"Hoi, Maruap!" teriak Binsar sewaktu melihat Maruap dan Sylvie akan mendatanginya di kejauhan. Dalam hatinya, Binsar sangat bersyukur--yang juga kesal--menyaksikan kepulangan adik bungsunya.
Maruap segera mempercepat langkahnya. Sylvie mengikutinya dengan tersaruk-saruk. Hampir saja Sylvie terjatuh, yang dengan sigap Maruap menopangnya.
"Ada apa, Bang? Tak perlulah kamu berteriak begitu. Dari jauh pun aku tahu itu kamu, Bang. Dengan suara kecil pula, aku bisa mendengar. Belum tuli aku, Bang." protes Maruap agak senewen.
"Ck," Binsar berdecak. Makin kesal Binsar saat melihat Sylvie yang berdiri di samping (walau agak di belakang sedikit) Maruap. "Kau ini, selalu bikin masalah saja di keluarga. Selalu seperti itu sejak kau masih orok. Aku ingat Bapak selalu geleng-geleng kepala lihat segala keanehan kau itu."
"Apa maksudmu, Bang? Bikin masalah apa aku di keluarga? Bapak minta aku datang ke pernikahan si Butet, aku datang. Mamak minta aku kasih sesuatu di pernikahan si Butet juga, aku kasih uang semampuku. Apa maksudmu, Bang, cakap seperti itu? Tak paham aku. Janganlah kamu cari gara-gara, Bang. Masih pagi ini. Ayam pun belum berkokok." sengit Maruap.
"Ini," tunjuk Binsar ke arah Sylvie dengan tak kalah sengitnya. "Kau bawa lari yah, anak perempuan orang?"
Maruap diam. Tak berani ia jawab. Faktanya memang Sylvie yang pergi dengan alasan mengunjungi rumah Pak Pendeta Simon. Sudah hampir tiga bulan ini Sylvie terus hidup di bawah ketiak Maruap.
"Dasar kau!" sahut Binsar. "Bodat kau ini! Kau bawa lari anak perempuan orang, lantas kau marah-marahi abang kau ini. Macam-macam saja kau ini!"
(Bodat berarti monyet; sering dipakai sebagai makian)
"Minta maaf aku, Bang,"
"Beberapa hari lalu rumah kita didatangi tentara-tentara Belanda, Maruap. Bapak sama Mamak ketakutan. Dituduhnya kita melarikan anak perempuan orang lain. Belum lagi bapaknya si gadis ini menyuruh dukun untuk menyantet si Poltak. Gara-gara itu, Poltak terus berteriak-teriak dan mengamuk. Bang Togar tak bisa mengobati. Tabib-tabib lainnya pun sama. Akhirnya si Poltak terpaksa dipasung."
"Benarkah itu, Bang?" Rasa-rasanya tak percaya Maruap mendengar segala cerita abangnya itu.
"Kau kira aku bohong? Bisa didatangi arwah Ompung Monang tujuh hari tujuh malam aku, Maruap. Bisa marah Debata, lalu dibikinnya kita gagal panen. Mau kau?" desis Binsar masih dengan mata nyalang.
Maruap tak berani bantah lagi. Sementara Sylvie kaget mendengarnya. Perempuan itu juga tak percaya keluarganya seberingas itu. Masakan seperti itu? Sylvie tahu memang ada yang tak beres, tapi masa harus seperti itu?
"Kau pulangkan perempuan bule itu ke keluarganya. Aku tak mau merasakan lagi adanya gangguan dan serangan yang datang dari keluarganya. Memang kau ini belum pernah dengar soal orang-orang Belanda itu? Siapa berani melawan mereka, nyawa taruhannya. Mereka bisa melakukan apa saja demi kepentingan mereka." repet Binsar.
Maruap menggigit bibir bawahnya. Campur aduk sekarang perasaan Maruap. Kesal, takut, hingga merasa bersalah.
"Lagipula ada apa hubungan kau sama perempuan bule ini?" hardik Binsar.
Maruap masih bergeming.
"Suka kau sama perempuan bule itu? Hah? Naksir kau? Pacar kau itu?" makin kencang Binsar menghardik.
Bersamaan dengan itu, suara anjing hutan melolong yang diikuti suara babi-babi di peternakan keluarga Siagian.
"Macam dari suku kita tak ada yang cantik saja. Banyaklah yang sama cantiknya dengan perempuan bule itu."
"Yah, namanya aku sudah jatuh hati, Bang," spontan Maruap menjawab. "Tak bisa hidup aku, Bang, tanpa dia. Ingin aku melindungi Sylvie, Bang. Kasihan Sylvie pula, kalau nanti kuceritakan."
"Bah!" raung Binsar. Seketika itu, orang-orang di dalam rumah berhamburan keluar. Pak Ramli juga ikut emosi melihat kepulangan Maruap. Hanya Ibu Siti dan satu-dua orang yang berusaha tetap tenang.
"Lihatlah, Pak," Binsar mengaduh. "Sudah mengenal cinta anak kau itu. Jatuh hati dia sama anak orang Belanda itu. Tak tahukah dia efek dari perbuatannya ke keluarga kita? Tak tahu juga dia, orang-orang Belanda itu bahaya,--jauh lebih berbahaya dari halak hita."
"Benar itu, Maruap?" selidik Pak Ramli. "Suka kau sama anak Pak Robert itu?"
"I-i-iya, Pak," jawab Maruap gugup.
Geleng-geleng kepala Pak Ramli. "Ya sudah. Kau pulangkan perempuan itu ke keluarganya. Dari cerita yang Bapak dengar, ikut campurkah kau dengan urusan keluarga Pak Robert? Benar kau bawa lari perempuan ini?"
Maruap menggeleng. "Tidak, Pak,--"
"--saya sendiri, Om, yang menemui Maruap." potong Sylvie yang akhirnya memberanikan diri untuk ikut bicara.
"Pak, marahilah Maruap ini," rengek Binsar. "Suruh dia putuskan hubungan dengan perempuan Belanda ini. Bisa diganggu keluarga kita ini sampai tujuh turunan. Ngeri, bah, serangan dari orang-orang Belanda. Sakti kali mereka ini!"
Ibu Siti menatap galak ke arah Binsar. Butet dan suaminya juga ikut menatap Binsar. Seolah Butet ingin berkata, 'Diamlah sikit kau, Binsar,'
"Hoy, Rojali!" ujar Binsar pada adiknya yang lain. "Sepaham kau kan sama aku?"
"T-t-tak tahu aku, Bang," jawab Rojali ketakutan. "Tak ikut-ikutan aku, Bang."
"Diamlah sikit kau ini, Binsar. Di sini akulah kepala keluarganya. Bukan kau, Binsar. Paham kau?" tegur keras Pak Ramli.
"Buat kau, Maruap," Pak Ramli menelengkan kepala ke arah anak bungsunya. "Bapak anggap kau sudah dewasa. Kau pulangkan dulu ke keluarganya. Tunjukan itikad baik kau ke Pak Robert. Jangan lagi kau ikut campur urusan keluarga mereka. Tak mau aku keluarga ini terus menerus diganggu."
"I-iya, Pak," Hanya itu yang Maruap bisa katakan.
*****
Saat keluarganya tengah tidur di tengah malam, Maruap mengajak Sylvie berjalan-jalan. Dalam hati Maruap tak ingin memulangkan Sylvie. Dia tahu kekasihnya itu sudah cukup menderita dalam segala keanehan di keluarga Van Weiderveld. Bisa dilihat pula dari segala ekspresi Sylvie pagi hari tadi.
"Maruap," kata Sylvie yang masih dibayang-bayangi rasa kalut dan bingung. "Rasanya aku tak percaya dengan cerita abangmu itu. Masa Daddy seperti itu?"
"Aku pun tidak, Sylvie." ucap Maruap membenarkan. "Tapi dari segala ceritamu tentang keanehan-keanehan tersebut, aku rasa, mungkin-mungkin saja. Dari awal pun, orang Belanda itu kuanggap bukan sembarang orang. Habis lucu dan aneh kali perawakan mereka."
"Berarti aku juga iya, Maruap?!" iseng Sylvie.
"Khususmu tidak, Sylvie. Kamu itu ibarat dewi dari banua ginjang."
"Kamu bisa saja,"
Lalu hening mulai melanda. Suara-suara serangga mulai berhamburan keluar. Anjing-anjing hutan mulai melolong. Suara-suara riuhan dari alam lain pun ikut meramaikan.
"Maruap,"
"Yah,"
"Aku tak mau kembali ke keluargaku. Aku takut. Sudah cukup bayangan-bayangan mengerikan itu. Lebih baik aku bersamamu saja, Maruap."
"Tapi nanti masalahnya tambah panjang dan rumit. Sekarang saja sudah minta korban. Abangku, si Poltak, diganggui sampai sebegitunya?"
"Lalu, aku bagaimana, Maruap? Tak kasihankah kamu dengan aku, Maruap?"
Maruap memegangi erat tangan Sylvie. "Aku juga kasihan sama kamu, Sylvie. Sebab aku sangat mencintaimu. Sekali aku berjanji, selalu aku tepati pula. Tapi sekarang situasinya sudah seperti ini. Bang Poltak jadi korbannya. Belum lagi Mamak mendadak perutnya seperti digigit kelabang."
"Lalu?" Sylvie meneguk air liur. "Haruskah aku kembali ke keluargaku? Tak tahan aku dengan segala keanehan itu. Bayangan-bayangan mengerikan, suara-suara itu,... aku takut, Maruap."
"Kamu tenang yah," Maruap langsung memeluk erat Sylvie. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Sylvie. Kalau kamu mau, kamu bicarakan baik-baik dengan kedua orangtuamu. Minta saja ke mereka, kamu mau tinggal di rumah Pak Pendeta Simon. Pak Pendeta Simon kan orang Belanda juga. Mungkin Daddy-mu mengijinkan."
"Semoga Daddy mau," kata Sylvie pasrah.
"Dan, selalu berdoa, Sylvie," Lalu Maruap menunjukan lagi kalung kayu itu. "Semenjak kamu mengenalkanku ke Debata ini, hidupku berubah. Sekarang aku rutin berdoa kepada Debata yang ini. Ajaib benar kuasa-Nya."
Kemudian perlahan,--karena tak bisa tidur mereka berdua--,seraya berjalan-jalan dari pohon satu ke pohon lainnya. Baik Maruap maupun Sylvie saling bercerita. Mereka berdua saling berbagi rahasia dan aib. Bahkan itu juga termasuk segala keanehan (maksudnya mimpi dan penglihatan tersebut) yang mengantarkannya ke pertemuan dua insan. Tanpa sadar pula, Togar yang asyik bersemedi di gelapnya hutan--tak jauh dari situ--mendengar percakapan Maruap dan Sylvie. Dalam hati, Togar merasa sepasang kekasih itu bukanlah sekadar sepasang kekasih itu. Menurutnya, seperti ada keterlibatan para dewa-dewi dari banua ginjang dalam hubungan Maruap dan Sylvie.
*****
Terpaksa Maruap mengantarkan kembali Sylvie ke rumahnya. Maruap ikut Sylvie dalam sebuah kereta kuda. Terpaksalah Maruap. Sebab sudah tiga-empat hari ini keluarga Maruap terus menerus diganggu. Selain perut ibunya yang serasa digigit kelabang, eh ayahnya yang seperti disayat-sayat belati lambungnya. Poltak pun makin menjadi-jadi. Belum lagi sepeleton prajurit Belanda datang untuk menyita perkebunan kelapa sawit keluarga Siagian. Sekarang kebun itu ditetapkan pemerintah Belanda sebagai milik keluarga Van Weiderveld. Mau protes, sampai detik ini, di jaman itu, yang berani melawan pemerintah Belanda, pastilah orang itu akan diculik dan dihabisi diam-diam bagaimanapun caranya. Pemerintah Belanda, saat itu, benar-benar tak ada lawan. Tak ada kuasa dan perlawanan mana pun yang sanggup menghadapi mereka. Ada desas-desus yang mengatakan bahwa seringkali orang-orang Belanda, khususnya sekelompok oknum, mendapat bantuan dari setan.
"Sylvie," ujar Maruap setelah menghela napas lumayan lebar dan lama.
Sylvie kembali memandangi Maruap, yang sebelumnya sibuk menekuri pemandangan di luar jendela.
"Yah?" Sylvie menanggapi dengan senyum dipaksakan.
"Kamu jangan takut sama segala keanehan di keluargamu. Doa selalu. Terus, kita kan juga masih bisa bertemu di gereja dan rumah Pak Pendeta Simon. Dan, kalau terpaksa, akan kuculik kamu dan kukawin-larikan. Aku tak mau terus menerus kamu hidup dalam rasa takut yang makin menjadi-jadi itu."
Sylvie tersenyum, walau rasa takut itu masih tetap menyelimuti dirinya. "Dank je, Maruap,"
"Mauliate, Sylvie," jawab balik Maruap. "Nah begitu dong. Kamu itu jauh lebih cantik jika tengah tersenyum."
(Dank je dan mauliate berarti sama, yaitu terima kasih)
Tiap irama dari bunyi derak kuda-kuda makin menambah intim suasana di dalam kereta. Pula, saisnya ikut menggodai sepasang kekasih tersebut dengan dehamannya.