Manipulasi (3)

999 Words
Sylvie gondok setengah mampus. Seharusnya ia mendapatkan ketenangan batin dan jiwa saat mendengarkan seorang gembala Tuhan berkhotbah di atas mimbar. Yang terjadi malah sebaliknya. Sylvie kesal sekali mendengar khotbah Pak Pendeta Alfred Wistermaan. Entah mengapa, dalam batinnya, Sylvie sangat merasa bahwa dirinyalah obyek yang dimaksud sang pendeta. Pendeta, pastur, dan banyak tokoh-tokoh agama atau penasehat spiritual lainnya memang biasanya seperti itu. Mereka sering berkhotbah dan berdakwah dengan menggunakan kitab suci sebagai acuan atau pegangannya. Namun dalam khotbah atau dakwahnya itu sering terdapat sindiran-sindiran, entah secara halus maupun secara kasar. Memang tak salah, tapi bukankah lebih baik lagi jika disampaikan sebagai sebuah teguran atau saran, yang menjadikan umat atau jemaatnya itu rekan sepelayanan? Itulah yang Sylvie rasakan. Itulah pikiran random seorang Sylvie Van Weiderveld. Ia tahu, ia sangat tahu bahwa dirinyalah yang disindir habis-habisan. Pak Pendeta Alfred Wistermaan menggunakan cerita bagaimana Raja Daud yang mendapatkan azab Allah (lewat kematian anaknya) akibat merebut istri seorang panglima bernama Uria hanya untuk menyindir bagaimana cara Sylvie dan Maruap berhubungan. saat tengah senewen itulah, Sylvie merasa seperti ada yang membisikinya, "Kamulah yang disindir; obyek yang dimaksud itu kamu, Sylvie." Sylvie pun merasakan hal yang sama dari cara Pak Pendeta Alfred Wistermaan itu berkhotbah. Isi khotbahnya itu banyak yang ganjil. Terlalu banyak kesamaan dengan apa yang sudah dialami oleh Sylvie. Bukan bermaksud-maksud menghubung-hubungkan, tapi yah seperti itu, segala intuisi akan kesamaan itu sulit dielakkan. Salah satunya saat pendeta yang jago berbahasa Jerman itu menceritakan sebuah kisah nyata (yang Sylvie rasa kisah itu dibuat-buat, sebab entah mengapa terasa sekali karangannya). Pak Pendeta Alfred Wistermaan bercerita tentang seorang pendeta muda yang diusir karena melakukan pelanggaran tak tercela. Ada yang bilang, sang pendeta muda melakukan zinah dengan hidup kumpul kebo bersama seorang gadis yang beberapa tahun lebih muda. Selain itu, pendeta muda itu juga dituduh telah menyebarkan fitnah yang bukan-bukan kepada gereja di mana dirinya bernaung; dan kepada para pemimpin gerejanya. Dalam cerita tersebut, pendeta itu bilang bahwa latarnya berada di Spanyol. Namun Sylvie tak lantas percaya begitu saja. Kesamaannya terlalu banyak. Dirinya merasa kisah itu kisah fiktif. Pendeta muda itu sebenarnya Pak Pendeta Simon Westenbroek yang diasingkan ke tanah seberang hanya karena memberitahukan pada Sylvie sebuah informasi yang (sampai tahun 2000-an pun) dianggap tabu. Gadis itu pastilah Sylvie. Tapi berani sumpah, Sylvie dan Pak Pendeta Simon tidak berzinah. Sylvie juga masih perawan dan belum pernah berhubungan intim dengan lelaki manapun. Ciuman bibir pun belum pernah (yang membuat dirinya sering diejek dalam lingkungan pergaulannya). Apanya yang berzinah, batin Sylvie kesal sekali. Kumpul kebo memang benar. Sylvie kira, itu juga bukan kumpul kebo. Dirinya hanya menginap dan tidak sekamar (apalagi seranjang) dengan Pak Pendeta Simon. Shijten, sudah mengarang cerita, fitnah pula, makin kesal sekali alam bawah sadar Sylvie meraung-raung. Tambah kesalnya lagi, entah sengaja maupun tak sengaja, hampir sebagian besar jemaat seperti pro Pak Pendeta Alfred Wistermaan. Salah satunya bahkan menatap sinis Sylvie dan kedua temannya. Kalau saja tak ada Gouw Ai Thien dan Karina Singh, Sylvie sudah merasa sangat sendirian saat disudutkan seperti itu. Karina perlahan menggenggam tangan Sylvie dan memijat-mijatnya seolah berkata, "Aku turut prihatin. Abaikan saja. Jangan terpengaruh, apalagi terpancing emosi." ***** Maruap memilih tinggal di rumah pamannya. Ia tak ikut paman dan bibinya melayat abangnya yang baru saja meninggal, Binsar. Si pembawa pesan berkata bahwa jantung abangnya berhenti mendadak yang sebelumnya napasnya tersengal-sengal dan beberapa kali meracau tidak jelas. Ada yang bilang, Binsar mendapat sebuah serangan supranatural. Sebelum tidur, Binsar hampir beberapa kali terancam mati dalam beberapa kali perjalanan. Itulah yang menyebabkan Maruap berpikir yang berlebihan. Sebetulnya tidak berlebihan juga. Maruap bisa merasakan ada yang tak beres dengan cara abangnya meninggal. Seperti ada seseorang atau beberapa orang yang ingin Binsar meninggal. Banyak yang ganjil dari cerita si pembawa pesan. Si pembawa pesan itu sendiri--Maruap kira--sudah sangat berkata jujur. Dari ekspresi dan sorot mata sudah sangat terlihat sekali. Tidak ada yang kelihatan direkayasa. Hal tersebut jugalah yang menjadi bahan pertimbangan Maruap agar tidak pergi melayat. Selama menjaga rumah pamannya, Maruap lebih sering tidur-tiduran di kamar. Sesekali ia sibuk berkebun dan beternak babi. Sesekali pula dirinya sibuk membaca kitab suci dan berdoa sesuai keyakinan Sylvie. Ia mohon perlindungan pada Debata yang baru saja dikenalnya agar keluarganya selalu dilindungi dan hati serta pandangan mereka bisa berubah. Akhir-akhir ini Maruap merasa keluarganya sudah bukan seperti keluarganya. Doa itulah yang selalu dipanjatkannya pada Debata bernama Yesus Kristus atau Isa Almasih tersebut. Selalu saja untuk Bapak-nya, Mamak-nya, dan abang-abang, kakak-kakak, serta adik-adiknya. Tak terlupakan juga untuk paman, bibi, sepupu, keponakan, serta kakek-neneknya. Untuk Sylvie, sesekali Maruap berdoa yang terbaik, yang walau Maruap merasa aneh sekali. Mengapa setiap dalam doanya, dirinya mengucapkan nama perempuan bule itu, kepalanya seperti dibebat rotan? Kepalanya sangt pusing sekali di bagian depan, belakang, kanan, dan kiri kepalanya. Karena itulah, Maruap sering membenturkan kepalanya ke dinding; yang selalu dicegah oleh Tulang Hinsa yang sangat berhati mulia (Maruap sering menganalogikan Tulang Hinsa sebagai malaikat agung Mikail). Oleh Tulang Hinsa, Maruap sering diingatkan untuk berhati-hati dalam berdoa. Ada alasannya mengapa adat mereka menganjurkan untuk berdoa di waktu-waktu tertentu. Dalam kepercayaan Batak, doa itu sangat sakral dan tak boleh sembarangan dilontarkan. Harus ada ritual dan prosesi tertentu yang wajib dilakukan. Konon, salah-salah berdoa (entah secara waktu, tempat, atau isi doa), seseorang bisa dikirimkan 'sesuatu'. Orang Batak pun mengenal kemampuan 'membaca' doa. Namun Maruap protes. Menurutnya, seharusnya siapapun berhak mengajukan doa apapun, kapan pun, dan di mana pun kepada Debata-nya masing-masing. Debata yang berada di Banua Ginjang, menurut Maruap pula, tak membatasi isi doa dan permohonan segala makhluk ciptaannya. Begitu Maruap utarakan, Tulang Hinsa langsung mengacungi jempol atas idealisme yang sangat luar biasa. Katanya, "Tanah Batak ini sangat memerlukan orang seperti kau ini, Maruap," Dalam doanya di siang hari, tanpa sengaja Maruap menyebut nama kekasihnya tersebut. Kepalanya dibebat lagi, lambungnya ditusuk-tusuk pula (yang merembet ke ulu hatinya), dan yang paling parah, dirinya seolah mendengar suara yang berkata, "Sudahlah, kau menyerah saja sebelum nyawa kau itu kami akhiri dengan sangat tragis." Hal itulah yang membuat Maruap berhenti berdoa, lalu bersimpuh sembari merintih kesakitan. Sesekali, karena masih seorang manusia juga, Maruap menggeram-geram dan mengutuk-utuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD