Saran Kania, terngiang dalam benak Safia. Mungkin memang benar adanya jika dia jangan terburu untuk memiliki keturunan dari Arya. Mengingat kembali jika tanggal-tanggal sekarang sudah waktunya tamu bulanannya datang sehingga Safia bisa memulai rencananya. Semoga saja dia tidak keburu hamil karena pernah beberapa kali berhubungan dengan sang suami.
Ketika pulang dari kantor, Safia yang merasa kondisinya tak juga membaik dan malah makin sakit, menyempatkan diri untuk membeli obat di apotik. Ragu untuk membeli sekalian pil pencegah kehamilan. Namun, pada akhirnya Safia membulatkan tekad juga untuk membeli obat tersebut tentunya harus berhati-hati dan jangan sampai Arya tahu meski Safia yakin jika Arya juga tak akan mempermasalahkan hal itu. Safia cukup tahu diri jika Arya tidak akan seingin itu memiliki anak darinya jika menerima pernikahan saja masih belum bisa. Mau menidurinya hanya untuk melampiaskan nafsu semata. Safia paham betul akan itu semua. Setidaknya Safia harus menjaga dirinya sendiri agar kelak jikalau Arya benar-benar akan membuangnya, maka tidak akan ada anak yang menjadi penghalangnya.
Pulang ke rumah hanya sepi yang menyambutnya. Bahkan pintu dalam kondisi terkunci sehingga Safia tidak bisa masuk ke dalamnya. Entah sedang ke mana para penghuni rumah ini. Safia yang tubuhnya merasa sangat lemas, dengan terpaksa duduk di kursi teras menunggu siapa saja entah itu mama mertuanya atau Arya yang akan datang. Padahal inginnya Safia segera istirahat saja dan merebahkan badannya. Hawa tubuhnya terasa makin panas dan menggigil. Safia meringkuk dengan menaikkan kedua kakinya di atas kursi. Memejamkan mata karena memang seberat itu kelopak matanya untuk dapat dibuka.
“Safia, bangun! Ini anak malah tidur di sini. Bangun, Safia!”
Samar suara seseorang merasuk ke dalam indera pendengaran Safia. Mata yang memang masih terasa berat, mencoba untuk dia buka. Wajah mama mertuanya yang sedang berdiri di hadapannya dengan mengguncang lengannya meminta agar dia bangun.
“Jangan mati dulu kamu, Safia! Bangun. Kalau sakit harusnya kamu bisa segera berobat, bukan malah tidur di teras seperti gembel begini. Punya menantu kok ya bisanya nyusahin saja. Ayo bangun. Jangan sampai tetangga melihat kamu seperti ini.”
Safia tidak merespon omelan Bu Neni. Wanita itu mencoba untuk menegakkan badannya dan bangkit berdiri dengan tubuh yang terasa lemas dan kepala kembali terasa berat serta berkunang-kunang.
“Maaf, Ma," ucapnya lirih.
“Baru seminggu menjadi istri, kamu sudah sakit begini. Dasar manja.”
Safia yang bangkit malah limbung dan hampir jatuh andai Bu Neni tidak lekas mencekal lengannya.
“Astaga Safia. Jangan menyusahkan saya kamu. Ayo masuk.”
Dengan terseok-seok Bu Neni membantu Safia untuk masuk ke dalam kamar. Safia jatuh di atas ranjang dan langsung merebahkan badannya. Sementara Bu Neni yang memang tidak ada niat bahkan untuk memberi menantunya itu makan, langsung keluar kamar begitu saja sembari merogoh tasnya mencari ponsel. Arya lah yang kini ditelpon.
“Halo Arya. Kamu di mana. Buruan pulang. Istri kamu itu sakit. Menyusahkan saja.” Omelnya lalu menutup panggilan begitu saja tanpa menunggu Arya menjawabnya.
Arya yang malam ini sedang pergi ke tempat gym setelah hampir satu bulan absen dikarenakan patah hati ditinggal sang kekasih yang meninggal dunia. Lalu juga pernikahan dengan Safia yang tidak dia harapkan. Malam ini pria itu memang ingin mulai kehidupannya seperti dulu lagi. Mencoba mengikhlaskan kepergian Wila karena bagaimana pun wanita yang begitu dia cintai itu telah tiada.
