Santet & Jampi-Jampi

991 Words
Lama juga Sylvie baru menemukan rumah Pak Pendeta Simon. Padahal waktu bersama Maruap, kenapa begitu mudahnya mendatangi rumah yang bersangkutan. Macam sudah seabad kenal saja. Tapi sekarang, lihatlah, hampir setengah hari Sylvie melakukan pencarian. Dongkol juga Sylvie lama-lama. Tiap orang yang dia tanya, Sylvie merasa, seperti tengah mengelak, seperti ada yang menggertak mereka. Sempat Sylvie berpikir, apa mungkin ayahnya sudah tahu dia minggat. Ingat, ayah Sylvie ini punya jabatan dan posisi sangat luar biasa kuasanya. Van der Capellen pun sudah sering disungkem sama Pak Robert. Selalu saja jawaban mereka: "Pak Pendeta Simon? Siapa itu?"; "Tak ada yang namanya Pak Pendeta Simon di sini."; "Ah, pergilah kau jauh-jauh," Seringnya seperti itu. Dari reaksi itulah, Sylvie mengira pastilah ini perintah ayahnya. Dia kan, seingat Sylvie sudah pergi selama beberapa hari. Pasti ayahnya sudah tahu, lalu berang. Dugaan Sylvie terbukti. Yang bersangkutan sendiri yang memberitahukan. Katanya: "Iya, kira-kira sekitar tiga-empat hari yang lalu, ada beberapa prajurit Hindia Belanda mendatangi kampung ini. Mereka mencari kamu, Sylvie. Beberapa dilarang untuk menerima kamu dalam rumahnya. Bahkan, setelah Bapak korek-korek dengan sabarnya, ada yang bilang juga, jangan sampai kamu tahu rumah Bapak. Mungkin Pak Robert tahu, kamu pasti akan ke sini selain ke tempat Maruap. Dan, dugaan Bapak, kalau tak bersama Maruap, kamu pasti tidak familier dengan rumah dan lingkungan sekitar Bapak." "Oh begitu," Sylvie mengangguk-angguk sembari sesekali mencicipi hidangan kopi yang disajikan oleh Anthony, rekan Simon dalam penginjilan. "Memang ada masalah apa sehingga kamu minggat dari rumah?" selidik Pak Pendeta Simon penasaran. Semenit, lima menit kemudian, Sylvie berkoar-koar panjang lebar untuk menceritakan kronologisnya. Kadang dirinya menceritakan dengan senang, kadang dengan marah, kadang pula dengan sedih dan meraung-raung. Pak Pendeta Simon sangat mendengarkannya dengan empati maha tinggi. "Jadi, begitulah ceritanya, Meneer," tandas Sylvie di akhir ceritanya. "Rumit juga," kata Pak Pendeta Simon dengan kedua tangan dilipat di dadanya. "Memang, harus Bapak akui, tak mudah jika hidup seperti kamu, Sylvie. Bapak sendiri pun, sewaktu kecil, sudah merasa ada yang tak beres dengan keluarga Bapak. Bapak sempat merasa itu semua palsu. Bahkan sampai sekarang malah. Hingga Bapak menyelidiki ada salah satu paman Bapak melakukan tindakan asusila, padahal dia seorang pelayan gereja, yang sehari-hari menjabat sebagai leksikon. Walau Belanda sudah lebih beradab, tetap saja hal-hal berbau supranaturalnya jauh lebih berbahaya daripada yang terjadi di Indonesia." Sylvie hanya manggut-manggut mendengarkannya. "Saran Bapak," ujar Pak Pendeta Simon. "kamu berdoalah. Makin sering kamu menghadapi cobaan dan ujian, haruslah kamu makin mendekatkan diri ke Allah." "Begitu yah, Meneer," Pak Pendeta Simon mengangguk. "Oh yah, soal daerah sini, kamu juga harus hati-hati. Yang Bapak dengar dari rekan-rekan sepelayanan, umumnya daerah-daerah di Samudera Hindia dan Pasifik sangat kental dengan hal-hal bersifat mistis. Mereka bisa sangat mempraktekan jampi-jampi, bahkan lebih kuat daripada praktek di Eropa sana." Pak Pendeta Simon sontak berdiri. Sylvie, tanpa dikomandoi lewat suara, bangkit berdiri pula. "Kamu lihat rumah yang di seberang?" Sylvie mengangguk. "Di jendelanya, yang kamu lihat itu, tak sekadar boneka. Tali tambang itu pun ada alasannya diletakan di situ." Sylvie hanya memandangi lekat-lekat arah yang ditunjuk. "Konon, yang