Senyumnya langsung hilang begitu sang Mama bergabung di meja makan. Kelakarnya bersama Abid tak lagi terasa lucu. Shakka meraih ranselnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya ia letakkan di atas kepada adiknya. Menepuk kepada Abid sayang.
“Lusa Abang yang antar, hari ini kamu berangkat sekolah sama Papa, oke?”
“Oke.”
Melihat putranya menyelesaikan sarapan terlalu cepat, Rama menegur putra kesayangannya itu. Ia tidak ingin mendengar Shakka jatuh sakit di hari pertamanya sekolah. Sang putra pasti juga tidak menginginkan hal itu terjadi bukan?
“Ayolah Pa.. aku ini Shakka. Masa upacara sebentar bisa bikin aku tumbang?” gurau Shakka pada Papanya kemudian beralasan untuk melihat bagaimana sekolah pilihan Papa kali ini. Apakah memang sebagus yang keluar dari mulut Papa atau justru sebaliknya.
“Papa ga akan salah, ga pernah salah kalau itu untuk kebaikan anak-anak Papa.”
Shakka mendengus, “Iya, ga salah lagi,” ucap pria itu yang dua kancing seragamnya sudah ia tanggalkan. Untuk pertama kalinya Shakka merasa seperti berada di gurun pasir. Sekolah ini panas. Tidak ada AC di ruang kelas, jangan harap ada AC karena hanya kantor kepala sekolah dan majelis guru saja yang memiliki mesin pendingin ruangan itu.
Saat ini Shakka berdiri di lapangan upacara, menatap pada gedung utama di mana laboratorium, pustaka, UKS dan kantor guru berada sedangkan di kiri dan kanannya ada gedung Selatan dan gedung Utara. Kenapa Papanya memaksa agar Shakka bersekolah di sini, heh? Sekolah ini tidak lebih dari kandang ayam. Namun Shakka tidak akan membantah ataupun menolak perintah Papanya. Ia akan menjadi satu-satunya yang mengabulkan semua keiinginan Papa atau keadaan akan menjadi jauh lebih buruk dari yang sudah ada.
Merasakan sesuatu pada bahunya, Shakka menoleh untuk menemukan seseorang yang tidak ia kenal yang tersenyum terlampau lebar. “Hi,” ucap anak laki-laki itu kemudian hanya dalam beberapa detik, Shakka merasa rahangnya bergeser.
Anak laki-laki denga name tag Arifqy Keano Hadrian itu menyeringai melihat seseorang yang ia buat tumbang beberapa detik yang lalu. Ini belum apa-apa, kalau perlu ia akan mengajak semua guru di sekolah ini untuk baku hantam. “Lo ngehalangin jalan orang, flower boy,” ucap Arif pada anak laki-laki yang terlihat sangat cantik.
Shakka mendengus, ia memang adalah anak kesayangan Rama Dirga Padmaja yang akan melakukan semuanya dengan sempurna. Tapi tujuannya bukan untuk terlihat baik bagi semua orang. Ia hanya ingin perhatian Papanya teralihkan sehingga apapun yang dikerjakan Key tidak terlalu mengganggungnya. Tapi bukan berarti ia tidak bisa membela dirinya sendiri seperti saat sekarang. Namun Shakka Orlando Padmaja bangkit hanya untuk kehilangan targetnya. Seseorang dari arah belakang menarik anak cowok gila yang tiba-tiba memukulnya beberapa saat yang lalu dan melakukan apa yang sudah Shakka niatkan.
“Apa barusan gue ga salah liat? Lo mukulin sahabat gue?” tanya anak cowok dengan name tag Evan Janu Agnibrata. Setelah menonjok si preman gadungan ini, Evan menarik kerah kemeja anak cowok itu untuk menunjukkan siapa preman sebenarnya di sini.
“Lo bawa sahabat lo?” tanya Arif pada anak yang berdiri di lapangan sekolah yang ia pukuli hanya karena ia ingin.
“Gue bukan teman dia,” ucap Shakka semakin membawa dirinya mendekat pada Arif.
