June tidak akan merasa seperti sapi kecuali Wyne kumat penyakitnya. Atau justru seperti ikan. Di rumah ini, yang hanya ditinggali oleh mereka berdua, Wyne lah yang mengatur semuanya termasuk apa yang harus mereka makan. Ya, sebut saja Wyne Amelia adalah kepala keluarganya. Beberapa bulan lalu saat adiknya itu punya jerawat besar di dalam hidungnya. Yap, dalam hidung. Mereka berdua berakhir seperti ikan. June menyebutnya ikan karena yang masuk ke dalam perut mereka hanyalah air. Wyne beralasan bahwa jerawatnya muncul karena ia kurang minum air putih dan entah kenapa pula, yang berjerawat di dalam hidung adalah Wyne tapi June ikutan meminum air mineral.
Dan sekarang, ia dan adiknya tercinta duduk di meja makan dengan semangkuk salad. Salad yang mayoritas komposisinya itu adalah selada. Kali ini masalahnya adalah berat badan Wyne yang sudah berada pada batas toleransi adiknya itu. Kalau boleh berharap, June ingin adiknya seperti adik orang kebanyakan saja. Adik yang patuh dan hormat pada Abangnya, bukan yang suka mengatur Abangnya.
“Jun..” panggil Wyne setelah meletakkan ponselnya di atas meja makan.
“Lo sehari ga manggil gue, bisa ga ya?”
“Lo tau Shakka dan empat cowok yang waktu pertama MOS baku hantam, ‘kan?” tanya Wyne pada sang Abang. Dan tidak adalah jawaban yang perlu ia suarakan, ia tidak bisa kalau tidak memanggil June dalam beberapa menit saja. Atau mulutnya akan terasa kering.
“Suka lo?” Seringai mengejek sudah tercetak di wajah tampan Arjuna Madhava dan ia siap untuk menggoda adiknya mulai dari siang ini. Akhirnya Wyne menemukan seseorang yang bisa ia atur sesuka hati dan panggil lima belas menit sekali. June berjanji akan bersikap baik pada calon adik iparnya itu.
“Kenapa mereka jadi dekat ya akhir-akhir ini?”
“Mereka siapa? Ada yang nikung adek cantik gue? Mana orangnya? Sini biar gue labrak.”
“Jun.. maksud gue, Shakka dan empat cowok lainnya. Kenapa mereka jadi terlihat akrab?”
Kerutan di dahi adiknya siang itu membuat June harus duduk di kantin Bina Bangsa, di meja yang tidak jauh dari meja yang selalu ditempati oleh lima orang cowok itu. Tidak hanya menguping semua pembicaraan mereka, June bahkan harus bertanya-tanya pada beberapa siswa yang sekiranya mengetahui apa yang terjadi pada lima orang itu demi project Wyne. Wyne Amelia bukan lah siswi yang akan melakukan percobaan aneh-aneh pada tikus di laboratorium dan June lebih tidak percaya bahwa adiknya itu akan melakukan sesuatu pada Shakka dan teman-temannya.
“Lo ngantin lagi?” tanya Mail pada sahabatnya yang buru-buru keluar kelas saat bel istirahat berbunyi.
“Masih aja nanya lo.”
“Lo ngantin cuma beli akua gelas lima ratus perak tau, Jun. Mending lo kasih tempat duduknya ke anak-anak lain yang mau makan nasi goreng dan sotonya Bu Ayu.” Maksud Mail adalah, mending June main dengannya seperti biasa. Sahabatnya ini memang sudah berubah semenjak adik superiornya sekolah di Bina Bangsa.
June menepuk bahu Mail kemudian tersenyum lemah kemudian menggeleng. Ia juga mengatakan bahwa Mail tidak akan mengerti bagaimana rasanya menjadi Abang yang ingin membahagiakan adiknya setiap saat.
“Munafik, lo,” seru Mail pada sahabatnya yang sudah meninggalkan ruangan kelas.
>>>
“Sebenernya apa yang mau lo kerjain, Wyn?” tanya June pada adik yang pada Mail is sebut sebagai adik kesayangan. Setiap malam setelah keduanya selesai membuat PR masing-masing dan memastikan semua pintu terkunci, Wyna akan menemuinya dengan buku tebal berwarna hijau itu dan meminta June untuk menyimpulkan hasil pengintaiannya hari ini di sekolah. Wyne Amelia jelas tidak jatuh hati pada Shakka Orlando Padmaja tapi dia punya satu buku khusus untuk menulis apapun tentang Shakka. Hal ini benar-benar membuatnya penasaran. June tidak pernah ingin mengetahui kenapa Newton menggunakan buah apel untuk menjelaskan konsep gravitasinya, kenapa tidak buah lengkeng atau buah rambutan sekeras ia ingin mengetahui apa yang Wyne kerjakan dengan project Shakka-nya.
“Jun.. lo ga bisa dapat semua jawaban dari pertanyaan lo di detik setelah lo selesai nanya ke gue. Apa lagi yang Shakka lakuin atau kebiasaan dia?”
“Shakka sering ngabisin waktu di labor komputer.”
“Ngapain dia disana?”
“Galih bilang disana ada ACnya makanya dia suka di sana.”
“Lo ngerasa ada yang aneh ga sama dia?” tanya Wyne yang menurutnya alasan Shakka adalah alasan paling konyol yang pernah ada. Katanya cowok ini pintar, ‘kan?
“Elo yang aneh di sini Wyne.. lo nyelidikin orang yang sama sekali ga lo suka. Tujuannya apa coba?” June tidak mendapat sahutan sama sekali karena adiknya kembali menekuni buku saktinya itu. Yang bisa cowok itu lakukan hanyalah membuang napasnya kasar. Shakka Orlando Padmaja mungkin memang bukan orang yang ditaksir adiknya, Shakka lebih ke hm.. apa ya yang paling bisa menggambarkan Shakka? Hewan aneh yang muncul sebelum kiamat mungkin. Ya itu yang paling tepat.
“Jadi kenapa Shakka jadi akrab sama Galih, Evan, Ilham sama Arif?” tanya Wyne. Ini adalah pertanyaan yang selalu ia tanyakan pada June setiap malam tapi sampai sekarang tidak pernah terjawab.
“Gue ga tau Wyn. Kita ngelewatin satu semester lebih masa pedekate mereka dan sayangnya lima orang itu bukan kalangan artis korea yang hubungan dan rahasia terdalamnya sekalipun bisa digali sama dispatch.”
“Apa yang lo suka banget dari korea Jun?” tanya Wyne kesal.
“Saat lo ga nge-skip sama sekali adegan ciumannya padahal lo lagi nonton sama Abang lo. Gue tau tipe-tipe drama kesukaan lo dan gue tau adik gue bukan yang polos banget.”
“Sialan lo.”
“Huhui… rate drakor Wyne harus yang ada tagar 18+nya dong,” sorak June kencang tidak peduli ia dilempari dengan kacang bawang atau juga yang dikenal dengan nama kacang tojin.
“Dari pada elo? Minggu lalu lo ga ingat? Lo lupa nyolokin headset lo pas nonton bokep. Halah.. tau gue. Aib lo lebih dahsyat dari gue tau.”
“Gue, ‘kan udah bilang Mail yang kirim video itu. Gue ga tau apa yang gue tonton. Abang lo ini masih suci, Wyn.”
“Suci apaan lo?” cibir Wyne dan kembali membuka buku hijaunya. “Shakka punya pacar ga?” tanya nya lagi. Sebelum ia benar-benar mengantuk, pertanyaan tentang Shakka juga belum akan berakhir.
“Lo yakin anak BB? Kerjaan lo di sekolah ngapain aja hah?”
Wyne mengerjapkan kedua matanya kemudian menatap June dengan tampang polosnya. Berlagak seperti siswi yang kerjaannya di sekolah hanya belajar, belajar dan belajar. Padahal yang ia lakukan adalah melengkapi catatan, meminjam PR orang saat ia tidak tau cara menyelesaikan PRnya dan juga membuka aplikasi membaca. Wyne punya lima aplikasi baca di ponselnya dan ia membaca mulai dari yang gratis sampai yang berbayar. June pikir kenapa jarang muncul di kantin Bina Bangsa sekalipun semua orang berebutan untuk mendapatkan soto Bu Ayu? Tentu saja karena uang jajannya habis untuk membeli koin pada tiap-tiap aplikasi tersebut.
June menghembuskan napasnya frustasi. “Shakka ga punya pacar, tapi ada yang ngekorin. Bella namanya. Belladiva Wicaksono.” Dan June tidak pernah sesial ini karena menyebut nama Bella. Ia jadi harus memata-matai satu orang lagi padahal dirinya sudah sangat sibuk dengan Shakka Orlando Padmaja.
>>>
“Menurut kamu, aku jadi artis atau penyanyi aja?”
“Kamu maunya jadi apa?”
“Kamu yang pilihkan.”
“Nanti aku cari tau.”
…
“Jadi aku cocok jadi penari atau artis?”
“Kapan aku bilang soal menari? Kamu menyanyi saja!”
“Oke, aku pasti jadi penyanyi.”
Shakka baru berniat untuk keluar dari mobilnya ketika ponselnya bergetar dengan tidak wajar. Beberapa saat setelah ia menemukan penyebab getaran pada benda canggih itu, Shakka Orlando Padmaja menangis. Tepatnya setelah ia mengklik link yang Mamanya kirimkan. Dulu sekali ia pernah memutuskan untuk jadi apa Keysha karena kembarannya itu meminta demikian. Ingatan itu tiba-tiba mendatanginya dan melihat wajah cantik kembarannya, wajah yang di sana tidak terlihat bekas aliran air mata di pipi dan juga hidungnya yang memerah karena menangis, Shakka lah yang tidak bisa untuk tidak menangis.
Beberapa tahun belakangan, kembarannya terlalu sering menangis karena Papa. Papa memaksa Key untuk sama dengan Shakka. Apapun yang Shakka bisa, Papa ingin Key juga menguasainya. Beliau bahkan membuat Keysha belajar di rumah, mendatangkan guru. Papa memang tidak pernah mengatakan ini tapi Shakka dan Key sekalipun tau. Papa mereka malu pada Key yang agak lambat dalam belajar. Sebelum Key dipaksa belajar di rumah, Papa bahkan menyita semua hal yang Key sukai. Tidak ada ponsel, tidak ada gitar, piano yang Papa belikan sebagai hadiah ulang tahun ke sebelas juga dibuang begitu saja. Padahal Key yang paling menyayangi Papa.
“Key..” sapa Shakka lirih begitu panggilan suara itu tersambung.
“Kangen berat ya kamu sama aku,” goda Keysha namun dari sini, Shakka bisa mendengar bahwa Keysha pun menangis sama sepertinya.
“Jangan pernah hilang tanpa bisa dihubungi lagi, Key.. kamu boleh semubunyi dari semua orang tapi ga dari aku.”
“Mama bukannya udah bilang ke kamu kalau aku ga hilang begitu aja? Kamu minta maaf sama Mama, ya, Shakka, atau ini terakhir kalinya aku mau terima telfon dari kamu.”
Shakka menutupi wajahnya dengan tangan kirinya kemudian mengangguk. Isak tangis masih bisa terdengar di dalam mobil itu. Key sendiri yang sejak dulu mengatakan padanya bahwa anak cowok pun boleh menangis bukan? Hari ini Shakka menangis karena ia begitu bahagia bisa mendengar suara dan kabar dari kembarannya lagi. Iya, ia akan segera meminta maaf pada Mama tapi tentunya setelah mereka bicara.