Bahkan Arya saja baru mengganti pakaiannya karena tadi dari kantor dia langsung menuju ke tempat gym langganannya. Namun, mamanya malah menelpon dan mengatakan jika Safia sakit. Memang sejak kemarin Arya tahu jika istrinya itu sedang demam. Arya dapat merasakan sendiri karena semalam kulit hangat Safia menempel pada kulitnya saat dia meniduri istrinya itu. Siapa sangka jika drama sakitnya Safia masih berlanjut hingga sekarang.
“Dasar wanita, merepotkan saja,” gerutu Arya yang tidak jadi melanjutkan aktifitasnya dan terpaksa meraih jaket membungkus tubuhnya. Mengambil tas yang ia simpan di dalam loker. Pria tampan itu meninggalkan tempat gym, mengabaikan beberapa pertanyaan rekan-rekannya.
Memacu kendaraannya menuju rumah. Dia bukan khawatir dengan Safa tapi malas saja jika harus mendengar mamanya yang mengomel tentang Safia.
Sampai di rumah, yang Arya lihat adalah Bu Neni sedang menonton televisi.
"Safia mana, Ma?" tanya Arya yang dijawab dengan tatapan sinis dari mamanya.
"Kamu pulang nggak bawa makanan, Ya?" bukannya menjawab apa yang Arya tanyakan, Bu Neni malah menodong pertanyaan lain
"Enggak lah, Ma. Kan mama yang nelepon katanya Safia sakit."
"Justru karena Safia sakit, kamu harusnya bisa mikir kalau nggak ada yang masak makan malam. Gimana sih!"
Arya menjambak rambutnya frustasi. Mana dia bisa kepikiran qsampai sana? Seharusnya mamanya tadi mengatakan jika sekalian beli makan saat perjalan pulang. Ini malah tiba-tiba ditodong makanan. Tidak mau berdebat dengan sang mama, Arya menghela napas panjang seraya berkata, "Nanti aku order lewat online saja. Atau mama saja lah yang order. Terserah mau makan apa.. Sekarang Safia mana?"
"Di kamar."
Ah, lagi-lagi Arya berpikiran lelet. Sudah tahu Safia sakit, pastilah istrinya itu istirahat di dalam kamar.
Gegas membuka pintu kamarnya. Yang dilihat oleh Arya adalah Safia yang meringkuk sembari meringis menahan kesakitan. Buru-buru Arya mendekat.
"Sakit apa?" tanyanya dingin seperti biasa. Tapi, pergerakan tangan Arya yang menempelkan punggung tangan di dahi Safia, membuat wanita itu membuka mata.
"Kamu masih demam. Kenapa nggak diminum lagi saja obatnya."
"Aku belum makan jadi tidak berani minum obat."
Arya berdecak. "Merepotkan saja. Kamu mau makan apa biar aku orderkan."
"Apa saja," jawabnya singkat dengan suara lirih. Sebab saat ini yang Safia rasakan tidak hanya tubuhnya yang panas dan menggigil tapi juga perut yang melilit. Dapat Safia pastikan jika tamu bulanannya akan segera datang. Dan parahnya, dia lupa membeli pembalut tadi saat dia apotek. "Mas!" panggilnya pada lelaki yang sudah sampai di ambang pintu.
"Ada apa lagi?"
"Boleh minta tolong sesuatu?"
"Kamu ini dasar merepotkan!"
Safia menggigit bibir dalamnya. "Tolong belikan aku pembalut, Mas. Aku sedang datang bulan. Tapi ... aku tidak mungkin beli sendiri karena kepalaku berat sekali."
Mata Arya melotot. "Apa! Pembalut?"
"Iya. Di minimarket ada kok. Tolong Mas aku benar-benar lupa beli."
Arya membuang napas kasar. Tanpa bertanya apa merk pembalutnya, karena jujur Arya tidak mengerti barang begituan. Pria itu melangkah meninggalkan kamar, mendapatkan tatapan curiga dari mamanya.
"Mau ke mana kamu, Ya? Mama sudah order makanan via online."
"Ke minimarket sebentar. Ada yang mau aku beli."
Takut dicecar banyak pertanyaan dari ibunya, Arya buru-buru pergi meninggalkan rumah.