Bintang hitam.
Alangkah kagetnya Sylvie saat mendapati bagaimana sesungguhnya keluarga Van Weiderveld itu menyembah. Mereka ternyata keluarga pendua. Sudah menyembah Allah yang esa, namun juga menyembah pula setan.
Dulu, ketika masih duduk di bangku Europeesche Lagere School (ELS), di tengah obrolan ngalor ngidul di jam istirahat, lewat teman-temannya, Sylvie sering mendengar istilah bintang hitam itu. Yah, itu hal yang wajar. Usia-usia sekolah dasar umumnya ialah usia di mana seorang manusia dilanda rasa ingin tahu yang amat luar biasa besar. Mereka ingin tahu, mereka menyelidiki pula. Begitu pula dengan Sylvie.
Namun Sylvie hanya sekadar mengetahui. Ia tidak benar-benar mempraktekannya. Padahal banyak juga temannya yang mempraktekannya dengan dalih si bintang hitam bisa mengabulkan permintaan. Konon, lewat salah seorang temannya yang bernama Adolf, Sylvie diberitahukan cara memanggil si bintang hitam. Kalian tahu, ouija? Atau, untuk ukuran Hindia Belanda (atau tanah Jawa), permainan jalangkung-lah yang mendekati ritual pemanggilan si bintang hitam. Konon pula, ouija itu sudah salah bentuk pemanggilan si bintang hitam. Makhluk halus yang didatangkan dalam praktek ouija itu bagian dari si bintang hitam.
Seram luar biasa memang. Tapi itulah fakta yang akhirnya secara kaget diketahui Sylvie dari keluarganya. Keluarganya tidak sereligius yang ia kira. Ternyata selama ini acara-acara keluarganya sangat dekat dengan upacara pemanggilan si bintang hitam tersebut. Malah salah satu pamannya ialah pemimpin dalam ritual tersebut. Seorang pastur pula. Astaga! Geleng-geleng takzim Sylvie jadinya.
Sontak Sylvie teringat bahan bacaan yang ia baca semasa kecil.
Konon, mosaik atau simbol bintang hitam tersebut sudah lama dikenal sebagai simbol okultisme dan alam spiritual. Tak hanya digunakan dalam budaya paganisme bangsa Teuton. Beberapa sub bangsa Eropa pada jaman dahulu pun mengenalnya sebagai simbol kemakmuran. Nenek moyang bangsa Belanda, juga bangsa ing, mengenalnya sebagai simbol untuk melindungi mereka dari gangguan para makhluk alam lain. Ampuh pula untuk mengusir dewa-dewa pengganggu. Ada isu yang mengatakan bahwa Dewa Thor takut dengan simbol bintang hitam ini,--yang memiliki daya magis lumayan kuat.
Pada setiap ritual pemanggilan arwah, salah satunya ouija, simbol bintang hitam selalu dipergunakan. Konon simbol itu digunakan untuk menangkal gangguan dari alam lain.
Bukan sebuah buku pelajaran sekolah pastinya. Adolf-lah yang memberikan buku lumayan tebal itu pada Sylvie. Buku dengan bahasa pengantar Belanda, Inggris, dan Jerman itu dibaca habis oleh Sylvie semalam suntuk. Semasa kecil, mungkin akibat lumayan sering diganggu oleh mimpi dan penglihatan, Sylvie jadi begitu antusias dengan hal-hal yang bersifat tak kasatmata atau supranatural. Sudah menjadi bawaan manusia yang sejak kecil sudah cenderung menyukai segala hal yang mendekati prosesnya tercipta sejak masih berupa roh.
Waktu itu, Sylvie langsung mengembalikan buku tersebut ke Adolf. Tak mau lagi ia ikut-ikutan. Adolf selama beberapa hari rutin mengajak Sylvie untuk turut serta dalam permainan memanggil arwah dan makhluk halus ala bangsa Eropa. Namun akibat mimpi buruk yang ia dapatkan dari membaca buku tersebut, Sylvie memilih untuk mundur. Baginya, juga oleh karena suara-suara tersebut, hal-hal seperti itu tidak disukai sama sekali oleh Allah. Bukankah Raja Saul pernah memerintahkan sejumlah tentaranya untuk membunuh semua pemanggil arwah dalam kitab Raja-Raja?
"Come on, Darling," bujuk Pak Robert. "Kamu harus menghadiri upacaranya. Kamu itu anak semata wayang Daddy, penerus klan dan roda bisnis Van Weiderveld."
"Tapi itu salah, Daddy," bantah Sylvie. "Allah sangat tidak menyukainya."
"Kata siapa? Om Harrys yang seorang pastur pun berkata itu tidak salah. Apa yang kita lakukan ini bagian dari tradisi. Yesus pun semasa mudanya mengikuti tradisi-tradisi Yahudi. Kamu ingat kan, waktu Yesus membasuh kaki itu? Itu dia melakukan tradisi Yahudi. Sama persis dengan yang kita lakukan,--melakukan tradisi Van Weiderveld dan Nederlanden." bantah balik Pak Robert.
"Tidak, Daddy, itu salah. Aku tidak mau ikut-ikutan acara-acara seperti itu lagi." Sylvie mendadak meraung.
Pak Robert jadi naik pitam. "GODVERDOMME! Pemuda pribumi itu yah, yang mengajarimu tidak mengenal etika seperti ini? Asal jij tahu, bangsanya dan bangsa kita tak jauh beda. Di bangsanya pun ada tradisi seperti kita dan mereka patuh."
"Tidak. Sekali tidak, yah tidak. Pokoknya aku tidak mau!" tegas Sylvie dengan mata melotot.
Pak Robert langsung menampar anak semata wayangnya. Kali ini beliau tak bisa lagi mengontrol emosinya. "Kamu ini,... Daddy besarkan susah-susah, hanya untuk jadi anak pembangkang yah. Awas, kalau kamu masih berani menjumpai pemuda pribumi itu."
"Daddy jahat!" jerit Sylvie. Namun apa daya, Pak Robert sudah keluar kamar dan mengunci kamarnya. Ibunya tak bisa berkutik. Sebab ibunya merasa ayahnya benar. Tak sepatutnya Sylvie seperti itu, yang bersifat tak sopan terhadap nama baik dan tradisi keluarga Van Weiderveld dan bangsa Belanda.
*****
Ada yang bilang, jika kamu tengah jatuh cinta, kamu akan selalu terus menerus memikirkan orang yang kamu cintainya. Itulah yang terjadi pada Maruap yang sibuk membantu ayahnya beternak babi.
Semenjak perkebunan kelapa sawit diambil alih oleh keluarga Van Weiderveld secara sewenang-wenang, praktis Pak Ramli hanya mengurus peternakannya saja. Ayahnya Maruap itu ogah menjadi seorang pekerja upahan, apalagi untuk bangsa pendatang seperti bangsa Belanda. Sebetulnya Maruap tak keberatan menjadi pekerja upahan. Selama itu membuat Maruap terus dekat dengan Sylvie, kenapa tidak?
Hampir dua jam ini juga, Maruap terus memikirkan Sylvie. Sylvie, Sylvie, Sylvie. Bahkan wajah babi yang ia beri makan ini pun mendadak menyerupai wajah Sylvie yang blonde. Maruap takut Sylvie makin tak kerasan di keluarganya sendiri. Kasihan Sylvie, pikir Maruap, kalau harus terus menerus melihat hal-hal mengerikan dari keluarganya.
"Hoy, Maruap!" pekik Togar yang berkumis lebat.
"Apa kabar, Bang?" sapa balik Maruap. "Ada apa, Bang, kemari? Mau bertemu Bapak-kah?"
"Tidak. Yang aku ingin temui malah kau."
"Aku? Ada urusan apa Bang Togar sama aku?"
"Siapa gadis bule itu, Maruap? Cantik kali dia. Pacar kau itu?" goda Togar seraya menaik-turunkan sebelah alisnya.
Kedua pipi Maruap jadi memerah. "I-i-iya, Bang."
Mendadak Bang Togar beringsut lebih dekat. Ia berbisik, "Bapak sudah tahu? Maksudku, Pak Ramli itu." Togar ini kemenakan lumayan jauh dari Pak Ramli. Namun dalam adat dan tradisi Batak, selama berada dalam satu induk yang sama, akan tetap dianggap sebagai bagian dari keluarga.
"Sudah, Bang. Bapak sudah tahu." jawab Maruap sambil berbisik pula.
"Terus, reaksinya bagaimana? Senangkah? Atau kurang senangkah anaknya membawa calon menantu bule?"
"Tak tahu aku, Bang. Semenjak beberapa hari lalu, sejak aku membawa Sylvie ke rumah, Bapak hanya memintaku untuk mengembalikan Sylvie ke keluarganya. Disangkanya, aku bawa lari anak orang."
"Oooh..." Togar bergumam lumayan panjang. Perlahan ia mulai paham apa yang sebenarnya tengah terjadi. Ingat, peran Togar ini hampir mirip seperti tua-tua adat atau orang pintar di kampungnya. Tak usah heranlah, hanya dengan jawaban serta ekspresi Maruap, Togar bisa mengetahui apa yang tengah terjadi. Apalagi, konon, Togar ini lumayan sering bertualang di alam spiritual dan supranatural.
"Oh iya, Maruap," kata Togar setelah mengamati gerak gerik dan lingkungan Maruap (yah untuk memastikan aman-tidaknya. Togar tak mau terlihat suka mengurusi urusan orang tanpa diminta). "Sudah lama kau berhubungan dengan perempuan bule itu?"
"Sejak aku masih berusia 13 tahun, Bang. Memangnya kenapa?"
"Tak apa. Abang cuma merasa kau itu cocok kali dengan perempuan bule itu. Bagai pinang dibelah dua kau sama dia itu, bah."
"Masa, Bang?" Maruap tersipu malu sembari menggaruk-garuk rambutnya.
"Iyalah, masa aku bohong? Kalau kau ada masalah di keluarga karena perempuan bule itu, bilang sama Abang yah. Nanti biar Bang Togar bereskan." ujar Togar sambil menggedor-gedor dadanya yang berotot-otot. Sudah mirip tukang pukul Togar ini. Bisa sebetulnya Togar ini menjadi pengawal salah seorang tokoh penting orang Eropa di jaman itu. Apalagi ilmu kebatinannya lumayan di atas rata-rata.
"Ya sudah, Bang Togar pulang dulu. Kapan-kapan mainlah kau ke tempat Abang. Ada yang Bang Togar mau ceritakan ke kau, Maruap. Ini terkait hubungan kau dengan perempuan bule itu. Tapi jangan bilang-bilang sama orang rumah. Bisa marah Bapak Tua sama aku."
*****
Hampir dua jam Sylvie tersedu sedan di dalam kamarnya. Tak dia sangka keluarganya seperti itu. Apalagi sang ayah, yang baru kali ini menamparnya dengan lumayan keras. Lama merenung pula, masih dibayangi ketakutan dan aura penolakan di sekujur tubuhnya, sesuatu dalam diri Sylvie berkata bahwa Sylvie harus segera keluar dari rumahnya. Tak bolehlah Sylvie terlibat dalam praktek-praktek seperti itu. Hanya itu--yang suara itu katakan. Selebihnya Sylvie tak tahu kenapa harus. Tapi yang penting sekarang Sylvie harus keluar dulu. Alasan kenapa dia harus, pasti nanti tahu sendiri.
Perlahan Sylvie mendekati jendela. Didorong sedikit, ternyata jendelanya tak dikunci. Lagipula itu kan kamarnya. Dikunci atau tidak, itu urusannya. Sudah lama juga ayahnya memilih tak mencampuri urusan dalam kamarnya. Sepintas muncul ide dalam otak Sylvie untuk kabur lewat jendela ini. Asal hati-hati turunnya, Sylvie pasti tak kenapa-napa.
Lalu diambillah seprai. Salah satu ujungnya ia ikatkan ke terali jendelanya. Dirasa masih kurang, Sylvie mengambil beberapa yang ia rasa bisa digunakan sebagai tali. Mulai dari gorden, selimut, baju-bajunya, hingga baju boneka beruangnya ia gunakan juga. Akhirnya tepatlah jumlahnya sehingga bisa Sylvie gunakan sebagai tali.
Perlahan Sylvie melirik ke sana-kemari. Jangan sampai ketahuan dirinya mau minggat diam-diam. Sesudah beberapa menit, setelah dirasa aman, Sylvie memberanikan dirinya untuk turun. Sebelum turun, dia bikin tanda salib dahulu. Lalu, selama proses turunnya, bibirnya terus menerus komat-kamit mengucapkan doa. Begitu sampai di bawah, anjing kesayangannya, Bruno menghampirinya. Bagai tahu apa yang tengah dirasakan Sylvie, Bruno tak menggonggong. Bruno malah hanya menjilati pipi Sylvie seolah berkata, 'Keluarlah, kamu lebih baik keluar dari keluargamu sendiri. Rumah dan keluargamu sudah bukan menjadi tempat yang nyaman dan terbaik untukmu lagi.'
Sylvie memeluk Bruno untuk yang kali terakhir. Ucap Sylvie, "Jangan beritahukan Daddy dan Mommy yah, Bruno. Kamu juga hati-hati di sini. Cobalah untuk selalu mengingatkan keluargaku kalau terjadi kenapa-napa kelak dari segala tradisi yang mereka lakukan itu."