5

1410 Words
Shakka memasang wajah datarnya begitu pintu kamar kembali diketuk. Mama benar-benar tidak jera memancingnya untuk keluar dari kamar. Namun saat ia membuka pintu kamar, Ia justru menemukan adiknya di sana. Itu pun Shakka harus menoleh ke bawah, kalau tidak, ia tidak akan menyadari adiknya berada di sana. “Papa nyuruh Abang makan.” “Papa udah pulang?” “Kalau Papa belum pulang, aku ga mungkin ada disini, ‘kan?” “Abid, kenapa kamu milih jawaban yang panjang padahal kamu bisa jawab pertanyaan Abang dengan satu kata aja?” Megantara Abid Padmaja mengendikkan bahunya cuek. Bocah itu berbalik dan meninggalkan anak kesayangan Papa begitu saja. Abangnya memang mulai besar kepala sejak ia menjadi anak kesayangan Papa yang nomor satu. Beberapa saat setelah Abid kembali ke meja makan, ia mendapati Abangnya mendekati papa. Tidak ada yang tau kenapa pulang-pulang Abang babak belur seperti itu. Mama bahkan bolak balik ke kamar Abang, menawarkan untuk mengobati lukanya hanya untuk ditolak berkali-laki. “Pa.. Ada surat untuk Papa.” “Surat ap- kenapa dengan wajah kamu?” tanya Rama saat mendongak danmenemukan luka lebam pada tulang pipi putra sulungnya. “Datang ya, Pa.. kalo Papa ga datang aku ga bisa masuk kelas.” “Shakka!” “Aku nonjok dua anak cowok di Bina Bangsa.” Shakka mendorong suratnya ke arah sang Papa, kemudian duduk tepat di samping beliau. Obrolan Papa dan Abang barusan memang terdengar sedikit tidak nyambung tapi biar Abid jelaskan. Papa bertanya apa yang terjadi pada wajah Abang dan jawaban Abang berupa permintaan agar Papa datang ke sekolah atau ia tidak bisa masuk ke kelas. Namun dari kalimat Abang berikutnya setelah Papa menyebut namanya dengan nada penuh peringatan, kita bisa menyimpulkan Abang mendapat lukanya karena ditonjok balik oleh teman satu sekolahnya. Begitu saja dan tidak ada pertanyaan lanjutan seperti alasan kenapa Abang sampai menonjok dan ditonjok balik oleh dua orang temannya.  Karena apa? Karena Papa akan mengetahuinya besok saat beliau datang ke sekolah Abang. Andai Kakak ada disini maka Abida tidak perlu penasaran dengan apa yang terjadi pada Abang. Karena Kak Keysha lebih seperti pawangnya Abang alih-alih kembaran. “Luka kamu sudah diobati?” “Sudah.” “Belum,” jawab Abid dan Abangnya bersamaan. “Belum, Pa.. sejak pulang sekolah Abang ga keluar kamar.” Rama mendengus mendengar penuturan putra bungsunya. “Kamu bisa obati sendiri atau perlu bantuan Mama?” “Sendiri.” “Mama,” ucap Abid yang mendapat pelototan dari Abangnya. “Sama Mama aja, Pa.. ditanya udah diobat atau belum aja Abang bohong gimana kita bisa percaya dia beneran bakal ngobatin wajahnya?” Terima kasih pada Abid karena berkat mulutnya yang ringan sekali untuk ikut campur, Shakka jadi duduk pasrah di depan Mamanya saat ini. Mamanya yang masih saja ingin bicara padanya. Shakka bukannya tidak mau bicara dengan Mama. Ia telah mencobanya dan itu sama sekali tidak berhasil. Bicara, selama yang Shakka tau adalah proses dua arah. Namun bicara versi Mama adalah bagaimana beliau meminta Shakka untuk mengerti. “Nak..” ucap Naya sambil memberikan obat oles pada luka putra sulungnya. “Kamu ga sengaja bikin diri kamu sendiri babak belur untuk membalas Mama, ‘kan?” Kedua alisnya menyatu seketika mendengar kalimat sang Mama. Mau tidak mau Shakka menoleh pada wanita yang paling ia sayangi itu. “Kalau aku pulang lebih parah dari ini, apa aku bisa bertemu Key?” Wanita itu tau kenapa Shakka sampai bicara seperti barusan. Shakka dan Keysha, mereka lebih baik terpisah dari Rama atau pun Naya, sang Mama, daripada terpisah dari kembarannya sendiri. Tapi Naya tidak bisa membiarkan Shakka mengetahui di mana keberadaan kembarannya. Semua ini tidak sesederhana Shakka yang dipisahkan dengan kejam oleh Naya dari kembaran yang ia sayangi. Ini tentang Keysha yang sedang berusaha mendapatkan pengakuan dari Papanya. Keysha yang sedang membuktikan dirinya. Tidak mendapat respon apa-apa dari Mama, Shakka menarik wajahnya menjauh. Mama memang bukan lawan yang sembarangan. Keras Shakka lebih keras lagi Mama. Dengan atau tanpa bantuan Mama, Shakka akan menemukan Key dan membawanya pulang. Begitu ia membawa Keysha pulang, Shakka akan meminta Papanya yang pergi dari rumah. Lihat saja nanti. “Besok, Mama aja ya, yang ke sekolah,” ucap Naya pada putranya yang sudah tidur membelakanginya. “Pertemuan besok itu untuk Papa, Ma.” Untuk mempermalukan Papa, sambung Shakka membatin. >>>  Pagi ini sesuai janjinya kemaren, Shakka mengantarkan Abid ke sekolahnya dulu baru berangkat ke Bina Bangsa. Bell sudah berbunyi beberapa menit sebelum ia sampai di Bina Bangsa. Shakka sama sekali bukan tipe siswa yang senang telat memasuki kelas hanya karena ia adalah siswa paling pandai satu sekolahan. Mama tidak akan senang mengetahui itu. Hanya saja pagi ini ia memang tidak diizinkan untuk masuk bukan? Shakka sudah berdiri beberapa meter di depan tiang bendera ketika ia merasakan kehadiran orang lain di sebelah kirinya. Melirik sekilas, ia menemukan wajah-wajah penuh lebam yang terasa begitu familiar meskipun baru bertemu sebanyak dua kali. Galih dan Evan namanya, mereka sempat berkenalan setelah mendapatkan surat panggilan orang tua siang kemaren. Kedua anak laki-laki itu tersenyum lebar padanya. Hanya karena mereka memukuli dua orang yang sama, keduanya langsung saja merasa akrab sampai tebar senyum seperti itu. Shakka tidak berniat untuk membalas senyuman mereka sama sekali. Tak lama kemudian, Shakka menoleh ke kanan dan mendapati Ilham, nama anak laki-laki ini, yang mengadukan kepada guru bahwa Shakka, Evan dan Galih satu geng dan sengaja mengeroyok Arif. Padahal jelas-jelas dia lah yang satu komplotan dengan Arif. Kalau tidak kenapa dia ikut campur coba? “Cyntia!” Orang yang dipanggil Cyntia itu menoleh kesal ke arah datangnya suara dan menemukan teman satu kelasnya. “Kan udah dibilangin jangan pangggil Cyntia.” “Iya deh, Acin..” ucap siswi dengan name tag Quincy Maharani. “Icin!” “Sori sori.. Icin ya.. nama lo aneh sih, susah gue ngapalnya.” “Lo kok bisa telat juga?” tanya Quincy pada Icin. “Air di kosan gue mati, padahal gue udah bayar dimuka untuk enam bulan loh. Sialan banget gue dapat kosan,” adu Icin pada teman barunya. Selain air yang mati, alasan kenapa ia bisa telat adalah karena Icin menelfon Bang Arez semalaman dan minta dijemput pulang. Untuk bagian ini, rasanya Icin tidak perlu curhat pada Quincy. “Kalian mau dijemur sama lima orang itu?” tanya Ketua OSIS yang kebetulan keluar dari gedung utama. Ia mendapati wajah-wajah biang kerok kemaren yang siap hormat ke bendera dan bersama mereka ada dua siswi yang sibuk bergosip padahal semua anak baru sudah masuk ke kelasnya masing-masing. “Apa lo liat-liat?” tanya Ilham pada dua anak perempuan yang berdiri tidak jauh darinya. Padahal barusan ditegur untuk bergegas masuk eh mereka malah menoleh pada ia dan empat anak laki-laki lainnya. “Ih, siapa yang liatin elo? Gue ngeliatin yang paling ganteng kali,” ucap Cyntia Zahrah kemudian memberikan tatapan menghinanya pada anak laki-laki yang entah siapa namanya itu. Galih berdeham kemudian memastikan tatanan rambutnya masih serapi ketika ia berangkat dari rumah. “Oi.. bukan elo..” ucap Quincy pada anak cowok yang langsung senyum salah tingkah. “Woi! Masih ngerumpi ya kalian disana.” Mendengar teriakan barusan, dua anak cewek tadi langsung ngacir, meninggalkan lima anak cowok yang mendengus begitu pandangan mereka bertemu. “Tangannya di kepala, bukan di kantong celana!” ucap June pada lima orang bocah tersebut. Harusnya kemaren ia dapat kesempatan untuk menoyol kepala mereka satu per satu eh gara-gara Wyne Amelia yang menawarkan makan siang gratis ia jadi kehilangan kesempatan emasnya. Untuk beberapa jam kemudian, lima orang itu berdiri dua meter dari tiang bendera dengan tangan kanan di pelipis, dalam posisi hormat, sedang tangan kiri memegang pundak teman sebelahnya. Mereka hormat dengan satu kaki dilipat sehingga pasti butuh pegangan untuk tetap seimbang. Kelimanya baru bisa bubar dari posisi paling tidak nyaman itu, posisi dimana kamu harus merangkul orang yang kemaren memukulmu, setelah pertemuan para orang tua selesai. Tidak ada satupun dari kelima orang tersebut yang puas dengan hasil pertemuan itu. Ilham, sebagai orang yang hanya membela satu anak yang dikeroyok oleh tiga anak lainnya malah dimarahi oleh Abinya di depan empat anak berikut orangtuanya. Arif, yang mencari masalah hanya untuk mendapatkan amukan dari Papanya justru mendapat senyum lebar beliau saat keluar dari gedung utama. Shakka, tidak jauh dari Arif yang mengharapkan hal yang sama juga hanya bisa bersikap tenang dan menyembunyikan kekesalannya karena Papa tampak akrab sekali dengan Walikota yang tidak lain adalah ayah dari orang yang memukulnya tanpa sebab. Sedang Galih dan Evan dimarahi karena orang tuanya tidak percaya dengan tuduhan anak mereka bahwa yang memulai pertangkaran kemaren adalah anaknya Bapak Walikota.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD