Betapa kaget Maruap saat kabar itu mengunjunginya hingga rumah pamannya. Abangnya, Binsar diberitakan telah meninggal dunia dalam tidurnya yang sangat nyenyak. Maruap mau tak mau harus kembali ke rumah dan keluarganya. Masalahnya itu juga bukan pada kewajiban Maruap harus datang. Datang kembali ke sana, memang Maruap masih keberatan. Ia takut ayah dan keluarga ayahnya masih menaruh dendam; masih memikirkan dirinya yang bukan-bukan. Tudingan sebagai pembunuh Togar itu amat menyakitkan (karena bukan dia pembunuhnya). Yang membuat Maruap kaget ialah mimpinya dua hari yang lalu.
Dua hari silam, Maruap mimpi didatangi Binsar. Ia kira Binsar sama seperti Togar, yang mana orangnya masih hidup. Dalam mimpinya, Binsar sangat meminta maaf atas segala hal tak enak yang diberikan abangnya tersebut pada dirinya. Binsar juga meminta maaf sudah menuduh Sylvie seorang gadis murahan yang memiliki latar belakang kurang mengenakan. Pula, abangnya itu juga menyarankannya untuk berhati-hati saat kembali ke kampung itu kelak. Kebencian warga-warga di sana makin membenci. Tak hanya mendapat cibiran dan tatapan tak enak, Maruap pasti akan diberikan sambutan yang sangat luar biasa. Sambutan yang dimaksud bukanlah sambutan saat menyambut orang penting di kampungnya. Sambutan itu ialah sambutan dalam tanda kutip. Itu sesuatu yang pernah dijelaskan oleh Togar dahulu. Segala serangan dari alam lain atau alam supranatural akan diteima oleh Maruap, yang pasti akan semakin dahsyat.
Waktu Maruap menceritakan mimpinya itu, Tulang Hinsa agak sedikit cemas. Mungkin pamannya itu sudah tahu bahwa itu bukan mimpi sekadar mimpi biasa; bukan seperti yang diduga oleh Maruap. Tulang Hinsa hanya berkata, "Berhati-hatilah kau, Maruap." Hanya itu, tidak lebih, dan itu menyebabkan Maruap terbengong-bengong dalam momen-momen kesendiriannya (alone time).
"Tulang," ujar Maruap pada paman dan bibinya yang hendak pergi melayat ke rumahnya. "Apa aku tak usah pergi saja? Menurutku, pergi ke sana bukanlah jalan bagus."
"Kalau kau tak pergi, Bapak kau akan semakin dongkol sama kau, Maruap. Cepat tersinggung kali si Ramli itu. Jauh lebih tersinggung dia daripada orang-orang Batak lainnya." tegur Tulang Hinsa.
"Eeeee,... iya, Betapa kaget Maruap saat kabar itu mengunjunginya hingga rumah pamannya. Abangnya, Binsar diberitakan telah meninggal dunia dalam tidurnya yang sangat nyenyak. Maruap mau tak mau harus kembali ke rumah dan keluarganya. Masalahnya itu juga bukan pada kewajiban Maruap harus datang. Datang kembali ke sana, memang Maruap masih keberatan. Ia takut ayah dan keluarga ayahnya masih menaruh dendam; masih memikirkan dirinya yang bukan-bukan. Tudingan sebagai pembunuh Togar itu amat menyakitkan (karena bukan dia pembunuhnya). Yang membuat Maruap kaget ialah mimpinya dua hari yang lalu.
Dua hari silam, Maruap mimpi didatangi Binsar. Ia kira Binsar sama seperti Togar, yang mana orangnya masih hidup. Dalam mimpinya, Binsar sangat meminta maaf atas segala hal tak enak yang diberikan abangnya tersebut pada dirinya. Binsar juga meminta maaf sudah menuduh Sylvie seorang gadis murahan yang memiliki latar belakang kurang mengenakan. Pula, abangnya itu juga menyarankannya untuk berhati-hati saat kembali ke kampung itu kelak. Kebencian warga-warga di sana makin membenci. Tak hanya mendapat cibiran dan tatapan tak enak, Maruap pasti akan diberikan sambutan yang sangat luar biasa. Sambutan yang dimaksud bukanlah sambutan saat menyambut orang penting di kampungnya. Sambutan itu ialah sambutan dalam tanda kutip. Itu sesuatu yang pernah dijelaskan oleh Togar dahulu. Segala serangan dari alam lain atau alam supranatural akan diteima oleh Maruap, yang pasti akan semakin dahsyat.
Waktu Maruap menceritakan mimpinya itu, Tulang Hinsa agak sedikit cemas. Mungkin pamannya itu sudah tahu bahwa itu bukan mimpi sekadar mimpi biasa; bukan seperti yang diduga oleh Maruap. Tulang Hinsa hanya berkata, "Berhati-hatilah kau, Maruap." Hanya itu, tidak lebih, dan itu menyebabkan Maruap terbengong-bengong dalam momen-momen kesendiriannya (alone time).
"Tulang," ujar Maruap pada paman dan bibinya yang hendak pergi melayat ke rumahnya. "Apa aku tak usah pergi saja? Menurutku, pergi ke sana bukanlah jalan bagus."
"Kalau kau tak pergi, Bapak kau akan semakin dongkol sama kau, Maruap. Cepat tersinggung kali si Ramli itu. Jauh lebih tersinggung dia daripada orang-orang Batak lainnya." tegur Tulang Hinsa.
"Eeeee,... iya, Tulang," respon Maruap ragu-ragu.
"Janganlah kau takut. Ada Tulang. Masih banyak pula orang baik di dunia ini. Janganlah pernah kau berpikir semua manusia itu jahat."
"Iya, Tulang. Tak usah Tulang ingatkan lagi. Sudah beribu kali, Tulang bilang."
Disentilnya Maruap dengan penuh kasih sayang. "Bah! Macam mana pula kau ini! Berlebihan kau. Tak sebanyak itu aku katakan ke kau kali, Maruap."
Bibi dan para sepupunya ikut menertawakan Maruap dengan gelak sangat lebar.
*****
Sylvie didatangi lagi oleh Pak Pendeta Simon. Sesi kounseling di alam mimpi terjadi lagi. Pak Pendeta Simon menyarankan Sylvie agar lebih berhati-hati lagi. Selain mengabaikan segala isu dan hasutan tersebut, pendeta itu mengajarinya sesuatu soal doa dan permohonan kepada Tuhan. Kata pendeta itu, di dunia ini doa dan permohonan tidaklah mutlak hubungan personal antara manusia dengan Sang Pencipta. Saat seorang manusia menyebutkan doanya, seketika itu juga kata-katanya yang terbungkus dalam sebuah gelembung-gelembung cantik bisa saja dibaca oleh kuasa-kuasa lain selain kuasa Allah. Tak hanya iblis, setan dan para pengikutnya yang bisa berkemampuan seperti itu. Seorang manusia pun bisa memiliki kemampuan untuk 'membaca' doa. Hal seperti itu konon sudah mulai terjadi sebelum kekristenan tumbuh subur di tanah Eropa. Untuk ukuran Hindia Belanda, nah ini yang paling berbahaya dan patut diwaspadai oleh Sylvie, orang-orang seperti itu banyak bertebaran di mana-mana. Tiap kampung, tiap wilayah, tiap kawasan, tiap kerajaan,... pasti memiliki orang-orang yang berkemampuan spiritual tinggi yang bisa 'membaca' doa dan permohonan seseorang pada dewa atau Tuhan. Orang-orang itu bahkan menyaru sebagai tokoh penting di masyarakat. Karena memegang posisi penting itulah, masyarakat tak akan pernah mencurigai bahwa doanya baru saja diintip oleh sesamanya manusia, yang tak akan pernah sampai ke hadirat Allah. Mendengar hal tersebut, Sylvie teringat sebuah kisah menarik dalam kitab suci.
"Pada hari itu keluarlah Yesus dari rumah itu dan duduk di tepi danau. Maka datanglah orang banyak berbondong-bondong lalu mengerumuni Dia, sehingga Ia naik ke perahu dan duduk di situ, sedangkan orang banyak semuanya berdiri di pantai. Dan Ia mengucapkan banyak hal dalam perumpamaan kepada mereka. Kata-Nya: 'Adalah seorang penabur keluar untuk menabur. Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itupun segera tumbuh, karena tanahnya tipis. Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar. Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!'"
(Dari Injil Matius 13: 3-23)
"Oh, mungkin itulah artinya kata-kata 'seperti benih yang jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis'," desah Sylvie menyimpulkan sendiri.
Pak Pendeta Simon senang Sylvie mulai percaya kata-katanya dan menangkap suatu maksud dari ayat-ayat suci. "Bisa jadi, Sylvie. Bisa jadi seperti itu. Segala pertanyaan yang ada di pikiranmu, jawabannya itu berada di kepalamu sendiri. Kuncinya ada di sekelilingmu."
Sylvie mengangguk dan balas tersenyum pula. "Dank je, Meneer. Saya baru tahu bahwa doa itu bisa 'dibaca' oleh manusia juga."
"Bapak pun kaget sewaktu mengetahuinya. Sewaktu masih di Belanda, Bapak juga sama seperti kamu, yang banyak tak tahunya. Tapi setelah tiba di Hindia Belanda, wawasan dan pengetahuan Bapak bertambah banyak. Bisa dibilang juga, Bapak lebih banyak belajar dari pengalaman." Di mata Sylvie, Pak Pendeta Simon jadi terlihat seperti seorang santo. Sangat bijak sekali. Itulah yang membuat dirinya berpikir bahwa mungkin saja Pak Pendeta Simon sudah meninggal. Rasa-rasanya tak mungkin manusia semasa hidup bisa mendatangi sesamanya di alam mimpi. Mungkinkah hal seperti itu, batin Sylvie.
Pak Pendeta Simon menangkap keraguan Sylvie. "Bapak masih hidup, Sylvie, walau dalam tekanan dan intimidasi beberapa pihak. Dan, kamu perlu ingat satu hal, tidak ada hal yang tidak mungkin. Selalu ingatlah nats itu: 'Yesus memandang mereka dan berkata: 'Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin.' Dari mana ayat tersebut, Sylvie?"
Spontan Sylvie menjawab, "Matius bab 19 ayat 26."
Pak Pendeta Simon mengangguk untuk sekadar memberikan apresiasi. "Baguslah kalau kamu masih ingat. Dan, sebaiknya jangan pedulikan Bapak. Urus saja dulu masalah kamu itu, juga kekasihmu tersebut."
"Memang, Meneer, sedang ada masalah?"
Pak Pendeta Simon tak menjawab. Ia malah berkata, "Ingat, Sylvie, selalu hati-hati kalau kamu mengajukan doa dan permohonan pada Allah. Kalau kamu merasa doamu terkabul, ujilah. Mungkin bukan Allah yang mengabulkan doamu tersebut. Tak hanya setan dan iblis, manusia pun bisa merekayasa jawaban atas doa itu. Bapak bilang seperti ini karena Bapak menduga kelak kamu akan bermasalah dengan doa dan jawaban doamu. Keluarga Van Weiderveld, konon pula, memiliki orang-orang yang berkemampuan 'membaca' doa. Keluarga Maruap pun sama. Walau demikian, tetap kamu tak boleh takut untuk berdoa. Berdoa itu hukumnya wajib. Karena lewat doalah, manusia menjalin komunikasi dengan Allah dan makhluk-makhluk-Nya yang tak kasatmata. Jika tak berdoa, manusia kelak akan lupa terhadap asal-usulnya sendiri."
Itulah kata-kata terakhir Pak Pendeta Simon--entah langsung maupun secara batin--pada Sylvie. Berikutnya, hari-hari Sylvie makin terasa sangat sulit di hadapannya. Banyak hal dipertanyakannya, namun jawaban tak kunjung datang. Segalanya makin terasa sukar saat Sylvie mendengar Binsar meninggal. Ada yang bilang, Sylvie adalah dalang di balik meninggalnya abang dari Maruap. Faktor keluarga Van Weiderveld dan latar belakangnya menjadi salah satu pemicunya. Jaman itu, kebencian orang pribumi terhadap orang Eropa sangatlah besar. Segala hal yang berasal dari bangsa Eropa, seringkali mendapatkan anggapan miring dan negatif dari kaum pribumi. Dari arah sebaliknya pun sama. Bangsa Eropa seringkali menganggap rendah kaum pribumi sebagai kaum tak bermoral, kaum binatang, kaum hina, kaum tak terdidik, maupun--kasarnya--kaum berengsek (walaupun sebetulnya bangsa Eropa pun sama terkait kesamaan dalam hal alam roh atau supranatural, yang malah jauh lebih mengerikan).
Pak Pendeta Simon menyarankan Sylvie agar lebih berhati-hati dalam mengucapkan doa dan permohonan. Pendeta itu takut kelak Sylvie akan mengalami nasib seperti dirinya. Dulu dirinya pernah dikerjai. Disangkanya, doanya sudah terkabul. Nyatanya, dalam sebuah keheningan dan kesendirian, dua bulan kemudian, Simon sadar bahwa terkabulnya doanya bukan karena kehendak Allah. Ada kuasa lain yang melakukan intervensi. Betapa kagetnya saat mendengar bahwa pelakunya itu pemimpinnya sendiri. Pemimpinnya melakukan rekayasa, sehingga Simon harus dikirim ke sebuah daratan yang kelak bernama Singapura. Baginya, pelayanannya itu seperti sebuah pengasingan saja dari teman-teman sepelayanannya. Itulah sebabnya, Simon tak ingin Sylvie bernasib sama seperti dirinya. Terkaan Simon, dirinya dikirim itu karena berhubungan dengan kasus Sylvie dan Maruap. Mereka tak suka keterlibatan terlalu dalam Simon dengan keluarga Van Weiderveld, Konon pula, orang yang menugaskan Simon itu berasal dari keluarga Van Weiderveld. Mungkin terkait dengan bersembunyinya Sylvie di rumah Simon yang lama, yang berada di tanah Sumatera.
," respon Maruap ragu-ragu.
"Janganlah kau takut. Ada Tulang. Masih banyak pula orang baik di dunia ini. Janganlah pernah kau berpikir semua manusia itu jahat."
"Iya, Tulang. Tak usah Tulang ingatkan lagi. Sudah beribu kali, Tulang bilang."
Disentilnya Maruap dengan penuh kasih sayang. "Bah! Macam mana pula kau ini! Berlebihan kau. Tak sebanyak itu aku katakan ke kau kali, Maruap."
Bibi dan para sepupunya ikut menertawakan Maruap dengan gelak sangat lebar.
*****
Sylvie didatangi lagi oleh Pak Pendeta Simon. Sesi kounseling di alam mimpi terjadi lagi. Pak Pendeta Simon menyarankan Sylvie agar lebih berhati-hati lagi. Selain mengabaikan segala isu dan hasutan tersebut, pendeta itu mengajarinya sesuatu soal doa dan permohonan kepada Tuhan. Kata pendeta itu, di dunia ini doa dan permohonan tidaklah mutlak hubungan personal antara manusia dengan Sang Pencipta. Saat seorang manusia menyebutkan doanya, seketika itu juga kata-katanya yang terbungkus dalam sebuah gelembung-gelembung cantik bisa saja dibaca oleh kuasa-kuasa lain selain kuasa Allah. Tak hanya iblis, setan dan para pengikutnya yang bisa berkemampuan seperti itu. Seorang manusia pun bisa memiliki kemampuan untuk 'membaca' doa. Hal seperti itu konon sudah mulai terjadi sebelum kekristenan tumbuh subur di tanah Eropa. Untuk ukuran Hindia Belanda, nah ini yang paling berbahaya dan patut diwaspadai oleh Sylvie, orang-orang seperti itu banyak bertebaran di mana-mana. Tiap kampung, tiap wilayah, tiap kawasan, tiap kerajaan,... pasti memiliki orang-orang yang berkemampuan spiritual tinggi yang bisa 'membaca' doa dan permohonan seseorang pada dewa atau Tuhan. Orang-orang itu bahkan menyaru sebagai tokoh penting di masyarakat. Karena memegang posisi penting itulah, masyarakat tak akan pernah mencurigai bahwa doanya baru saja diintip oleh sesamanya manusia, yang tak akan pernah sampai ke hadirat Allah. Mendengar hal tersebut, Sylvie teringat sebuah kisah menarik dalam kitab suci.
"Pada hari itu keluarlah Yesus dari rumah itu dan duduk di tepi danau. Maka datanglah orang banyak berbondong-bondong lalu mengerumuni Dia, sehingga Ia naik ke perahu dan duduk di situ, sedangkan orang banyak semuanya berdiri di pantai. Dan Ia mengucapkan banyak hal dalam perumpamaan kepada mereka. Kata-Nya: 'Adalah seorang penabur keluar untuk menabur. Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itupun segera tumbuh, karena tanahnya tipis. Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar. Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!'"
(Dari Injil Matius 13: 3-23)
"Oh, mungkin itulah artinya kata-kata 'seperti benih yang jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis'," desah Sylvie menyimpulkan sendiri.
Pak Pendeta Simon senang Sylvie mulai percaya kata-katanya dan menangkap suatu maksud dari ayat-ayat suci. "Bisa jadi, Sylvie. Bisa jadi seperti itu. Segala pertanyaan yang ada di pikiranmu, jawabannya itu berada di kepalamu sendiri. Kuncinya ada di sekelilingmu."
Sylvie mengangguk dan balas tersenyum pula. "Dank je, Meneer. Saya baru tahu bahwa doa itu bisa 'dibaca' oleh manusia juga."
"Bapak pun kaget sewaktu mengetahuinya. Sewaktu masih di Belanda, Bapak juga sama seperti kamu, yang banyak tak tahunya. Tapi setelah tiba di Hindia Belanda, wawasan dan pengetahuan Bapak bertambah banyak. Bisa dibilang juga, Bapak lebih banyak belajar dari pengalaman." Di mata Sylvie, Pak Pendeta Simon jadi terlihat seperti seorang santo. Sangat bijak sekali. Itulah yang membuat dirinya berpikir bahwa mungkin saja Pak Pendeta Simon sudah meninggal. Rasa-rasanya tak mungkin manusia semasa hidup bisa mendatangi sesamanya di alam mimpi. Mungkinkah hal seperti itu, batin Sylvie.
Pak Pendeta Simon menangkap keraguan Sylvie. "Bapak masih hidup, Sylvie, walau dalam tekanan dan intimidasi beberapa pihak. Dan, kamu perlu ingat satu hal, tidak ada hal yang tidak mungkin. Selalu ingatlah nats itu: 'Yesus memandang mereka dan berkata: 'Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin.' Dari mana ayat tersebut, Sylvie?"
Spontan Sylvie menjawab, "Matius bab 19 ayat 26."
Pak Pendeta Simon mengangguk untuk sekadar memberikan apresiasi. "Baguslah kalau kamu masih ingat. Dan, sebaiknya jangan pedulikan Bapak. Urus saja dulu masalah kamu itu, juga kekasihmu tersebut."
"Memang, Meneer, sedang ada masalah?"
Pak Pendeta Simon tak menjawab. Ia malah berkata, "Ingat, Sylvie, selalu hati-hati kalau kamu mengajukan doa dan permohonan pada Allah. Kalau kamu merasa doamu terkabul, ujilah. Mungkin bukan Allah yang mengabulkan doamu tersebut. Tak hanya setan dan iblis, manusia pun bisa merekayasa jawaban atas doa itu. Bapak bilang seperti ini karena Bapak menduga kelak kamu akan bermasalah dengan doa dan jawaban doamu. Keluarga Van Weiderveld, konon pula, memiliki orang-orang yang berkemampuan 'membaca' doa. Keluarga Maruap pun sama. Walau demikian, tetap kamu tak boleh takut untuk berdoa. Berdoa itu hukumnya wajib. Karena lewat doalah, manusia menjalin komunikasi dengan Allah dan makhluk-makhluk-Nya yang tak kasatmata. Jika tak berdoa, manusia kelak akan lupa terhadap asal-usulnya sendiri."
Itulah kata-kata terakhir Pak Pendeta Simon--entah langsung maupun secara batin--pada Sylvie. Berikutnya, hari-hari Sylvie makin terasa sangat sulit di hadapannya. Banyak hal dipertanyakannya, namun jawaban tak kunjung datang. Segalanya makin terasa sukar saat Sylvie mendengar Binsar meninggal. Ada yang bilang, Sylvie adalah dalang di balik meninggalnya abang dari Maruap. Faktor keluarga Van Weiderveld dan latar belakangnya menjadi salah satu pemicunya. Jaman itu, kebencian orang pribumi terhadap orang Eropa sangatlah besar. Segala hal yang berasal dari bangsa Eropa, seringkali mendapatkan anggapan miring dan negatif dari kaum pribumi. Dari arah sebaliknya pun sama. Bangsa Eropa seringkali menganggap rendah kaum pribumi sebagai kaum tak bermoral, kaum binatang, kaum hina, kaum tak terdidik, maupun--kasarnya--kaum berengsek (walaupun sebetulnya bangsa Eropa pun sama terkait kesamaan dalam hal alam roh atau supranatural, yang malah jauh lebih mengerikan).
Pak Pendeta Simon menyarankan Sylvie agar lebih berhati-hati dalam mengucapkan doa dan permohonan. Pendeta itu takut kelak Sylvie akan mengalami nasib seperti dirinya. Dulu dirinya pernah dikerjai. Disangkanya, doanya sudah terkabul. Nyatanya, dalam sebuah keheningan dan kesendirian, dua bulan kemudian, Simon sadar bahwa terkabulnya doanya bukan karena kehendak Allah. Ada kuasa lain yang melakukan intervensi. Betapa kagetnya saat mendengar bahwa pelakunya itu pemimpinnya sendiri. Pemimpinnya melakukan rekayasa, sehingga Simon harus dikirim ke sebuah daratan yang kelak bernama Singapura. Baginya, pelayanannya itu seperti sebuah pengasingan saja dari teman-teman sepelayanannya. Itulah sebabnya, Simon tak ingin Sylvie bernasib sama seperti dirinya. Terkaan Simon, dirinya dikirim itu karena berhubungan dengan kasus Sylvie dan Maruap. Mereka tak suka keterlibatan terlalu dalam Simon dengan keluarga Van Weiderveld, Konon pula, orang yang menugaskan Simon itu berasal dari keluarga Van Weiderveld. Mungkin terkait dengan bersembunyinya Sylvie di rumah Simon yang lama, yang berada di tanah Sumatera.