“Bukan dia!” ucap Evan kesal. Padahal jelas-jelas preman gadungan ini menendang perut temannya dan sekarang ia berlagak lupa? Evan akan membuat anak ini menyesal mendaftarkan dirinya di Bina Bangsa tepat di hari pertamanya bersekolah.
“Eh k*****t jalan lo ga bisa lebih lama lagi dari itu?” tanya Evan pada sahabatnya Galih Mahya Respati yang berjalan tertatih sambil memegangi perutnya.
“Sialan lo.. pegangin aja dulu,” ucap Galih pada temannya. Raden Mas Galih Mahya Respati berjalan dengan membungkuk, punggung seragamnya kotor belum lagi pada bagian depan seragamnya tepat di bagian perut ada cetakan telapak sepatu cowok yang saat ini sedang ditonjok oleh seseorang yang berdiri di sana bersama Evan.
“Van, lo dapat bala bantuan dari mana?” Ketika Galih sudah sampai di tempat Evan, orang yang ingin ia buat babak belur hari ini malah sudah berada di atas lantai dengan seseorang menggantikannya.
“Ga kenal gue.” Evan membungkuk kemudian menepuk pundak anak cowok yang belum ia ketahui namanya itu. “Giliran gue, kali..” ucapnya membuat Shakka mendengus kemudian bangkit. Sial bagi Shakka karena begitu ia beranjak, kaki kanan Arif sudah berada di dadanya dan dengan sekali dorong, Arif membuatnya terpental dengan posisi b****g mendarat di atas tembok terlebih dahulu.
Tentu saja Shakka berubah pikiran, ia tidak akan membiarkan Arifqy Keanu Hadrian lolos begitu saja darinya. Shakka kembali berada di atas tubuh Arifqy dan membubuhkan beberapa lebam tambahan. Rasanya kali ini ia mendapatkan media untuk melampiaskan kemarahannya pada Papa juga Mamanya. Shakka menyeringai senang, ini begitu menyenangkan.
“Woi!! Jangan main keroyok, dasar banci!” Ilham sudah melihat semuanya sejak tadi. Satu lawan tiga, mana adil. Lagian kemana semua senior yang bertanggung jawab untuk acara MOS hari ini? Kenapa pula tidak ada satupun guru yang melihat bagaimana siswa mereka dibuat babak belur oleh tiga siswa lainnya?
Raden Mas Evan Janu Agnibrata dan Raden Mas Galih Mahya Respati tidak pernah menyukai kata satu itu jika keluar dari mulut yang tidak mereka kenal. Keduanya serempak berbalik dan mendapati Ilham Bentrand berjalan bak pahlawan mendekati mereka.
Galih meletakkan tangannya di bahu anak cowok yang lebih tinggi sedikit darinya. “Lewatin kita dulu, Mas,” ucapnya dengan senyum ramah. Dan keadaan tidak bisa lebih kacau lagi. Shakka sibuk menonjok Arif sedang Evan menyatukan kedua tangan Ilham di balik punggung, membuat cowok itu siap mendapat hadiah atas kata ‘banci’-nya dari Galih.
Dari lantai dua gedung Selatan, Arjuna Madhava salah satu panitia MOS tahun ini menggigit permen tapaknya sehingga permen merah itu terlepas dari tangkainya. Di kasih waktu istirahat, anak-anak itu malah baki hantam.
“Mau kemana, June?”
“Wyn.. lo sekolah disini bukan buat ngawasin gerak gerik gue, ‘kan? Gue senior di sini.”
Wyne Amelia yang sejak pagi tadi terlihat seperti anak baik-baik bahkan wajahnya yang pucat itu terlihat bisa tumbang kapan saja, menatap sang Abang dengan kedua alis menyatu. “Salah ya nanya sama Abang sendiri mau kemana dia?”
“Tuh.. ada yang kelahi,” tunjuk June pada sekelompok anak baru yang entah apa masalahnya di hari pertama sekolah.
Wyne mendekat ke arah jendela kamudian melihat tepatnya lima anak cowok sedang baku hantam. “Biarin aja, Jun,” ucapnya tidak peduli apakah salah satu dari lima orang itu pada akhirnya harus mati atau tidak.
June mendesah, urusan orang lain memang tidak pernah penting bagi Wyne. Begitupun dengan dirinya. June tidak terlalu peduli memang, tapi ia bagian dari panitia MOS dan membiarkan hal ini terjadi hanya akan membuatnya mendapat amukan dari ketua osis dan ceramah panjang dari Bu Wati.
“Jun..” panggil Wyne pada saat Abangnya sudah berjalan beberapa meter.
“Apa lagi, Wyne?”
“Makan yuk.. gue lapar.”
“Yang bayar yang ngajak.”
“Oke.”
“Oke.”
Dan begitu saja, dua orang itu membiarkan saja lima anak cowok baku hantam di lapangan upacara. Seseorang pada akhirnya akan menyadari apa yang lima orang itu lakukan.
>>>
Abid mematikan PS5 menjelang Abangnya pulang sekolah. Mama ingin mereka makan siang bersama, makanya ia mengalihkan rasa laparnya dengan bermain PS. Bukan berarti ia begitu lapar juga sih, hanya saja tiap kali Mama memasak makanan kesukaannya, Abid jarang bisa menunda-nunda untuk makan. Bocah itu sudah berniat turun ketika ia melihat interaksi Mama dan Abangnya dan memutuskan untuk menahan langkahnya.
“Ya ampun, Shakka..” ucap Naya melihat putranya pulang dengan tulang pipi lebam, seragam kotor dan belum lagi seragam yang kotor itu tidak terlihat seperti pakaian yang anak sekolah kebanyakan kenakan karena dua kancing teratas terbuka dan baju seragamnya pun sudah tidak berada dai dalam celana lagi.
Ibu dari tiga anak itu berniat menyentuh wajah anaknya tapi sang anak langsung menepis tangannya. Tatapan Shakka masih saja sama selama beberapa bulan ini. “Apa yang terjadi, Nak?”
“Bukan apa-apa, Ma.”
“Shakka,” panggil Naya pada putranya yang sulit sekali untuk diajak bicara. “Mama masak makanan kesukaan kamu. Abid juga udah nunggu kamu makan biar bisa makan bersama,” ucap Naya pada putranya yang sudah membelakanginya.
“Aku ga lapar.” Dan begitu saja, Shakka langsung menuju kamarnya. Ia tidak merasa perlu untuk makan bersama Mama disaat ia tau Mama lah yang membuat Keysha pergi darinya. Sampai di dalam kamar, Shakka melempar tasnya asal kemudian melempar dirinya sendiri ke atas ranjang.
Ini baru namanya hidup. Sejak matahari mulai naik tadi sebenarnya Shakka sudah berpikir untuk pulang. Tiba-tiba saja ia merindukan kamarnya yang sejuk. Apakah SHakka harus menyumbangkan AC di kamar Key pada kelasnya nanti? Mengingat Key juga tidak ada disini, kan? Sekolah itu lebih terasa seperti neraka dari pada sekolah. Panas.
Anak laki-laki tampan yang terakhir kali tersenyum hari ini adalah saat sarapan pagi tadi sebelum Mamanya muncul itu membawa tangan kanannya ke d**a. Dadanya nyeri gara-gara tendangan Arif beberapa jam yang lalu. Belum lagi tulang pantatnya terasa sangat sakit. Shakka tidak yakin ia bisa duduk tenang selama beberapa hari.
Shakka meraih ponsel di kantong celananya kemudian memeriksa kolom chat ia dan Keysha. Berikutnya i********: dan sosial media lainnya yang dimiliki kembarannya itu tapi Shakka tidak menemukan aktivitas apapun. Seolah Keysha tidak hanya menghilang dari dunia nyata tapi juga dunia maya.
Membuka kamera ponselnya, Shakka mengarakhan benda itu pada wajahnya sambil mencibir. Satu foto berhasil diambil dan Shakka mengirimkannya pada Keysha meski ia tau kembarannya itu tidak akan melihatnya.