Tidak pernah ada yang mengetahui insiden di ruang ganti anak cowok antara Bella dan Shakka. Dan tampaknya mereka berdua juga tidak punya keinginan untuk memberitahukan orang lain. Baik Shakka pada teman-teman barunya ataupun Bella pada teman terdekatnya sekalipun. Keduanya bersikap layaknya tidak pernah bertemu di ruang ganti. Buktinya Shakka tetap berkumpul dengan empat anak cowok lainnya. Jika tidak bersama Galih, Evan, Ilham dan Arif maka ia pasti berada di labor komputer. Shakka masih satu-satunya siswa yang merasa Bina Bangsa sepanas neraka. Sedang Bella, gadis itu tentu masih berada di Bina Bangsa. Menjadi anggota muda tim olimpiade kimia.
Kejadian hari itu tampaknya membuka lebar mata Belladiva Wicaksono bahwa adalah sia-sia menyukai Shakka seperti orang bodoh. Awalnya memang terasa tercekik. Seperti kamu bisa memiliki oksigen sebanyak yang kamu bisa, maksudnya dia bisa melihat Shakka yang lalu lalang di koridor gedung Selatan karena itu gratis dan juga hal normal, Bella memiliki mata, ya, ‘kan? Tapi kamu memilih untuk menahan napasmu, maksudnya Bella harus berpura-pura tidak peduli. Tapi pada akhirnya, karena terbiasa, gadis cantik itu tidak lagi terganggu sekalipun dirinya menabrak Shakka sehingga keduanya jatuh terjerembab.
Ada yang berubah pada Bella, begitu pun pada Shakka. Gadis yang setiap hari selama hampir dua semester selalu menghadang jalannya, menampilkan senyum manis bahkan membawakan sesuatu, apapun itu, kemudian berdalih bahwa dia menyiapkan itu sendiri untuk Shakka justru tampak melupakan dirinya begitu saja. Tahu kah kamu perasaan ini? Perasaan marah ketika seseorang yang biasa mengejar-ngejar dirimu tiba-tiba saja bersikap acuh padahal orang itu sampai menyelinap ke ruang ganti hanya untuk mendapatkan informasi lebih tentang dirimu. Bahkan saat pertemuan anggota muda tim olimpiade sains, gadis itu tetap saja mengabaikannya.
Shakka marah. Terlebih saat Bella malah menanggapi senior mereka yang mendekatinya dengan niat lain. Bella cukup pintar, Shakka tau itu karena sejak ia diabaikan, dengan kesal Shakka akui bahwa ia jadi sering mengamati gadis itu. Sekali lagi Shakka katakan bahwa Belladiva Wicaksono adalah gadis yang pintar sehingga ia tidak perlu diajari stoikiometri. Tapi apa? Bella mengangguk-angguk seperti orang bodoh mendengarkan penjelasan senior mereka itu. Atau kah Bella benar-benar bodoh? Karena kalau Shakka menjadi dirinya, kemudian saat ia diajari sesuatu yang jelas-jelas dikuasai, Shakka pasti merasa direndahkan.
“Halo, Ma..”
“…”
Shakka melirik jam tangan dan memang benar sudah waktunya dia pulang. Sesi belajar tambahan untuk tim olimpiade sudah berakhir sekitar satu jam yang lalu tapi ia masih duduk di sini, di kelas yang kosong hanya untuk menunggu sepasang manusia di kelas sebelah selesai dengan semua obrolan mereka.
“Iya, ini udah mau pulang.”
Setelah menutup panggilan telfonnya, Shakka mengikuti Bella dan senior itu. Shakka bukan tidak tau namanya, ia hanya tidak ingin menyebut namanya. Membuang kerongkongannya kering saja menyebut nama cowok itu. Shakka mengikuti mereka dengan menjaga jarak sehingga ia tidak akan ketahuan seperti dulu, Bella yang jelas sekali membuntutinya.
“Kamu pulang sendiri?”
“Aku pulang ada yang jemput kok, Kak.”
Setelah mengatakan jawaban barusan pada Kak Ihsan, Bella bisa melihat cowok itu memandangnya dengan kedua mata yang dibuat menyipit. “Kamu bukannya ga mau ngerepotin Kakak, ‘kan?”
“Engga kok.. kalo misalkan ga ada jemputan, justru aku yang bakal minta nebeng duluan sama Kakak.”
“Oke deh, sampai jumpa lusa.”
Bella mengangguk dan bersamaan dengan itu Kak Ihsan yang selalu membantunya belajar materi-materi untuk kelas dua belas berlalu bersama motornya. Tidak lama kemudian ponselnya berdering dan Bella mengumpat seketika panggilan telfon putus. Supirnya tidak bisa menjemput karena ban mobil katanya kempes. Sekarang ia ingin Kak Ihsan untuk kembali dan mengantarnya pulang. “Kenapa Pak Roni ga nelfon dari tadi pas Kak Ihsan ada disini aja coba?” gerutu Bella dan setelahnya ia menahan napas seketika.
Shakka melewatinya tanpa suara. Memang benar cowok itu masih seperti biasa, tidak pernah menganggapnya sama sekali tapi kali ini, dia berada di dekat Bella tanpa pernah gadis itu prediksi sama sekali. Hal itu menyebabkan Bella merasakan jantungnya bertalu seperti pertama kali. Apapun mengenai Shakka, efeknya pada Bella selalu seperti pertama kali. Debar jantungnya, rona pipinya dan semua reaksi lain dari tubuhnya.
Bella membawa satu tangan ke d**a, memberi sugesti pada diri sendiri untuk tenang dan tidak berkelakuan bodoh seperti biasa. Bella terus mengingat kejadian hari itu di ruang ganti sambil memacu jalan. Keluar dari gerbang sekolah, ia masih harus berjalan belasan meter untuk sampai di halte busway. Bella tidak perlu lagi memikirkan Shakka dan seluruh indra tubuhnya setuju. Buktinya ia sudah kalem kembali ketika mendudukan diri pada bangku besi di halte. Anak pintar, begitu puji Bella pada dirinya sendiri. Namun beberapa menit setelahnya Bella berkata-kata kotor di dalam hati karena Shakka Orlando Padmaja berdiri satu meter darinya dengan kedua telinga yang disumpal oleh headphone. Ada apa ini? Pikir Bella tidak mengerti. Kenapa Shakka juga ikut-ikutan menunggu busway? Bukannya cowok itu membawa mobilnya setiap hari? Apa mobilnya kempes juga? Tapi.. kok bisa???
Sore itu hanya ia dan Shakka saja yang menunggu transportasi dalam kota berwarna biru tersebut. Beruntung busway tidak membutuhkan waktu lama untuk menghampiri mereka karena Bella bersumpah kalau sampai busway juga kempes ban, maka sepasang kakinya mungkin sudah membawa dirinya sendiri pada Shakka hanya untuk berakhir dipermalukan kembali. Karena sejak awal posisinya adalah Shakka yang berdiri tepat di posisi pintu kendaraan umum itu, pria itu lah yang lebih dulu masuk.
“Gue bisa terima kalo dia benci sekaligus geli sama gue gara-gara apa yang dulu pernah gue lakuin. Tapi gue tetaplah seorang cewek sekalipun dia benci sama gue. Apa ga bisa dia biarin gue yang dapat tempat duduk?” tanya Bella dalam hati kemudian berjalan dengan kaki dihentak-hentakkan mendekati Shakka. Sepanjang perjalanan ia membelakangi Shakka yang sama sekali tidak memberikannya tempat duduk.
Berawal dari sama-sama pulang menggunakan busway, Bella kemudian menyadari bahwa ia dan Shakka mulai sering melakukan hal yang sama secara kebetulan. Mungkin karena keduanya sama-sama tim olimpiade makanya begitu. Namun Bella tidak akan berbohong bahwa terkadang ia sengaja mengulur-ulur waktu untuk keluar dari ruang kelas. Ia tidak lagi berharap mendapat tumpangan dari Kak Ihsan dan ia juga tidak ingin lagi di jemput. Naik busway jauh lebih tepat baginya dari pada di jemput oleh Pak Roni. Karena apa? Karena Shakka juga terpaksa selalu pulang menggunakan kendaraan umum itu. Entah apa yang terjadi pada mobilnya. Apapun itu, ia berharap musibah yang menimpa mobilnya Shakka bisa berlanjut untuk beberapa bulan ke depan.
Fakta bahwa Shakka selalu berada disekitarnya, walaupun tidak disengaja dan juga tidak diinginkan oleh cowok itu, terasa begitu menyenangkan bagi Bella. Terkadang ia juga merasa terlindungi. Dan Bella akui bahwa manusia adalah makhluk paling serakah. Kini ia mulai berandai. Jika saja dulu ia tidak menunjukkan perasaannya secara brutal, mungkin ia bisa merasakan perasaan yang ia rasakan dengan Shakka di dekatnya dan bukan tidak mungkin ia juga bisa menyapa cowok itu saat mereka sama-sama keluar dari Bina Bangsa saat matahari nyaris tenggelam.
Jika biasanya Bella yang memimpin jalan, hari ini justru dia lah yang berjalan dengan diam di belakang Shakka. Setelah beberapa minggu berlalu, Bella rasanya ingin menjedotkan kepalanya ke tiang listrik. Kenapa dia harus berjalan di depan cowok itu saat ia bisa mendapatkan pemandangan Shakka dari belakang seperti sekarang?
“Siall!” gerutu Bella menyadari apa yang telah ia sia-siakan selama beberapa minggu ini. Namun begitu ia tetap berjalan menuju halte dengan menjaga jarak aman dengan cowok itu. Sudahkah ada yang tau bahwa Shakka adalah cowok yang tinggi? Kedua tungkainya juga panjang dan itu membuat Bella tertinggal. Dari jarak beberapa meter saat Bella berusaha mengejar ketertinggalannya, matanya melihat sesuatu yang jatuh dari kantong cowok itu saat Shakka meraih ponselnya yang diletakkan disana. Saat melalui benda itu, Bella menyadari bahwa yang jatuh adalah selembar uang pecahan lima puluh ribu dan beberapa lembar uang dua puluh ribuan.
Bella berdiri di depan gumpalan uang itu dengan keadaan serba salah. Ingin memungut dan memberikannya pada Shakka tapi ia sadar hubungan mereka tidak sebaik itu. Ingin memanggil cowok itu dan memberi tahunya bahwa uangnya terjatuh, memangnya dia akan dengar? Jika Bella ingin mendapatkan perhatian Shakka, ia harus, setidaknya, mencolek lengannya. Dan itu sama saja dengan cari mati namanya. Bagaimana jika dengan refleks, Shakka membantingnya ke aspal? Melihat busway yang sudah datang dan Shakka menaikinya dengan tenang seperti biasa, dewi batin Bella mengatakan untuk membiarkan saja uang itu. Shakka orang kaya kok. Masa dia tidak punya uang lain di dalam kantong sebelah kirinya atau tasnya atau dompetnya. Ya. ‘kan? Ini Shakka Orlando Padmaja yang sedang kita bicarakan.
Membiarkan seseorang yang mungkin jauh lebih membutuhkan uang itu dari pada Shakka, mendapatkan rejekinya, Bella menaiki busway menyusul Shakka. Seperti biasa, dia akan mengambil tempat duduk yang tersisa. Beruntung bagi Bella karena tepat di depan Shakka ada bangku kosong. Disalah ia duduk sambil menggulir layar sampai waktunya turun di halte dekat rumah.
“Lo ada uang lebih?” dan Bella merasa seluruh bulu kuduknya meremang. Shakka berkata itu dari belakang sehingga napasnya menyentuh tengkuk Bella dengan lembut. Belum lagi suaranya yang jarang sekali terdengar di gendang telinga Bella membuat keadaan semakin tidak baik bagi si empunya telinga.
“Hm?” tanya Bella seolah-olah tidak mendengar ucapan Shakka barusan.
“Boleh pinjem duit? Duit gue.. ilang.”
“Oh- bo-boleh.” Dan yang ada dalam benak Bella detik itu adalah apakah ia sudah boleh bicara dengan Shakka?
“Makasih. Besok gue balikin uang lo.”
“Ng- ngga usah. Balikinnya lusa aja. Balikinnya pas pelajaran tambahan anak-anak olim aja.”
“Oke.”
‘Anak pintar,’ ucap Bella membatin. Memuji dirinya sendiri meskipun hati kecewa dengan ucapannya barusan.