Sudah seminggu Maruap ditinggal pergi oleh keluarga pamannya. Jarak kampung pamannya dengan kampung keluarga intinya lumayan jauh; belum lagi rata-rata upacara adatnya juga memakan lebih lama (yang belum dipangkas karena pengaruh kekristenan); itulah yang menyebabkan Maruap ditinggal sendiri. Selama itulah, banyak hal yang sudah dialami oleh Maruap. Bahkan segala serangan dan gangguannya pun makin gencar pula. Edan, pikir Maruap.
Tiap tidur, Maruap selalu tidur secara horisontal seraya memegangi perutnya yang terkadang dari pusarnya, keluar beberapa percik darah. Ada yang bilang, serangan-serangan dari alam supranatural lebih efektif dilakukan secara vertikal. Karena para pelakunya memang mengincar bagian kepala korbannya. Posisi tidur korban yang secara vertikal, sangat menguntungkan pelaku dalam menjalankan aksinya. Aliran-aliran tenaga dalam lebih sangat mudah mengalir. Begitu kata Tulang Hinsa (juga dua kerabat yang sudah meninggal, Binsar dan Togar).
Tiap diserang seperti itu, tiap kepalanya pusing mendadak lagi, tiap perutnya merintih kesakitan, tiap pula darah keluar dari titik-titik tubuhnya, Maruap selalu bangun sebentar. Dia bersimpuh sebentar, mengambil kitab suci, dan memanjatkan doa kepada Debata yang belum lama ini dikenalnya (tak heran imannya belum kukuh). Kalau sudah diserang begitu, bisa selama dua jam dirinya melantunkan doa yang sama berulangkali nonstop. Biasanya sehabis doa, terasa agak sedikit berkurang.
Hanya saja kali ini berbeda. Kepalanya masih saja pusing. Masih seperti dibebat rotan. Perutnya pun sama. Darah tiada henti mengalir. Oleh karena itulah, Maruap keluar kamar sebentar. Dia berjalan-jalan di sekitar rumah pamannya hanya untuk menenangkan raga dan batinnya. Di saat itulah, dirinya teringat pengalaman bersama Sylvie dan Pak Pendeta Simon. Sekonyong-konyong terdengar alunan sebuah lagu. Lagu itu bukan berbahasa Batak. Lagipula saat itu lagu diperdengarkan saat tengah mengadakan ritual atau upacara adat. Selain dari itu, katanya tabu. Lalu, lagu yang ia dengar itu berbahasa asing. Bahasa ibu Sylvie. Kata 'Jesus' terdengar beberapa kali. Anehnya, lumayan mujarab, sakitnya agak mereda. Hanya saja,...
.....
...mendadak Maruap mendengar alunan lainnya. Kali ini sebuah bahasa aneh yang melakukannya. Ia bingung itu bahasa apa. Lantas, mengapa sakitnya makin menjadi-jadi saja? Perutnya pun sama. Darahnya makin deras keluar. Seketika itu pula Maruap rebah tak berdaya. Kesadarannya sirna. Hal yang terakhir ia dengar, suara Sylvie yang dengan merdu memanggil namanya.
*****
Tak jauh berbeda dengan Maruap, Sylvie pun sama. Sudah beberapa hari ini, Sylvie selalu bermimpi buruk. Mimpi-mimpi aneh ia derita. Sesekali ia bermimpi tengah dikejar oleh beberapa orang dengan wajah dan suara menyeramkan. Suara itu tak sekedar menyeramkan, namun juga menggelegar. Salah satunya itu malah menyarankannya untuk kembali saja ke keluarga Van Weiderveld.
"Terima takdirmu," Begitu salah satu suara berkata dengan nada mengintimidasi. "Jangan jadi anak durhaka. Patuhi kedua orangtuamu biar lanjut usiamu. Kamu masih ingat, kan, dengan titah dalam sepuluh hukum?"
Awalnya hampir saja Sylvie termakan oleh segala kata-kata dalam mimpinya tersebut. Begitu terbangun--yang dengan keringat mengucur deras di sekujur tubuh, Sylvie mulai berdoa. Beberapa kali doa Salam Maria dipanjatkannya pula. Ia tidur lagi. Mimpi-mimpi itu pun masih bergentayangan di alam bawah sadarnya. Yang semakin bertambah aneh, entah mengapa Sylvie merasa ditarik-tarik. Sylvie merasa dirinya tengah diikat rotan. Satu sisi, ia seperti ditarik oleh sekelompok orang yang memintanya kembali ke keluarga Van Weiderveld dan meninggalkan Maruap. Sisi sebelahnya, malah berkata sebaliknya. Sylvie bingung harus memihak yang mana. Ia dilema.
Di tengah kedilemaannya itu, untung kedua temannya masih tinggal bersamanya. Kepada Gouw Ai Thien dan Karina Singh-lah, Sylvie mengadu. Kedua temannya dengan perhatiannya mendengarkan segala isi curahan hati seorang Sylvie Van Weiderveld. Awalnya Karina Singh menyarankannya untuk kembali dulu. Teman berdarah India-nya itu berkata seperti itu karena Sylvie menceritakan bagian bahwa ada yang memintanya kembali; kedua orangtuanya tengah dalam masa sukar. Namun Gouw Ai Thien yang lebih pendiam dan lumayan bijak, meminta Sylvie untuk memikirkannya matang-matang. "Jangan gegabah, Sylvie. Yang sudah berlalu tak akan kembali nantinya." begitu saran Gouw Ai Thien, yang akhirnya diamini oleh Karina Singh.
Sylvie pun menerima saran Gouw Ai Thien. Di tengah itulah, serangan mimpi buruk makin gencar ia dapatkan. Tiap malam dirinya selalu bermimpi buruk. Mimpi dikejar-kejar, mimpi diteror oleh beberapa orang, mimpi terintimidasi oleh pasukan militer Hindia Belanda, hingga bahkan mimpi yang lebih menyeramkan dari itu semua. Pernah Sylvie mimpi didatangi oleh segerombolan makhluk halus yang mendesiskan dan meneriakan kata-kata aneh dan mengganggu sekali. Kadang ada lolongan anjing-anjing hutan. Bahkan ada bagian seperti didatangi oleh Maruap yang menamparnya sekeras-kerasnya, yang beberapa kali meneriakan kata-kata kasar dan sumpah serapah ke arah dirinya. Untuk yang terakhir, Sylvie sadar bahwa mungkin saja itu tipuan. Maruap tak akan pernah berlaku seperti itu padanya.
Segala mimpi itu perlahan menyebabkan perubahan drastis dalam kepribadian Sylvie. Sylvie jadi agak lumayan pendiam. Gadis berambut pirang itu lebih sering terlihat bermuram durja. Murung terus menerus. Sering kedua temannya itu memergoki Sylvie tengah melamun (yang sesekali Karina Singh meledekinya seperti ini: "Cie yang lagi kangen nih yeeee,"). Terkadang Sylvie sering tak fokus dalam melakukan sesuatu. Aneka kecerobohan dilakukannya. Kondisi Sylvie makin parah saja. Walau demikian, anehnya seringkali Sylvie bisa menyembunyikan itu semua. Bisa dibilang, dari luar terlihat ada senyuman, dari dalam merintih kesakitan. Itulah yang terjadi pada Sylvie Van Weiderveld. Itu juga yang menyebabkan--selama beberapa hari ini--Sylvie berhenti mencari keberadaan Maruap. Segala kata-kata dalam mimpi-mimpinya itu mulai mempengaruhi raga, jiwa, dan sukma seorang Sylvie Van Weiderveld.
Hingga suatu kali, mimpi kali ini sungguh beda. Sylvie merasa rohnya melayang-layang sendirian hingga tempat Maruap. Rumah dan kampungnya belum pernah dikunjungi Sylvie pula. Pantas saja Sylvie bingung dan kesulitan dalam mencari Maruap.
Di tengah kondisi seperti itu, Sylvie melihat Maruap tengah sangat menderita. Raga Maruap terus menerus diganggu oleh beberapa roh dan makhluk halus lainnya. Ada yang melantunkan irama-irama aneh, ada yang membisikannya sesuatu (persis seperti yang dialami oleh Sylvie sendiri), ada pula yang memukuli dan mencubiti Maruap hingga berdarah dan menimbulkan bekas. Mau seperti apa usaha Maruap untuk menghilangkan atau setidaknya meredakan, segalanya seperti sia-sia belaka. Terus menerus seperti itu. Hingga akhirnya, Maruap pun ambruk. Sylvie yang masih sangat iba, mulai meneriakan nama Maruap yang membuat Maruap menengok ke arahnya sembari tersenyum manis.
*****
Ajaib, pikir Maruap. Ia pikir dirinya sudah berada di banua toru. Ini mengapa ia berada di kamarnya; tengah berbaring pula. Paman, bibi, dan ayahnya ada di sekitarnya malah. Ayahnya bahkan lalu sontak memeluknya erat sembari meminta maaf. Tulang Hinsa langsung berkata bahwa sudah tiga hari Maruap pingsan. Maruap lalu menceritakan segalanya. Itu termasuk saat dirinya masuk ke dalam banua toru. Ia seperti dilemparkan ke sebuah jurang maut yang di dalamnya ada pemimpin para begu dengan wajah yang sangat menggelegar dan menakutkan sekali. Suara Sylvie dan keluarganya yang berkali-kali terdengar, itulah yang menyadarkannya.