Ada mitos yang mengatakan bahwa saat kita tengah hendak melakukan sesuatu, namun kita ragu-ragu, seringkali roh kita, lah, yang melakukan sesuatu tersebut demi tubuh fisik kita. Terdengar horor? Tepat.
Tetapi hal seperti itu sudah terjadi lama sekali di planet Bumi ini. Tidak ada yang tahu persisnya sejak kapan. Mungkin beberapa abad sejak Adam dan Hawa diciptakanlah, manusia perlahan sadar bahwa eksistensinya ialah roh yang menempel pada tubuh fisik.
Memang hal itu terdengar horor. Namun beberapa tokoh yang disebut dalam beberapa kitab suci sering melakukannya. Ambil contoh, Rasul Paulus yang pernah beberapa kali mengalami dejâ vu di setiap perjalanannya sebagai seorang misionaris. Lalu, sebelum Isa Almasih lahir, ada Nabi Obaja yang rohnya dibawa malaikat Tuhan untuk menghampiri Daniel yang dibuang ke gua singa.
Itulah yang terjadi juga pada Sylvie Van Weiderveld. Sejak kecil, Sylvie merupakan anak rumahan. Ayahnya seorang yang memiliki jabatan dan posisi lumayan tinggi di sebuah perusahaan. Konon, Pak Robert memiliki banyak kenalan di pemerintahan Belanda maupun Hindia Belanda. Dia pernah beberapa kali bertemu Ratu Belanda dan gubernur jenderalnya. Van der Capellen saja sudah seperti sahabat baiknya. Tak banyak yang tahu memang. Karena buku sejarah pasti tidak mau repot-repot mencatatkannya.
Karena sejak kecil, Sylvie suka ditinggal sendiri saja (yang kadang ditemani satu-dua pelayan), Sylvie sangat kesepian. Terlebih lagi, kesepian Sylvie sangat menjadi-jadi saat keluarganya pindah ke Hindia Belanda, khususnya ke Tanah Batak. Di Amsterdam saja, Sylvie sudah kesepian sampai mampus. Dia memang memiliki banyak teman. Namun kedua orangtuanya terlalu protektif. Sebab ayahnya tak ingin dirinya kenapa-napa. Ibunya apalagi. Alhasil Sylvie jadi seperti itu,--jadi pribadi yang penurut sekaligus penakut.
Mungkin Sylvie tak sadar, mimpinya saat itu merupakan suatu kejadian. Yah, saat dia bermimpi mengunjungi suatu daerah dengan benda-benda dan rumah-rumah yang serba aneh (lalu dia merasa dejâ vu), itu bukan sekadar mimpi. Allah tidak menunjukan mimpi seperti itu. Atau lebih tepatnya lagi, Allah membiarkan roh Sylvie keluar dan melayang-layang hingga menyeberangi samudera, lalu menuju pulau Sumatera. Siapa yang pernah tahu bagaimana persisnya pikiran Allah. Mungkin saja Sang Pencipta ingin Sylvie berwawasan luas, walau hanya terus mendekam di dalam kamar karena pengaruh orangtua. Mungkin saja seperti itu.
Sylvie belum mengetahui soal itu. Baru saja, di tengah pelariannya, Sylvie menyadarinya. Mungkin itu bukan mimpi. Mungkin itu sebuah kejadian juga. Kejadian secara roh. Bukankah dulu teman diskusi terbaiknya seputar spiritualitas, Marie pernah mengatakannya? Marie amat sering sekali berbicara tentang out of body experience. Sampai-sampai Sylvie kencing di celana sambil berdiri. Mengingat itu juga, Sylvie jadi tertawa sendiri. Ada gunanya juga memiliki teman yang senang membahas itu, batin Sylvie.
Ah cukup sudah, pikir Sylvie yang saking keletihannya, memilih untuk berbaring di bawah rindang pohon beringin. Sekarang ini ia harus segera ke tempat Maruap. Tak tahu kenapa, spontan saja Sylvie berpikir seperti itu. Semenjak mengenal Maruap, ketika terjadi sesuatu, kata 'Maruap'-lah yang menyeruak dari pikiran.
Ah tunggu dulu!
Kasihan Maruap juga kalau Sylvie ke sana. Ingat, sebelum ia dijemput paksa oleh ayahnya, keluarga Maruap sudah sangat menderita. Abang sulungnya, Binsar begitu membencinya. Takutnya jika Sylvie ke sana, kondisi keluarga Maruap jadi makin parah.
Ah, bagaimana kalau ke rumah Pak Pendeta Simon!
Benar juga. Sylvie cengar-cengir sendiri menyaksikan betapa cerdas dirinya. Toh rumah Pak Pendeta Simon tak jauh dari tempatnya beristirahat. Tapi nanti pasti suatu saat ayahnya akan tahu. Setahu Sylvie, salah satu jemaat di gereja di mana Pak Pendeta Simon menginjili tersebut bersahabat karib dengan ayahnya. Kalau ketahuan, bagaimana? Bisa-bisa Pak Pendeta Simon dalam masalah serius juga. Kali ini Sylvie benar-benar bingung sekaligus gamang. Dirinya terlalu banyak berpikir ini dan itu. Sangat terlalu banyak pertimbangan. Belum dicoba sudah takut akan resikonya.
*****
"Datang juga kau, Maruap," seru Togar berbinar-binar melihat kedatangan salah satu saudara jauhnya di rumahnya yang kecil namun memiliki banyak misteri di dalamnya.
"Iya, Bang. Aku ini selalu menepati janji. Sekali Maruap berjanji, pantang untuk dilanggar." ujar Maruap berbinar-binar balik.
Togar terkekeh-kekeh. "Hati-hati kau kalau berjanji. Nanti kalau ada begu yang meminta kau berjanji, masih kau tepati?"
Agak merinding Maruap mendengarnya. "Bisa seperti itukah, Bang?"
"Bisalah." jawab Togar yang lalu beringsut makin dekat ke arah Maruap. "Tapi sebaiknya masuklah ke dalam. Aku takut ada 'mata-mata' Bapak Tua berkeliaran di sekitar sini. Bapak kau itu sangat protektif yang aku lihat dalam melindungi kau, Maruap."
Maruap tak membantah. Sebab faktanya memang seperti itu. Pak Ramli terlalu mengatur segala gerak-gerik Maruap. Padahal Maruap bukan anak kecil lagi. Dia akan berusia dua puluh. Dua puluh kan usia dewasa. Dia sudah siap menanggung segala konsekuensi dari segala perbuatannya. Punya banyak musuh pun Maruap sangat siap.
Agak kaget juga Maruap melihat dalamnya rumah Togar. Persis seperti rumah dukun saja. Ada beberapa batu giok yang digantung. Satu-dua kucing hitam duduk manis di atas tikar anyaman khas ibu-ibu di Balige sana. Belum lagi bau-bauan ini. Sangat mengganggu indra penciuman Maruap.
"Bau apa ini, Bang?" tanya Maruap seraya menjepitkan hidungnya.
"Ck," Togar berdecak. "Ini bau khas orang-orang seperti aku, Maruap. Sejak dipilih oleh Ompung kita itu, beginilah aktivitasku. Kadang capek juga aku ini harus terus menerus bermain-main di wilayah 'ini'. Bayarannya kecil, kadang bisa tak dibayar, sering diejek dan dikucilkan pula. Seringkali nyawa adalah taruhanku untuk melindungi keluarga besar kita dari tiap serangan; juga untuk menjaga nama Ompung Toras Siagian agar selalu diingat sejarah. Kalau bukan orang-orang seperti aku inilah, sudah hilang di Danau Toba nama keluarga kita. Sudah kehilangan respek, Maruap."
Maruap mengangguk-angguk takzim. Baru kali ini dia menyadari hidup di tengah sebuah gaya hidup yang mementingkan gengsi. Sebegitu pentingkah nama itu? Padahal kalau sudah di banua toru sana, bukankah tiap manusia itu sama derajatnya?
"Bau-bauan ini, Maruap," lanjut Togar. "ini bau-bauan biasa untuk orang-orang seperti aku. Dulu pertama mengemban tugas, bisa kau bayangkan betapa menderitanya aku terus menerus dikirimi bau-bauan dari kampung sebelah atau dari marga lain. Peperangan secara roh itu betul-betul ada, Maruap. Kebanyakan satu tujuannya: kemakmuran dan kesejahteraan orang-orang di dalam marganya. Biar bisa dianggap dalam masyarakat adat Batak. Padahal nama baik dan respek itu, menurutku, tak bisalah dibawa ke banua toru."
Sepaham juga Bang Togar ini, pikir Maruap!
"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Maruap. Waktu masih seusia kau, aku pun berpikir yang sama. Bahkan sampai sekarang yang sudah mulai tumbuh uban ini. Butuh orang-orang seperti kau, Maruap, untuk mengubah itu semua. Menurutku, itu salah. Tapi aku bisa apa? Aku pernah beberapa kali nyaris mati gara-gara sok jadi pahlawan."
"Orang-orang seperti aku? Maksud Bang Togar ini, orang-orang muda kali?!" tanya Maruap. Kali ini Maruap dan Togar, keduanya sama-sama tengah duduk di atas tikar anyaman.
"Bukan itu maksudku, bah," keluh Togar yang kesal akibat Maruap gagal menangkap maksudnya. "Tapi yah itu, orang-orang seperti kau. Seperti kau, Maruap. Orang-orang seperti kau, di alam roh, sangat ditakuti, namun juga disegani layaknya seorang dewa. Kau itu memiliki roh yang luar biasa sampai-sampai pernah Bapak Tua menyangka kau itu setan. Sudah kubilang, bukan. Tapi Bapak Tua tak percaya. Diancamnya aku agar jangan memberitahukannya pada kau. Tapi setelah bertemu secara sekilas pacar kau itu, barulah aku sangat seratus persen yakin roh kau itu datang dari banua ginjang. Mungkin pacar kau itu juga sama."
Maruap terpana. Dia agak kaget juga. Baru Togar yang menyampaikannya hal-hal seperti itu padanya. Bagi Maruap, Bang Togar seperti seorang guru saja yang tengah menjelaskan tentang asal-usulnya.
"Bang Togar tahu dari mana?" Itu pertanyaan bodoh yang sangat tak seharusnya diucapkan oleh Maruap.
"Bah! Aku kan sudah sepuluh tahun lebih bermain-main di wilayah ini. Tahulah aku. Instingku ini paling tinggi di antara keluarga besar kita. Bahkan sebelum keluarga pacar kau itu menyerang, aku sudah tahu lebih dulu. Tapi apa daya, ilmu mereka jauh lebih hebat dari aku. Lebih baik mundur dulu sebelum nyawaku hilang."
Maruap berjengit takzim lagi.
"Tapi pacar kau itu tak seperti keluarganya. Jiwanya sangat murni yang aku lihat. Dia itu sama seperti kau, Maruap. Banyak hal yang telah kau alami, dia alami juga. Itulah yang aku lihat selama beberapa hari ini sebelum kau datang. Beruntung kali kau, Maruap."
*****
Akhirnya Sylvie berani mengambil kesimpulan. Diambilnyalah keputusan untuk menemui rumah Pak Pendeta Simon. Setidaknya Pak Pendeta Simon itu orang Belanda juga; sama-sama orang Eropa. Mungkin amarah ayahnya tak sebesar saat berhadapan dengan keluarga Maruap.
Sekarang dirinya bingung. Sylvie kan minggat. Dirinya tak memegang uang sepeser pun. Bisa gempor jika ia ke sana dengan jalan kaki. Matanya lalu beredar ke seluruh penjuru di sekitarnya.
Ah, itu ada kuda menganggur!
Milik siapakah kuda putih itu? Kalau diamat-amati, tak ada seorang pun di sekitar kuda putih tersebut. Berarti tak apa-apa jika Sylvie ke rumah Pak Pendeta Simon dengan menaiki kuda tersebut. Semoga dirinya masih ingat pelajaran berkuda di ELS dulu.
Perlahan Sylvie bangkit berdiri dan beringsut menuju kuda putih tersebut. Untuk ukuran kuda liar, kuda ini lumayan jinak. Ah, mungkin ini kuda peliharaan yang tersesat. Bisa kali Sylvie pinjam dulu. Nanti kalau misinya sudah selesai, Sylvie percaya si kuda pasti akan pulang sendiri ke majikannya.
Lalu, hiyaaaaaaat... bersama kuda putih itu, Sylvie secepat kilat pergi menemui rumah Pak Pendeta Simon. Semoga saja hari ini Pak Pendeta Simon ada di tempat.