering ngomel. Saya saja sudah kebal lama-lama bekerja sama beliau. Untung saja Mas Arya itu loyal banget. Jadi saya masih mau kerja di sini meski kadang juga tidak setiap hari,” ucap wanita bernama Ningsih.
Namun, belum juga banyak obrolan di antara mereka, Bu Neni sudah meneriaki nama Ningsih sehingga wanita itu langsung ngacir keluar dari dalam kamar Safia.
“Ningsih, kerja kamu itu untuk membersihkan rumah dan memasak, bukan untuk mengobrol dengan mantu tidak guna seperti Safia itu. Paham kamu!"
“Injih, Bu.”
“Ya sudah sana buruan kamu selesaikan pekerjaanmu. Biar kamu juga cepat bisa pulang.”
Hal ini yang membuat Ningsih juga betah kerja paruh waktu di rumah ini. Kalau semua kerjaan beres maka dia bisa pulang setiap saat. Toh, hanya menyapu, mengepel, mencuci, menyetrika dan memasak yang dikerjakan sampai jam dua siang saja sudah selesai semua. Biasanya sebelum pulang, Ningsih juga sudah memasak untuk makan malam yang Bu Neni tinggal menghangatkan saja ketika malam saat Arya pulang.
"Sebaiknya segera kamu selesaikan pekerjaanmu lalu pulang. Besok kamu tidak perlu kembali lagi karena sepertinya Safia sudah sehat dan bisa menggantikan kamu untuk bersih-bersih rumah."
"Iya, Bu."
Ningsih sendiri sebenarnya juga merasa kehilangan pekerjaannya tapi wanita itu percaya jika rejeki tidak hanya datang dari Bu Neni juga karena dia pun kerap datang dari rumah ke rumah sebagai buruh cuci setrika.
***
Safia selesai makan dan minum obat tadi sempat tertidur meski hanya sebentar. Efek obat mungkin. Tubuhnya mulai berkeringat dan badannya lebih ringan terasa. Bekas makan yang masih teronggok di atas meja, harus segera Safia bersihkan sebelum Arya melihat lalu akan marah-marah padanya. Karena jika bukan dia sendiri yang membersihkan ... siapa lagi. Meski sakit, Safia tetap dipaksa untuk hidup mandiri. Terkadang ada rasa rindu untuknya kembali ke rumah keluarga. Tapi segera Safia tepis karena hidup mandiri seperti ini adalah pilihannya.
Perempuan itu beranjak bangun dari atas ranjang. Membawa nampan menuju pintu. Belum juga dia membukanya, sayup terdengar suara obrolan dua orang wanita yang Safia tebak adalah mertua dan iparnya. Safia menempelkan telinga pada daun pintu berniat untuk menguping tentunya. Wanita itu sangat ingin tahu apa yang dibicarakan keduanya karena Safia yakin sekali jika dia lah yang selalu menjadi topik pembicaraan di rumah ini. Bukan Safia berburuk sangka tapi memang kenyataannya demikian.
Benar saja, Bu Neni dan Alya memang sedang membicarakan tentangnya.
"Jadi sejak kemarin perempuan itu tidak keluar kamar, Ma?" Alya bertanya.
"Tidak. Dasar manja katanya sakit lah tapi mama yakin sekali jika dia hanya beralasan agar Arya mengasihaninya. Kesel banget mama."
"Tapi masak sih dua hari nggak sembuh-sembuh juga. Apa mama sudah cek sendiri gimana keadaan dia."
"Buat apa juga mama ngecek nanti dia kege-eran. Mama nggak seperhatian itu ya dengannya. Lagian mama benar-benar tidak suka dengan si Safia itu. Gara-gara dia, Arya jadi banyak berubah. Sering pulang malam, juga jadi lebih banyak diam. Pasti Arya tertekan menikah dengannya."
"Jika begitu untuk apa juga Arya mempertahankan dia. Kenapa nggak dicerai saja."
"Nggak tahu lah mama. Kamu coba bicara sama adikmu itu. Ya meski pun semenjak ada Safia, mama jadi bisa menghemat pengeluaran. Tidak perlu bayar Ningsih karena mama dapat pembantu gratisan. Itung-itung duitnya bisa mama gunakan beli emas baru kan."
"Iya sih. Aku juga lagi ngincer tas keluaran terbaru. Nanti lah aku minta Arya buat transfer kalau selesai gajian. Bukankah minggu depan dia terima gaji. Ah, harus sabar menanti."
Deg, Safia yang mendengarnya sungguh terkejut. Jadi selama ini Arya bekerja itu untuk mencukupi kebutuhan semua anggota keluarganya. Bahkan Alya saja yang sudah berkeluarga masih juga meminta duit sama Arya. Jika seperti ini bagaimana nasibnya menjadi istri. Safia masih tak habis pikir dengan apa yang baru didengarnya.
Bahkan sudah hampir sebulan menjadi istri, Arya sama sekali belum pernah memberinya uang nafkah dan Safia masih diam menunggu Arya gajian. Meskipun dia bukanlah wanita yang kekurangan uang tapi tetap saja Arya harus memenuhi kewajibannya untuk menafkahi. Toh, dia pun juga sudah menjalankan tugasnya sebagai seorang istri yang baik di rumah ini. Giliran dia yang harus meminta haknya untuk dinafkahi oleh Arya.
Safia tidak jadi keluar. Sungguh dia malas sekali berurusan dengan mertua dan iparnya. Memilih meletakkan kembali nampan di atas meja. Biar nanti saja dia mencucinya jika Alya sudah pergi dari rumah ini. Jujur Safia kewalahan jika harus menghadapi mertua dan kakak iparnya sekaligus.
Memilih duduk berselonjor kaki di atas ranjang dengan menyandarkan punggungnya. Safia meraih ponselnya. Kening wanita muda itu berkerut ketika mendapatkan pesan dari sebuah nomor yang lekas dia baca isinya.
[Saf, kamu baik-baik saja, kan?]
Safia tersenyum. Pesan dari Safiq yang dia terima. Lekas dia membalasnya. [Aku baik.]
Sengaja Safia hanya menjawab singkat agar tak menimbulkan kecurigaan bahwa sebenarnya dia sedang tidak baik-baik saja. Seolah Safiq selalu tahu jika dia sedang sakit seperti ini.
Belum juga Safiq memberikan balasan, Safia sudah dikejutkan dengan gedoran di pintu kamarnya. "Safia! Keluar kamu. Cepetan!"
Safia menghela napas panjang. Suara itu adalah milik Alya, kakak iparnya.
Dengan malas, perempuan itu turun dari atas ranjang. Menuju pintu lalu membukanya. "Ada apa kak?" tanya Safia sok polos.
Alya berkacak pinggang sembari menelisik penampilan Safia dari atas ke bawah. "Yang seperti inikah mama bilang sakit? Jelas-jelas dia sehat begini. Hei, Safia! Kamu mungkin bisa membodoh-bodohi mama dan Arya. Tapi tidak denganku karena apapun yang kamu katakan, aku tidak akan pernah percaya."
"Tapi aku memang beneran sakit dua hari ini, Kak."
"Jangan banyak alasan. Sekarang kamu keluar dan jemput Chika di sekolahnya. Aku sama mama mau ke mall."
"Tapi, Kak, aku nggak tahu sekolah Chika di mana."
"Itu bukan alasan buat kamu malas-malasan ya! Nanti aku wa di mana alamat sekolah Chika. Jemput pakai motorku yang ada di depan. Awas saja kalau sampai kamu membuat masalah apalagi sampai membuat baret sedikit saja motor kesayanganku."
Setelah mengatakan itu, Alya berlalu begitu saja meninggalkan Safia.
Perempuan itu mengusap dadanya. Ini cobaan apalagi yang dia terima.
Daripada ipar dan mertuanya kembali membuat masalah, Safia lekas keluar dari dalam kamarnya. Nampak olehnya Bu Neni dan Alya sudah rapi dan siap pergi. Safia menelan ludah ketika Bu Neni mendelik menatapnya.
"Jangan lupa kunci pintunya jika kamu tinggal pergi jemput Chika. Mama pergi dulu. Jaga rumah baik-baik."
"Iya, Ma."
Safia menatap nanar kepergian dua orang wanita tersebut yang sudah masuk ke dalam taksi online yang berhenti di depan rumah. Tak lama, ponselnya berdenting menandakan pesan masuk. Dua pesan. Dari Safiq dan nomor tak dikenal. Safia abaikan pesan dari Safiq, lalu membuka pesan dari nomor yang tak bernama. Ternyata itu adalah nomor handphone Alya karena isi pesan menyebutkan sebuah alamat sekolah di mana Chika menuntut ilmu.
Lagi-lagi Safia menelan ludah. Berdiri di teras sembari menatap motor milik Alya yang terparkir di sana. Tubuhnya gemetar. Jujur, ada rasa trauma tersendiri ketika dia harus menaiki motor lagi setelah insiden kecelakaan yang menewaskan Wila. Namun, ada Chika yang sedang menunggunya.
Menarik napas dalam-dalam, lalu ia embuskan perlahan. Mencoba untuk menenangkan dirinya dan melawan rasa traumanya.