Bapak tahu, itulah yang namanya voodoo. Atau di sini sering disebut sebagai santet. Memang terlihat seperti perbuatan kurang kerjaan. Tapi cara penggunaannya memang seperti itu. Benda-benda itu diletakan di posisi dan radius tertentu dari posisi korbannya. Lewat benda-benda itulah juga, gangguan mulai dilancarkan kepada korbannya. Terkadang juga hal-hal seperti ini mendapatkan legitimasi dari pihak berwenang." Sylvie terperangah. "Pasti kamu berpikir, Bapak yang seorang hamba Tuhan, kenapa bisa tahu," Pak Pendeta Simon menyimpulkan sebuah senyuman. "Tugas yang Bapak emban dari Allah ini sangat luar biasa tanggung jawabnya. Tak jarang dibenci orang, apalagi kalau Bapak sampai salah ucap waktu khotbah di atas mimbar. Padahal Bapak hanya menjalankan amanah Allah. Tak lebih dari itu. Karena itulah, begitu tiba di suatu daerah, Bapak selidiki dulu adat, tradisi, dan kebiasaan warga sekitarnya. Itu termasuk praktek mistiknya, yang akan selalu ada. Karena seringkali mereka mengganggu tidak secara terang-terangan. Dan, Bapak sudah lumayan kebal dengan gangguan-gangguan dari alam supranatural." Tambah kagetlah Sylvie mendengar segala tutur kata yang penuh dengan pengakuan dari Pak Pendeta Simon tersebut. ***** "Kau ini," ujar Togar nyengir. "Yang Abang lihat, kau tak begitu kerasan sama situasi di rumah Abang. Tahanlah sikit. Hanya di rumah Abang, yang aman. Di luar, mungkin 'mata-mata' Bapak Tua masih berkeliaran." "Iya, Bang. Aku tak tahan sama bau-bauannya. Dan,..." jawab Maruap mengaku. "...sama auranya kan?!" terka Togar terkekeh. Maruap mengangguk malu-malu. Sebab Maruap benar-benar tak tahan dengan baunya yang membuat dirinya harus lumayan sering mengernyitkan hidung. Belum lagi kepalanya sangat sakit tak tertahankan. Tergelaklah Togar sekencang-kencangnya. "Macam mana pula kau, Maruap? Sebegitu saja tak tahan. Padahal secara roh itu, kau sangat kuat. Abang tak bohong. Tahanlah sikit. Lagipula ke depannya yang Abang lihat hidup kau tak akanlah jauh-jauh dari hal-hal seperti ini. Salah satunya, santet." "Santet?" tanya Maruap dengan ekspresi seperti seorang pelajar ELS baru masuk, yang diajari suatu pengetahuan baru nan menyeramkan. "Belum pernah dengarkah kau itu?" tanya balik Togar dengan cengar-cengir. Maruap mengangguk. "Sudah kutebak, Bapak Tua pasti tak akan mau menceritakan. Padahal sejak kau dikirim ke mari buat diruwat, aku sudah memperingatkan Bapak Tua agar segera memberitahukan soal masa depanmu kelak. Haha." "Janganlah tertawa begitu, Bang," "Iya, iya, aku minta maaf," Dipelankan sedikit suara tawa Togar. "Jelaskan padaku soal santet itu, Bang. Apa itu?" "Penasaran kau?" goda Togar nyengir. Maruap hanya mengangguk. Togar mengambil napas. Dia melihat sekeliling dahulu. Mungkin dia takut 'mata-mata' Pak Ramli berhasil menerobos masuk ke dalam rumahnya yang sudah ia bentengi. Setelah dirasa aman, "Santet itu salah satu ilmu paling tinggi dan berbahaya dari segala ilmu dan aji-aji. Bisa kehilangan kesadaran dan akal sehat korbannya. Biasanya dilancarkan lewat sesuatu yang kau anggap sepele awalnya." Tiba-tiba tubuh Togar bergetar-getar hebat macam orang kerasukan. Maruap sangat ketakutan. Apalagi Maruap hanya berdua saja dengan Togar. Makin takutlah Maruap melihat Togar meraung-raung dan menjerit-jerit kesetanan. Beberapa kali Maruap coba menghindarkan diri dari usaha membunuh Togar. Beberapa kali pula Togar coba menyakiti Maruap dengan memukul, mencekik, dan beragam siksaan lainnya. Gila betul, apa yang sebenarnya tengah terjadi, Maruap keheranan dalam hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD